Cerpen : Nirina Ayudya Rahmadanty – Kelas XII SMAN 1 Kota Malang
Di sebuah lahan kecil tepi sungai, Arora atau yang lebih sering dipanggil Aro tengah memetik beberapa bunga kering yang tertanam di sana. Gadis berusia 12 tahun itu segera pergi begitu mendapati apa yang diinginkannya. Sebuah notes kecil beserta pensil di tangan kiri dan segenggam bunga kering di tangan kanan. Langkah kakinya terus terhentak membawanya menuju taman dekat komplek.
Pukul 15.00, sore hari yang masih diselimuti teriknya matahari. Aro kembali menyibukkan dirinya pada dunia kertas dan pensil sembari duduk di tumpukan beton yang menganggur. Di kesunyian taman yang hanya menyisakan Aro seorang, sebuah bola sepak berhasil mendarat persis di atas kepalanya.
“Maaf! Tolong lemparkan bolanya kesini” ujar salah satu anak yang mendapati kemana bolanya pergi.
Aro segera melemparkan bola yang tengah dicari pemiliknya, dan mendapat ucapan terima kasih. Ia segera beranjak dari tempatnya duduk menuju sudut taman lalu memperhatikan sebatang pohon kecil di sana. Pohon yang dirinya tanam beberapa waktu lalu kini mulai tumbuh. Tak sabar menunggunya tumbuh sangat besar batin Aro.
Aro mengedarkan pandangannya pada langit sore yang terbentang luas. Seterik apapun sinar yang menerkanya, kedua manik mata gadis itu tak pernah jenuh menatap. Baginya menatap langit ialah kegemaran, kebahagiaan, dan segala rasa damai yang tidak bisa dijelaskannya.
Namun, lamunannya seketika terhenti ketika sebuah suara asing seperti bertanya padanya.
“Bola tadi tidak membuat kepalamu sakit?”
Dengan terkejut, Aro segera membalikkan tubuhnya. Siapa dia? Seorang anak laki laki yang tampak 2 tahun lebih tua darinya sedang menanyakan keadaan.
“Kalau sakit juga hanya sebentar, kau berbicara denganku?” tanya Aro.
“Tak ada siapapun di sini kecuali kau dan aku”
Membingungkan sekali, Aro baru pertama kali bertemu tapi rasanya anak laki laki ini sudah seperti teman akrab saja. Darimana dia berasal?
“Aku Biru, Temanmu” ucap anak laki laki asing itu kembali berbicara.
“Aku Aro, tapi rasanya aku tak memiliki teman bernama Biru”
Tak ada jawaban, melainkan hanya tawa kecil dari Biru. Aneh sekali dirinya. Aro tak ingin ambil pusing, ia memilih untuk kembali duduk di atas beton yang tadi ditinggalkannya karena pergi mengunjungi pohon kecil. Dan Biru? ia mengikut duduk di samping Aro.
Waktu terus berlalu namun Biru turut sibuk memperhatikan pohon kecil di sudut taman dan teman barunya yang asik menulis.
Aro merobek selembar kertas dari notes yang sudah ditulisi seperti surat. Rasa penasaran yang mulai memuncak akhirnya membuat Biru mengajukan pertanyaan pada gadis di sebelahnya.
“Apa itu surat? Untuk siapa?”
“Untuk langit” ucap Aro seadanya.
“Unik sekali, boleh aku membacanya?”
“Tapi jangan beritahukan siapapun! Bagaimana jika ada yang menganggapku aneh nanti”
Biru menganggukkan kepalanya dengan cepat dan segera membaca surat itu dengan antusias. Surat dari Aro kepada langit yang berisi 1 paragraf singkat itu terlihat sangat mengesankan. Padahal bagi Aro secarik kertas itu hanyalah hal biasa yang sering dilakukannya, tak disangka akan ada seseorang yang tertarik seperti Biru.
Untuk langit,
Minggu lalu aku dan Ayah menanam pohon di pojok taman dekat rumah, kini pohon itu mulai tumbuh! Aku sudah tak pernah membuang sampah di sembarang tempat lagi. Langit, aku selalu menyukai waktu ketika melihatmu. Oleh karena itu, sebisa mungkin akan kubantu bumi untuk tetap memiliki langitnya yang rupawan. Langitnya yang amerta.
-Aro
“Aku yakin langit akan senang membaca suratmu” komentar Biru.
“Sayangnya langit hanyalah langit, bukan seseorang yang bisa membaca sebuah surat” balas Aro dengan sedikit lesu.
Ucapan Biru membuat Aro kembali berpikir, bagaimana jika langit adalah seorang manusia. Apakah dia senang ketika banyak orang senang memandangi keindahannya? Apa dia merasa sesak ketika polusi udara menggentayanginya? Atau merasa sedih ketika melihat beberapa manusia yang kurang mempedulikan bumi?
Pukul 16.30, Aro masih menghabiskan waktunya bersama Biru. Layaknya sahabat lama, mereka dapat menghabiskan waktu bersama tanpa disadari. Bermain lempar batu di sungai, bercerita banyak tentang bentala, dan menikmati senja di taman.
Sayangnya sepanjang waktu yang telah dihabiskan, Aro masih belum menemukan jawaban tentang seorang Biru. Di mana Biru tinggal, bagaimana Biru bisa di sini dan mengenalnya.
Terlalu banyak pertanyaan soal Biru yang menumpuk. Pertanyaan yang sudah dipersiapkan Aro untuk ditanyakan pada anak laki laki asing itu seolah hilang begitu saja setiap kali melihatnya. Setiap melihat Biru membuat Aro merasa damai. Setiap melihat Biru seperti selayaknya bersama teman lama.
Di mana sebelumnya Aro dan Biru menjadi teman?
“Biru, aku menyukai senja. Tapi sayangnya senja hanya datang sesaat” ucap Aro sedih.
“Karena Bulan meminta senja bergantian untuk melihat betapa menawannya mahluk Tuhan sepertimu yang sangat mencintai alam” kata Biru dengan tulus.
Biru teman terunik yang pernah Aro temui, seolah seperti tahu apa yang alam lakukan jika berwujud sebagai manusia. Dia selalu memiliki jawaban unik di setiap percakapan.
Matahari mulai menenggalamkan dirinya dari balik pegunungan. Sebuah sinar menakjubkan yang mengiringinya mulai menerpa di sekitar. Pemandangan matahari terbenam membuat setiap insan selalu bersyukur untuk tinggal di sebuah planet yang Tuhan ciptakan semenakjubkan ini.
Dan kedua orang anak yang tengah takjub menikmati pemandangan dari atas tumpukan beton di taman bersiap untuk sebuah salam perpisahan.
“Biru aku akan kembali ke rumah, senang bertemu denganmu. Aku harap bisa bertemu lagi denganmu besok” ucap Aro penuh riang.
“Senang bisa mengenalmu Aro, senang menjadi bagian yang membuatmu damai. Berjanjilah untuk tetap menyayangi alam sekitarmu. Mungkin saja kita tak akan bisa menyadari suatu hal sebelum merasa kehilangan, jadi jagalah sebaik mungkin” balas Biru dengan senyuman manis yang terukir di wajahnya dan secarik surat Aro untuk langit yang masih berada di tangannya.
Andai saja bertemu Biru lebih awal pasti akan sangat menyenangkan, pikir Aro.
“Kemana kamu akan pulang, Biru?”
“Angkasa”
“Apa maksudnya?”
“Bisa pejamkan matamu, Aro?”
Tanpa banyak bertanya, Aro langsung memejamkan kedua matanya. Sinar matahari terbenam kini telah sampai dan menerpa wajahnya. Semilir angin melambaikan rambut panjangnya yang terurai.
Suasana taman yang tiba tiba saja sejuk menyisakan keheningan tanpa suara Biru.
Aro segera membuka kembali matanya. Ia menoleh ke sekitar taman, tak ada siapapun kecuali dirinya dan secarik suratnya yang tadi Biru pegang. Surat itu tergeletak persis di tempat yang sama saat Biru berdiri tadi. Aro segera mengambilnya dengan rasa terheran.
Biru anak laki laki penuh teka teki itu, cepat sekali perginya? Apa dia bisa teleportasi?
Aro memperhatikan surat yang ia buat dengan teliti. Dan benar saja, ia menemukan sebuah kejanggalan dalam suratnya. Entah bagaimana caranya, ia menemukan sebuah kalimat di sudut suratnya yang berisikan “langit telah menerima surat yang kau buat.”
Tampaknya hari ini penuh keajaiban ya, ujar Aro dalam hati.
“Pantas saja seperti sudah mengenal lama. Ternyata Biru itu adalah kau ya, langit?”