Oleh : Daniel Rudi Haryanto

Sebuah Awal.


Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) adalah sekolah kejuruan yang khusus mengajarkan skill seni rupa, antara lain: Seni Lukis, Seni Patung, Kriya, dan juga Grafis Komunikasi (Reklame). Terletak di Jl. PG Madukismo, Bugisan Yogyakarta.

Mempelajari Seni Lukis selama empat tahun, tentunya mengasah kemampuan murid untuk dapat menguasai teknik dan pengalaman berseni rupa.

Saya mau bercerita, khusus pada kelas Seni Lukis. Murid diajarkan mulai dari menggambar dasar, bentuk, perspektif, komposisi, dimensi, garis, bidang, warna, gesture, kontur dll. Selain bekal skill, murid juga diajarkan untuk mengenal wawasan sejarah seni rupa Indonesia maupun dunia. Sehingga murid mengenal perjalanan para seniman besar dan gerakan-gerakan tonggak seni rupa dan sejarah latar belakangnya. Dari sejak SMA sudah dikenalkan apa itu aliran-aliran dalam seni rupa.

Bagaimana kemudian silabus di SMSR mampu menanamkan dasar-dasar kesenimanan pada murid sehingga mampu menggali kemampuan berkeseniannya secara maksimal? Tentunya ini merupakan proses yang unik dan menarik. Karena tidak banyak juga yang akhirnya lulus atau menyelesaikan proses belajar mengajar di SMSR. Contohnya saya hihihi.

Pengetahuan seni yang didapatkan dari guru-guru ternyata mampu mendorong pribadi murid bibit bakal seniman ini untuk mengeksplorasi media dan mengarungi penjelajahan media estetika. Waktu itu dapat dikatakan media fotografi dan film merupakan media yang mewah dan mahal, lebih mahal dari kertas, kanvas dan pigmen (cat, pentel, dan pensil).

Namun, energi penjelajahan media itu pada akhirnya membawa sang murid menggeluti dengan cerdik berbagai media lintas batas. Semisal media seluloid menjadi media animasi kuret, atau kertas foto terbakar menjadi kartu lebaran atau kartu natal. Di era analog terasa olah batin dan ketrampilan tangan adalah skill yang hanya bisa didapatkan dengan banyak berlatih dan bergaul (tak lupa lapen Pajeksan mengiringi, eh.)

Maka dari proses dan dialektika itu ada kesadaran muncul, tak puas dengan gambar yang tak bergerak, maka mulai muncul keinginan untuk menggerakkan gambar-gambar menjadi gambar hidup. Sebab, pergerakan selalu menarik mata memandang. Pergerakan selalu menarik mata mengamati. Maka, jalan satu-satunya adalah belajar film. Tiada lagi yang dituju selain Institut Kesenian Jakarta yang terletak di Jl. Cikini Raya 73 Jakarta Pusat.

IKJ adalah kampus yang termasyur di Jogjakarta, masyur sebagai istitusi pendidikan yang melahirkan sutradara, kameraman, editor, penulis skenario, penata artistik, produser pada waktu itu. Satu diantaranya adalah Garin Nugroho, yang pada tahun 1992 itu masyur dengan film Surat Untuk Bidadari yang menyajikan visual artistik negeri savana Sumba.

Bagi seorang seniman, latar belakang seni rupa memberikan pengaruh besar dalam perjalanan sinematik. Dari Seni Rupa seorang pembuat film mendapatkan cara pandang tersendiri dalam melihat realitas dan cerita.

Jika Salvador Dali dapat menciptakan kekaguman pada wujud jam yang meleleh atau gajah yang berkaki egrang (tiang tinggi), mengapa film hanya menyajikan gambar yang umum seperti keseharian belaka?

Jika Picasso dapat menciptakan kekaguman dalam wujud Guernica yang berbentuk kubistik mengapa film tidak menyajikan gambar-gambar distorsi melalui permainan lensa dan efek editing?

Jika warna-warna lukisan Hendra Gunawan cemerlang dengan gaya anatomi yang tidak realis, lantas mengapa film tidak diwujudkan seperti itu sebagai cita rasa Indonesia? Muncullah pertanyaan-pertanyaan tak senonoh, semisal; Apakah ada film realisme? Apakah ada film ekspresionisme? Apakah ada impresionisme dalam film?

Pencarian-pencarian estetika sinematik semacam itu menggejala dan menimbulkan gelombang dahsyat bagi seorang remaja gelandangan sebut saja KELANA (Bukan nama sebenarnya) dari Jogjakarta yang berangkat ke Jakarta menumpang kereta ekonomi dari stasiun Lempuyangan Jogjakarta pada pada pusaran tahun 1995.

(Bersambung)

“Aku mau menggerakkan gambar-gambar!”
Kelana, 1994

Pic: Kartu Pelajar SMSR koleksi KELANA.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar