Oleh : Daniel Rudi Haryanto
Cikini Raya 73 adalah laboratorium seni. Disana ada Taman Ismail Marzuki, di dalamnya ada banyak agenda seni dan budaya. Konon, kawasan ini dibangun Gubernur Ali Sadikin setelah pulang lawatan dari Eropa. Bang Ali mewujudkan angan-angan ada satu tempat di Jakarta yang menjadi representasi dari budaya urban, di dalamnya budaya orang se Indonesia bergumul dan menjadi kosmopolitan di tengah metropolitan Jakarta.
Di bagian paling belakang mojok tembok ada kampus namanya IKJ. Disanalah mahasiswa belajar seni. Bentuk mahasiswa dan mahasiswinya unik-unik dan langka. Ada lagu rock n roll yang sering terdengar, bunyinya begini;
Hore Hore
Hore Hore Ho!
Gembel naik kelas dipotret gubernur!
Mahasiswa itu gembel, gembel naik kelas yang dipotret lagaknya gubernur. Demikian sering diceritakan abang dan mpok senior.
Kelana adalah salah satu gembel FFTV IKJ angkatan 1998. Dia senang sekali bertemu seorang alumni Taman Siswa Yogyakarta yang mengajar di FFTV IKJ. Nama dosen itu adalah Gotot Prakosa. Selain mengajar, guru Gotot adalah produser film, sutradara film eksprerimental, dan juga penulis. Hidupnya bergumul dengan seni, rumahnya di bilangan Perkici Bintaro.
Taman siswa itu sekolah modern yang anti feodalisme, didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Jogjakarta dan kemudian berkembang di seluruh Indonesia untuk menbebaskan anak-anak bangsa dari pembodohan dan pemiskinan. Cerita dari guru Gotot.
Dan memang banyak ya, ternyata Taman Siswa itu melahirkan cendekia dan orang-orang berbudaya seperti guru Gotot, bahkan mereka dari pelosok-pelosok desapun lahir manusia-manusia terpelajar dari sekolah ini.
Guru Gotot setelah dari Taman Siswa melanjutkan belajar seni rupa di SSRI (Sekolah Seni Rupa ) Yogyakarta, kemudian melanjutkan studi film di Lembaga Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kelak kemudian hari jadi IKJ (Institut Kesenian Jakarta).
Guru Gotot suka bercerita tentang kisah- kisah di kala mudanya Seperti kisah Taman Siswa tadi.
Di kampus mahasiswa memanggilnya dengan mas Gotot. Pada saat Kelana semester awal, ia sudah melihat mas Gotot dengan berbagai eksperimen film, komik, melukis, dan cerita petualangan di berbagai festival film internasional. Paling menarik katanya adalah Festival Film Oberhousen di Jerman, ceweknya cantik-cantik katanya.
Dari guru Gototlah Kelana mendengar untuk pertama kalinya Oberhousen film festival. Apa sih yang jadi latar belakang sebuah festival di Jerman film? Kenapa mas Gotot banyak cerita-cerita soal festival film? Semangat apa sih yang dibawa sebuah pada festival film? Kenapa sih tarafnya internasional? Semua itu diceritakan guru Gotot sambil ngopi di kampus atau manakala Kelana dan Mas Gotot bikin pemutaran sinema ngamen di daerah-daerah orang miskin.
Kelana mendapatkan banyak pengalaman dari peristiwa Sinema Ngamen itu, membawa film kepada komunitas masyarakat yang tak mampu beli tiket bioskop. Membentangkan layar dalam tajuk Sinema Ngamen, menghadirkan hiburan rakyat dan melakukan pelatihan bikin film kepada masyarakat awam. Untuk memutar film Kelana terkadang masih menggunakan proyektor seluloid bekerjasama dengan Persatuab Film Keliling (Perfiki) yang markasnya ada di gedung PPHUI Rasuna Said.
Satu hal yang menarik di masa seringnya aksi demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998-2002 waktu itu. Terdapat anak-anak mahasiswa FFTV IKJ yang pulang ke kampus mereka dan kemudian menjinjing proyektor dan kitab-kitab film pergi bergerilya ke wilayah-wilayah pesisir yang miskin, basis-basis nelayan dan buruh untuk memutar film dan menggerakkan gambar-gambar penyadaran kepada masyarakat.
Ada kisah menarik lagi. Yaitu ketika Mas Gotot menggunakan pendekatan filmis berkolaborasi merekam penari Sardono W Kusumo pada tahun 1979. Menjadi film pendek hitam putih berjudul Meta Ekologi. Film itu merekam manusia dalam lumpur menari, suatu film yang progresif oleh sebab telah memajukan tema-tema lingkungan hidup pada tahun-tahun awal Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) di masa awal Orde Baru itu.
Kelana membayangkan, generasi mas Gotot dan Mas Sardono itu seperti generasi Hipies yang merebak pada masa perang Vietnam merasuki dunia seni dengan segala pencarian dan pencapaiannya yang bernuansa spiritual.
Selain kisah-kisah perfilman, ada kisah menarik yaitu keterlibatan pegiat komunitas komik strip di IKJ dalam Pekan Komik Nasional I (PKN) di Jakarta yang terselenggara di Galeri Nasional Gambir Jakarta Pusat. Peristiwa itu tak lepas juga berkat dorongan dari mas Gotot.
Dari diskusi diskusi di luar jam kuliah dengan mas Gotot, Kelana kemudian terinspirasi untuk mendirikan sebuah lembaga ekstra kampus bernama Cinema Society yang konsen pada kajian sinema pada tahun 1999. Bersamaan dengan kelahiran beberapa komunitas film independen pada masa itu. Ada Pop Corner dan ada juga Konfiden dan kemudian terbentuklah jejaring komunitas dari berbagai wilayah di Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumatera.
Pada tahun 2001 dan 2002, mas Gotot dkk turut menyelenggarakan Jak@rt yang merupakan perhelatan kesenian akbar di Jakarta. Kelana dan Cinema Society selama 3 hari “membajak” kereta api Argo Parahyangan Jakarta – Bandung PP untuk muter film pendek mahasiswa IKJ untuk para penumpang di Spur Chanel.
Sinema Ngamen di Kereta ini terinspirasi film bisu hitam putih berjudul The Great Train Robbery buatan filmmaker Amerika Edwin Porter tahun 1993 yang didengarnya melalui kuliah Sejarah Film Dunia oleh dosen Pak Chalid Arifin. Kata beliau, film inilah penting karena jadi tonggak pertama kalinya gerak kamera ke kanan dan ke kiri dalam sejarah perkembangan gerakan kamera.
Kehidupannya sinematik artistik. Mas Gotot memperkenalkan banyak pengalaman sinematik kepada Kelana dan kawan-kawannya angkatan 1998. Mahasiswa film benar benar merasakan keindahan wawasan almamater dan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Gotot Prakosa dan Kidlat Tahimik
Suatu hari pada 7 Agustus 2010 ada orang unik berbahasa Tagalok dengan penampilan unik hadir di IKJ. Mas Gotot memperkenalkannya sebagai Kidlat Tahimik, filmmaker yang berasal dari Philipina yang membuat film dengan kamera rotan!
Dari Kidlatlah kami mengetahui beberapa kisah tentang film-film Werner Herzog dan juga film-film Mindanao-Philipina Selatan. Kelana mengagumi film Werner Herzog berjudul Grizzly Man, sebuah karya dokumenter sinematik yang mengharukan.
Kehidupan ini bagaikan sinema, bergerak meniti jalan seluloid melalui porforasi, naik turun sebagai gerakan intermiten dan pada akhirnya babak demi babak berlalu hingga ending yang menyisakan kenangan atas peristiwa sinematik di dalamnya.
Pada 04 Juni 2015 Gotot Prakosa berpulang. Membawa semua amal sinematik estetiknya.
Gembel – gembel sinema berduka
Wajah sedih dipotret gubernur.
Terimakasih mas Gotot Prakosa.
Paling tidak film-film non mainstream telah lahir dari tanganmu. Entah sekarang kemana karya-karyamu itu.
Apakah mungkin film-film itu sudah ndak penting? Tapi mungkin penting juga jadi bahan mewujudkan amanat undang-undang Pemajuan Kebudayaan?