Oleh: Radhar Tribaskoro
Reformasi kepolisian selalu kembali sebagai tema laten negeri ini. Ia seperti luka lama yang tak kunjung sembuh, setiap kali tersentuh kembali berdarah. Artikel Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, Urgensi Reformasi Polri, memberi kita peringatan keras: masalah Polri bukan hanya soal perilaku oknum atau kasus moralitas individu, melainkan berakar dari rancangan sistem politik kita yang disebutnya asistemik dan akonstitutif .
Kata-kata itu terasa getir. Asistemik: sebuah konstitusi yang tidak tersusun dalam keterhubungan sistematis. Akonstitutif: hukum dasar yang tidak menegakkan dirinya sebagai sumber otoritas tertinggi. Saurip melihat, sejak 1945, kita hidup dengan dasar negara yang lebih menyerupai mozaik tambal sulam ketimbang rancangan menyeluruh. Hasilnya: lembaga-lembaga negara, termasuk kepolisian, tumbuh di atas tanah yang retak.
Antara Demokrasi dan Otoritarianisme
Ada paradoks yang kita warisi. Konstitusi yang seharusnya menjadi peta jalan justru bercampur antara logika demokrasi dan logika otoritarian. Presidensialisme kita bergelimang elemen parlementer. Sistem politik yang kabur itu kemudian melahirkan aparat yang juga kabur perannya. Polri, yang seharusnya menjadi penjaga hukum, justru sering menjadi instrumen kekuasaan.
Saurip mengingatkan, pemisahan Polri dari TNI tahun 1998 dimaksudkan agar keamanan tidak lagi dipahami sebagai produk militer, melainkan sebagai hasil kerja sistem sipil. Polri ditempatkan sebagai bagian dari law and justice system, bukan sebagai tangan besi yang menindas. Namun dua dekade lebih kemudian, Polri justru mengambil alih peran TNI di era Orde Baru: hadir di setiap sudut politik, ikut menentukan arah kekuasaan, bahkan mengisi kekosongan yang ditinggalkan militer dalam urusan-urusan sipil.
Analogi Saurip tajam: Polri bukan lagi wasit, tetapi juga pemain. Ia mengatur jalannya pertandingan sekaligus ikut berebut bola.
Reformasi yang Sistemik, tapi ke Mana Arah Praktisnya?
Seruan Saurip jelas: Reformasi Polri harus “sistemik dan terukur.” Ia membayangkan penataan ulang kelembagaan, peran, dan fungsi Polri sesuai tuntutan zaman. Tapi seruan ini meninggalkan pertanyaan penting: apa wujud konkretnya?
Di sinilah letak dilema. Kata “sistemik” begitu besar, tetapi tanpa langkah-langkah praktis ia berisiko jadi jargon. Padahal contoh sudah tersedia. Negara-negara demokrasi mapan menunjukkan bahwa pembatasan fungsi adalah syarat utama kepolisian modern. Amerika Serikat membagi kepolisian ke dalam fungsi-fungsi spesifik: FBI, DEA, ATF, polisi negara bagian, polisi kota. Jepang menekankan community policing dengan koban kecil di tiap lingkungan. Inggris membangun tradisi policing by consent, di mana legitimasi polisi lahir dari persetujuan warga, bukan dari senjata.
Indonesia, sebaliknya, menjadikan Polri superbody. Dari tilang motor hingga kejahatan siber, dari separatisme hingga sengketa bisnis, semua masuk ranah Polri. Akibatnya bukan hanya beban kelembagaan yang membengkak, melainkan juga melemahnya akuntabilitas. Ketika satu lembaga mengurus semua, siapa yang bisa mengawasi?
Langkah praktisnya bisa dimulai dari dua hal yang sudah disebut Saurip:
1. Desentralisasi fungsi lalu lintas ke Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan daerah. Polisi tidak perlu lagi berjaga di lampu merah atau di jalan tol, apalagi dengan stigma “pemalak” yang melekat .
2. Pembuktian terbalik atas kekayaan pejabat Polri. Sebuah mekanisme sederhana, tapi bila dijalankan secara konsisten akan memisahkan dengan terang antara mereka yang tulus mengabdi dan mereka yang menjadikan seragam sebagai ladang emas.
Dua langkah kecil, tapi bisa membuka jalan panjang reformasi sistemik.
Polri dan Politik: Bahaya Mengulang Sejarah
Saurip mengingatkan, Polri pasca-reformasi justru menggantikan peran TNI sebagai aktor politik. Di sinilah bahaya yang lebih besar. Bila dulu dwifungsi ABRI menjadi simbol otoritarianisme, kini kita menghadapi dwifungsi baru: Polri sebagai aparat hukum sekaligus kekuatan politik.
Hubungan struktural ini tidak sederhana. Polri berada langsung di bawah Presiden. Konsekuensinya, ia rentan digunakan sebagai alat untuk kriminalisasi lawan politik, mengawal agenda elektoral, atau bahkan mengatur peta kekuasaan. Di banyak negara, kepolisian ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri sebagai bentuk buffer politik. Tidak menjamin steril, tetapi memberi jarak dari godaan politik elektoral presiden.
Kita perlu bertanya ulang: masih tepatkah Polri ditempatkan di bawah Presiden, atau justru perlu reposisi kelembagaan agar lebih sejalan dengan prinsip demokrasi?
Budaya Polisi Pelayan Rakyat
“Polisi adalah pelayan rakyat.” Jargon itu sudah lama kita dengar, tapi jarang kita rasakan. Saurip memberi contoh sederhana tapi mengena: polisi yang menerobos lampu merah dengan sirene, menyuruh rakyat menepi, bahkan ketika mereka sendiri gagal mengatur lalu lintas. Itulah cermin dari institusi yang merasa lebih tinggi dari warganya.
Namun budaya tidak lahir dari ceramah etika. Ia lahir dari struktur insentif. Bagaimana mungkin seorang polisi hidup jujur bila take home pay tak cukup untuk menghidupi keluarga dengan layak? Bagaimana mungkin ia menolak suap di jalan bila sistem karier lebih ditentukan oleh patron daripada kinerja?
Maka reformasi budaya harus bersamaan dengan reformasi ekonomi institusional. Perbaiki gaji, beri jaminan sosial, buka jalur karier yang meritokratis. Baru kemudian kita bisa menuntut sikap melayani. Budaya adalah refleksi dari sistem, bukan sekadar akhlak pribadi.
Dari Asistemik ke Demokratis
Akhirnya, kita kembali ke tesis besar Saurip: konstitusi kita asistemik dan akonstitutif. Benar, fondasi negara ini penuh tambal sulam. Tetapi apakah itu alasan untuk menunda reformasi? Justru sebaliknya. Dalam keruwetan konstitusi inilah kita harus berani mengambil langkah konkret.
Menempatkan Polri dalam law and justice system. Membatasi fungsinya hanya pada Kamtibmas. Membentuk lembaga pengawas independen dengan kewenangan investigatif. Mereposisi kedudukannya agar tidak jadi alat politik. Dan membangun budaya pelayanan yang nyata, bukan hanya slogan.
Jika semua ini tidak dilakukan, Polri akan tetap menjadi superbody yang berbahaya: dulu di bawah bayang TNI, kini di bawah bayang kekuasaan sipil yang otoriter.
Penutup
Reformasi Polri adalah bagian dari perjalanan panjang bangsa ini mencari bentuk demokrasi. Ia bukan sekadar soal institusi kepolisian, tetapi soal hubungan negara dan rakyat, soal legitimasi kekuasaan, soal arah republik ini.
Saurip Kadi mengingatkan kita akan akar sistemik masalah Polri. Tetapi tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa kesadaran itu tidak berhenti di tataran gagasan. Jalan baru kepolisian demokratis harus dimulai dari langkah-langkah konkret: membatasi fungsi, menguatkan akuntabilitas, menjauhkan dari politik, dan memperbaiki insentif.
Karena tanpa itu semua, jargon “Polisi Pelayan Rakyat” akan tetap menjadi ironi yang pahit. Dan rakyat akan terus bertanya: untuk siapa sesungguhnya polisi bekerja?===
Cimahi, 2 Oktober 2025
