Oleh: Radhar Tribaskoro

Di sebuah ruang kuliah di Universitas Indonesia, kira-kira enam dekade lalu, Soemitro Djojohadikusumo pernah berkata bahwa perekonomian Indonesia adalah sebuah proyek yang rapuh: “Kita bukan hanya membangun gedung dan jalan, tapi membangun suatu bangsa yang belum pernah punya pengalaman sebagai bangsa merdeka.” Kata-kata itu, seperti banyak catatan dari generasi awal perancang ekonomi Indonesia, mengandung keprihatinan sekaligus keyakinan. Bahwa negara ini bisa tegak, bila ekonominya ditopang oleh dua hal: negara yang hadir, dan rakyat yang ikut merasakan.

Soemitro adalah seorang perancang. Ia tak selalu benar, bahkan sering jatuh karena politik. Tapi warisan intelektualnya jelas: ia percaya negara tak boleh hanya berdiri sebagai penonton. Negara harus masuk ke gelanggang, menguasai cabang produksi penting, membentuk BUMN sebagai motor pembangunan, dan membimbing lahirnya kelas pengusaha pribumi. Ia tahu, tanpa itu, republik yang baru berdiri ini hanya akan jadi pelengkap penderita dalam pasar dunia.

Lalu sejarah bergerak.

Kita tahu bagaimana Orde Baru menutup buku lama dan membuka buku baru. Soeharto memanggil teknokrat muda, sebagian dididik di Amerika, yang kelak disebut Mafia Berkeley. Mereka membawa satu mantra: stabilitas. Inflasi ditekan, utang diatur, modal asing masuk. Ekonomi tumbuh, rata-rata 7% setahun. Indonesia disebut the Asian Miracle.

Tapi keajaiban selalu punya bayangan. Bayangan itu adalah ketergantungan: pada utang luar negeri, pada modal asing, pada segelintir konglomerat yang dekat dengan istana. Negara memang hadir, tapi kehadirannya tidak netral. BUMN dijadikan sapi perah, kronisme merajalela. Pasal 33 UUD 1945 dibacakan di podium, tapi di ruang-ruang rapat kebijakan ia diabaikan.

Krisis 1998 meledakkan semua ilusi itu.


Reformasi lahir dari reruntuhan Orde Baru. Tapi reformasi tak hanya berarti demokrasi politik. Ia juga berarti pergeseran ekonomi: dari negara ke pasar, dari proteksi ke liberalisasi. IMF datang dengan daftar resep: privatisasi, deregulasi, disiplin fiskal. Dan kita meminumnya, seperti pasien yang diberi obat pahit.

Dari sinilah Sri Mulyani masuk ke panggung. Awalnya sebagai akademisi, lalu teknokrat, lalu Menteri Keuangan. Selama hampir dua dekade, ia menjadi wajah ekonomi Indonesia. Dengan ketekunan yang tak kenal kompromi, ia menjaga defisit di bawah 3%, memangkas subsidi, memperkuat pasar obligasi, dan membuka pintu lebih lebar bagi modal asing.

Ia punya integritas. Ia tak pernah menukar jabatannya untuk kekayaan pribadi. Ia menjaga agar mata air tetap jernih. Tetapi persoalannya: ia tak selalu peduli bagaimana air itu mengalir.

Sebuah metafora: Sri Mulyani menganggap negara adalah wasit

“Pemerintah adalah wasit yang memungkinkan ekonomi menjadi seperti yang seharusnya. Yang dibutuhkan adalah sistem pajak yang tidak memihak satu pihak,” katanya.

Dalam metafora ini, pemain utama adalah pasar. Negara hanya mengawasi aturan permainan, memastikan tidak ada yang melanggar.

Tapi apa jadinya bila wasit hanya sibuk meniup peluit, sementara pemain-pemain besar menguasai bola, dan rakyat kecil hanya jadi penonton di pinggir lapangan?

Mari kita bandingkan dengan Soemitro

Bagi Soemitro, negara bukan hanya wasit. Negara adalah pemain—sekaligus manajer tim. BUMN harus menjadi instrumen untuk industrialisasi, energi, pangan, dan infrastruktur. Program Benteng yang ia rancang pada 1950-an adalah upaya memberi peluang kepada pengusaha pribumi agar tak selalu kalah oleh pedagang asing. Dalam rancangan Soemitro, pasar bukan dibiarkan liar. Pasar harus ditundukkan oleh visi pembangunan.

Sri Mulyani membalik itu. Baginya, pasar lebih pandai mengatur alokasi sumber daya daripada birokrat. BUMN, bila terlalu besar, rawan jadi sarang rente. Maka negara sebaiknya tidak bermain, cukup jadi wasit. Paradigma ini—negara sebagai regulator, pasar sebagai pemain utama—menjadi fondasi kebijakan ekonomi Indonesia sejak awal 2000-an.

Dampaknya? Angka-angka bisa bicara.

Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% selama 2005–2023: stabil, tapi tak pernah melesat.
Indeks Gini memang turun dari 0,41 (2014) ke 0,38 (2019), tapi stagnan. Jurang kaya-miskin tetap terbuka: 1% orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional.

Utang negara naik dari Rp 1.300 triliun (2005) ke Rp 8.000 triliun (2023), meski rasionya dijaga di bawah 40% PDB.

Subsidi energi dipangkas drastis, dari Rp 300 triliun (2008) jadi Rp 100 triliun (2016), sebelum kembali naik saat harga minyak dunia melonjak. Rakyat kecil menjadi pihak paling rentan.

Kemiskinan resmi turun dari 16% (2005) ke 9% (2019), tapi sebagian besar adalah “hampir miskin,” yang mudah jatuh lagi bila ada krisis.

Stabilitas tercapai, tapi transformasi struktural tak kunjung datang. Industri manufaktur tak tumbuh signifikan. Ketergantungan pada impor pangan, energi, dan bahan baku tetap tinggi. Indonesia menjadi pemain pinggiran dalam rantai pasok global.

Di hilir, rakyat menunggu. Mereka merasakan harga BBM naik, tarif listrik melambung, dan akses pendidikan serta kesehatan yang masih timpang. Mereka menyaksikan bagaimana modal besar mendapat insentif, sementara UMKM berjuang sendirian.

Di titik inilah muncul kritik keras dari Rizal Ramli. Ia menolak melihat negara hanya sebagai wasit. Ia melihat kebocoran yang nyata: kebijakan makro yang rapi di atas kertas berubah jadi rente di lapangan. Ia menyebutnya Peng-peng: penguasa yang sekaligus pengusaha. Dan ia menegaskan, integritas bukan hanya soal pribadi yang bersih, melainkan juga keberanian melawan bocornya sistem.

Pasal 33 UUD 1945 seakan bersuara lagi. Versi asli konstitusi itu jelas: cabang produksi yang penting dikuasai negara, bumi dan air untuk kemakmuran rakyat, dan perekonomian disusun atas asas kekeluargaan.

Namun amandemen 2002 menambah ayat baru: prinsip efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, kemandirian. Kata “efisiensi” membuka pintu bagi liberalisasi. Dan sejak itu, Pasal 33 seakan kehilangan taringnya.
Kini kita berada di era Prabowo. Ia membawa nama besar ayahnya, Soemitro, sekaligus warisan dua puluh tahun ekonomi liberal di bawah Sri Mulyani. Pertanyaannya: apakah ia akan kembali ke semangat konstitusi, atau melanjutkan jalan yang sudah terlanjur dipijak?

Menkeu barunya, Purbaya Yudhi Sadewa, bukan sosok global sekelas Sri Mulyani, tapi juga bukan aktivis radikal seperti Rizal Ramli. Ia tampak pragmatis. Tapi di pundaknya kini ada tugas berat: memastikan air dari mata air itu tidak hanya jernih, tapi juga sampai ke hilir, ke sawah-sawah, ke dapur rakyat kecil.

Ada yang perlu dilanjutkan dari Sri Mulyani: disiplin fiskal, transparansi, dan keterhubungan dengan dunia. Tanpa itu, kita akan rapuh. Tapi ada yang harus dikoreksi: paradigma liberal yang mengabaikan distribusi, yang terlalu percaya pada pasar, dan yang lupa pada pesan konstitusi: untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ekonomi bukan sekadar menjaga angka defisit. Ekonomi adalah soal siapa yang diuntungkan, siapa yang ditinggalkan.

Sejarah selalu bergerak dalam tarik-menarik. Soemitro mengajarkan negara harus hadir, Sri Mulyani menunjukkan disiplin angka, Rizal Ramli mengingatkan tentang kebocoran, dan Pasal 33 UUD 1945 terus berbisik di belakang layar.

Mungkin, tugas kita sekarang bukan memilih satu dan menolak yang lain. Tapi menyatukan: negara yang hadir, disiplin yang dijaga, pasar yang diberdayakan, dan rakyat yang diutamakan.

Jika tidak, kita hanya akan terus jadi wasit di lapangan yang dikuasai segelintir pemain besar. Dan rakyat, sekali lagi, hanya akan menonton dari pinggir—menunggu tetesan air mata.===

Meikarta, 10 September 2025

Advertisement
Previous articleIroni Sri Mulyani
Next articleProtes Gen-Z Indonesia-Nepal dan Bayangan Multipolar

Tinggalkan Komentar