Reportase: Red.

‘’Perilaku budget maximizer terjadi pada situasi politik Indonesia yang mengalami ‘’backsliding democracy’’ akut. Akibatnya, check and balances lumpuh di masa Jokowi. Apakah situasi itu berlanjut ke depan? Jika koalisi kekuasaan kembali ke angka 80% menguasai parlemen, maka political market tidak akan sehat. Akan kembali muncul politisi demagog, yang mementingkan dirinya sendiri,’’ Demikian Prof Dr Didik J Rachbini, pendiri INDEF, ekonom senior dan rektor Universitas Paramadina Jakarta pada diskusi publik INDEF bertema ‘’Kabinet Rasa Politik atau Profesional? Menagih Arsitektur Kelembagaan Efektif,’’ Rabu (1/05/2024).

‘’Selanjutnya perilaku para politisi demagog, di antaranya menteri-menteri dari partai politik cenderung akan menggunakan kekuasaannya menjadi predator anggaran,’’ sambung Didik J Rachbini.

Menurutnya, ditinjau dari sudut perilaku politik, kita memang terjebak ke dalam perilaku budget maximizer akut. Perilaku itu sebenarnya wajar jika seorang politisi terpilih, maka dia pasti akan memaksimumkan budget dalam mensejahterakan konstituennya (teori rasional choice ; ekonomi politik).

‘’Dalam pasar yang sehat, ekonomi akan tumbuh disertai inovasi yang berkembang. Tapi dalam pasar yang sakit, akan terjadi berbagai masalah kesenjangan ekonomi, kemiskinan, social chaos, dan lain-lain,’’ pungkas Didik J Rachbini.

Sementara itu Andry Satrio Nugroho, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment, INDEF yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menyatakan, secara efektivitas tata kelola pemerintahan Indonesia dibanding negara ASEAN lain berada di ranking kedua terendah.

“Padahal, Institusi dan tata kelola yang baik akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi,” kata Andry.

Menurutnya lagi, efektivitas pemerintahan juga secara signifikan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, susunan kabinet akan menjadi cerminan seberapa efektif pemerintahan akan dijalankan.

“Kabinet koalisi yang besar, memang akan menguntungkan bagi presiden terpilih untuk memperlancar program-programnya. Tetapi itu juga indikasi akan lumpuhnya check and balances di parlemen. Backsliding democracy antara lain tercipta dari tiadanya resistensi parlemen terhadap segala kebijakan eksekutif,” ujarnya.

Advertisement

Tinggalkan Komentar