Oleh: Agus Wahid
Baru terjadi dalam panggung sejarah di Tanah Air ini, bahkan – boleh jadi – di muka bumi ini. Itulah sikap rakyat dalam memusuhi anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Juga, memusuhi Kepolisian Republik Indonesia secara terbuka dan fulgar.
Sejatinya, sudah berpuluh tahun lalu, rakyat tidak respek kepada mereka (entitas politisi yang ada di parlemen dan entitas aparat “Coklat”). Namun, diekspresikan dalam bentuk kritik verbal. Kali ini, sikap rakyat mengartikukasikan kebenciannya dengan menyerang mereka. Sebagian gedung institusinya dirusak. Sebagian lagi – dan peristiwa sejarah ini benar-benar pertama terjadi di negeri ini bahkan dunia – para personal Dewan diburu sampai ke rumahnya.
Data bicara, seluruh anggota DPR RI kini menjadi target kemarahan anarkis. Pagar gedung Senayan akhirnya terbobol, meski sebagiannya dilumuri oli hitam (bekas). Rusak parah. “Penghuninya” selaku anggota dan pimpinan Dewan berhamburan. Ngumpet. Tak berani ngantor. Terpetik kabar di antara mereka lari ke Singapura. Atau negara lain yang dinilai aman. Untuk menyelamatkan diri.
Bahkan, karena pemiliknya tak ada di kediamannya, rumah-rumah super mewah milik sejumlah anggota Dewan itu menjadi pelampiasan amarah rakyat: dijarah dan diacak-acak. Itulah yang kita saksikan pada kediaman Eko Patrio, Uya Kuya dan Ahmad Sahroni. Sementara, kediaman Sri Mulyani pun menjadi sasaran penjarahan.
Kita saksikan sejumlah gedung lembaga Dewan dibakar, seperti yang kita saksikan pada Gedung DPRD Tegal, DPRD di Makasar dan DPRD Provinsi Jawa Barat. Papan nama instansi Mako Brimob di Senen – Jakarta dirusak. Dipreteli papan nama dan lambangnya, lalu diinjak-injak. Sementara, satuan keamanan yang tetap menjalankan tugasnya justru dikejar massa. Bukan hanya dihalau, tapi benar-benar dilempari benda-benda tumpul, ditendang. Di antara mereka pun berlarian, menyelamatkan diri. Sebuah perlawanan rakyat yang menggambarkan kebencian yang sudah sampai ke ubun-ubun.
Kita perlu mempertanyakan, mengapa rakyat seganas itu? Sangat simpel persoalannya. Mereka krisis empati. Hilang Nurani. Tak peduli dengan nasib rakyat yang sedang dihimpit ekonominya secara serius. Dalam kondisi tak berdaya secara ekonomi, justru Menteri Keuangan mendorong berbagai pemerintah daerah menaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB P2) secara hiperbolik. Lebih dari 250% bahkan ada yang sampai 1.200%. Sebuah kebijakan yang sangat tidak rasional. Benar-benar membebani ekonomi rakyat. Layak dipertanyakan motif di balik kebijakan ekonomi itu.
Di tengah himpitan ekonomi itu, sebagian anggota DPR berjoged-ria. Hanya karena kenaikan gaji sebesar Rp 100 juta, padahal total remunerasinya mencapai Rp 4,525 miliar/bulan. Sebenarnya tak seberapa kenaikannya. Tapi, mengapa harus direspon dengan joged-ria? Oke, itu gambaran gembira. Tapi, sangat tak pantas di tengah jutaan rakyat sedang tercekam akibat beban ekonomi yang sangat mencekik. Tersebab situasi ekonomi nasional yang masih loyo dan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB P2) yang hiperbolik.
Anehnya dan hal ini menunjukkan gambaran krisis nuraninya, di antara anggota DPR RI merespon secara nyinyir. “Yang ingin membubarkan DPR manusia tertolol di dunia”. Sebuah responsi yang sangat antipati. Melukai perasaan rakyat, apalagi kaum lemah. Dan hal ini pula yang mengobarkan perlawanan.
Kita saksikan, rakyat langsung bergerak. Kegeraman rakyat dihadapi secara represif. Di antaranya, salah satu pengemudi ojol (Affan Kurniawan) ditabrak mobil barracuda Brimob. Sebuah penabrakan yang mengkibatkan korban tewas seketika sebelum sampai ke Rumah Sakit terdekat. Peristiwa tragis ini menambah jajaran elemen rakyat, terutama dari elemen ojol tersinggung dan marah-membara, tidak hanya di tengah Jakarta, tapi meluas di berbagai daerah.
Kita perlu menganalisis, apakah pengejaran rakyat terhadap elemen DPR dan polisi merupakan tindakan yang paling efektif? Jika menggunakan prosedur formal, sampai kapanpun lembaga DPR memang sulit dibubarkan. Dalam hal ini Sahroni benar. Tapi, politisi NasDem ini tak bermoral. Harus dicatat, posisi moral ada di atas hukum dan konstitusi.
Sahroni gagal membaca emosionalitas rakyat yang telah membara itu. Membaranya rakyat – dengan mendasarkan teori revolusi – akan menjumpai titik kebenaran, meski bertentangan dengan hukum dan konstitusi. Yang salah menjadi dibenarkan, sepanjang berhasil tindakan revolusionernya.
Dan fakta bicara, ketika rakyat memburu para anggota Dewan, mereka sulit menjalankan fungsinya secara produktif. Memang, ada model pembahasan secara virtual. Tetap stay di suatu tempat tersembunyi. Tapi, hasilnya tidak akan maksimal. Semakin “mati langkah” ketika menjalankan fungsi pengawasan, apalagi menjalankan reses untuk menyerap aspirasi.
Satu hal yang perlu digaris-bawahi, kedua elemen dari instansi Dewan dan kepolisian harus belajar serius tentang etika, nurani dan daya empati kemanusiaan. Pelajaran baru ini harus mampu diinternalisasikannya dalam bentuk praktik dan tindakan. Panorama kelakuan hedonis dan nyinyir selama ini menunjukkan perilaku Dewan yang gagal sebagai wakil rakyat. Sudah jumawa karena merasa ada di posisi “atas”.
Proses pembelajaran itu – mengenali etika, empati dan nurani – jelaslah itu perlu proses dan waktu. Sementara, publik sudah tak percaya bahkan muak terhadap mereka. Untuk memulihkannya, ada langkah strategis yang perlu diambil Presiden Prabowo.
Pertama, dalam bentuk pencabutan tunjangan berlebihan yang selama ini dinikmati para anggota Dewan. Apa yang disuarakan Prabowo tentang pencabutan tunjangan itu harus diaplikasikan dalam bentuk kebijakan nyata dan teroperasionalisasi. Jika pencabutan tunjangan ini berkorelasi pada penurunan kinerja, maka Presiden punya daya desak: copot para anggota dan atau pimpinan Dewan yang mbalelo tugasnya.
Kedua, peninjauan kembali kebijakan remunerasi pejabat negara (Dewan). Yaitu, disejajarkan dengan PNS, meski satu standar dengan pejabat eselon I. Fasilitas anggaran sebesar Rp 450 juta (atas nama program penyerapan aspirasi) perlu disunat secara signifikan, katakanlah kisaran Rp 100 juta, per masa reses. Sementara, kegiatan penyerapan aspirasi bisa ditugaskan kepada pada tenaga ahlinya (TA), yang ada di daerah pemilihannya masing-masing, atau TA yang menempal langsung pada anggota. Juga, perlu ditinjau kembali kebijakan anggaran untuk kunjungan kerja (kunker). Tak perlu lagi kisaran Rp 140 juta per kunker, tapi cukuplah Rp 25 juta per kunker.
Kunjungan atau studi banding ke luar negeri perlu ditiadakan. Sebab, program ini hanyalah dijadikan ajang jalan-jalan yang terbiayai negara. Uenak tenan. Hasilnya nihil. Sementara, untuk mencari bahan kajian kompartif bisa dengan mudah melalui googling. Langjah ini pun bisa dikerjakan para TA.
Seperti kita ketahui, kegiatan penyerapan aspirasi dan kunker, masing-masing delapan kali per tahun. Berarti, bertotal Rp 4.720.000.000 per anggota. Atau, sama dengan Rp 3.507.240.000.000 untuk kegiatan reses dan kunker bagi seluruh anggota DPR RI dan DPD RI.
Andai dilakukan moratorium remunerasi untuk kegiatan masa reses dan kunjungan kerja, katakanlah totalnya hanya Rp 1 miliar untuk selama setahun. Masya Allaah. Yang menarik untuk kita garis-bawahi, kebijakan moratorium itu – di satu sisi – sungguh signifikan reduksinya. Terjadi penghematan yang luar biasa bagi keuangan negara. Kebijakan ini juga akan berdampak, minimal dua hal. Yaitu, pertama, reduksinya bisa dialokasikan untuk program lain yang jelas bermanfaat.
Kedua, akan mengerem gaya hidup hedonisme dari kalangan Dewan. Ketiga, bisa mengikis kecemburuan sosial. Keempat, menaikkan peran dan fungsi tenaga ahli yang harus profesional, bukan semata-mata bawaan atau rekomendasikan anggota karena sebelumnya menjadi tim suksesnya, atau keluarganya.
Satu hal yang perlu dikumandangkan, niat masuk ke gelanggang Dewan adalah pengabdian di sektor lembaga politik, bukan mencari pekerjaan atau mau berdagang. Maka, andaikan dilakukan peninjauan ulang sistem kebijakan remunerasi Dewan, maka – secara perlahan tapi pasti – akan terjadi sketsa perubahan lembaga Dewan. Mereka akan hadir benar-benar sebagai wakil rakyat dan berpihak pada rakyat, bukan lagi partai.
Inilah momentum reformasi total dalam lembaga Dewan yang selama ini sesungguhnya tak layak menyandang status “Yang Terhormat”. Reformasi itu untuk mengembalikan marwah Dewan. Dengan pendekatan reformasi total sistem remunerasi, pada saatnya, akan meredupkan nafsu para kandidat ke parlemen, terutama bagi mereka yang bernafsu ingin mengejar materi. Harus dipahami, lembaga Dewan merupakan lembaga pengabdian, bukan tempat berdagang dan cari untung. Atau, lembaga penampung pencari kerja.
Dan satu manfaat besar, peninjauan ulang kebijakan remunerasi Dewan akan berkorelasi positif pada sistem pemilihan anggota legislatif. Tak akan terjadi obral dana untuk mendapatkan suara rakyat demi mencapai lembaga Dewan. Dan hal ini sungguh merupakan restorasi sistem pemilu legislatif yang luar biasa. Di satu sisi, akan mengajarkan rakyat untuk memilih calon anggota bukan karena fulus. Tapi, benar-benar calon anggota yang berintegritas dan berkualitas. Punya program jelas dan komitmen untuk rakyat.
Dan yang terakhir, demo massif dan ekstensif yang mengarah pada entitas kepolisian, hanya satu langkah taktisnya: segera copot Kapolri saat ini. Landasannya – pertama – keganasan aparat keamanan di lapangan tak lepas dari tanggung jawab pimpinan puncaknya. Yang di lapangan hanya “penerjemah” instruksi dari atasannya, meski secara berjenjang.
Yang kedua, publik tahu persis kebeadaan dan relasi emosional Kapolri dengan Jokowi. Publik mencurigai, entitas polri memfasilitasi gerakan ketidakpercayaan publik yang demkian meluas. Dan hal ini tak lepas dari skenario jahat Geng Solo. Juga, relasi Kapolri dengan kaum oligarki yang memang menjadi biang keladi penggarongan kekayaan sumber daya alam dan mineral negara.
Dengan membaca skenario antitrust yang dibangun Geng Solo, maka Prabowo tak selayaknya ragu untuk mencopot Kapolri. Landasan pertimbangannya sudah valid dan kuat. Maka, mencopot Kapolri dan seluruh Geng Solo menjadi solusi cepat untuk memulihkan keadaan yang kini masih rusuh. Juga, tahaban konkret untuk memulihkan stabilitas ekonomi nasional.
Akankah Prabowo berani mengambil tindakan vulgar itu? Hanya satu opsinya: harus berani. Jika tidak, berarti Prabowo memang sudah mempersiapkan karpet merah untuk Gibran. Jika hal ini terjadi, justru akan mengantarkan negeri ini akan berpuing-puing. Dan inilah yang dikehendaki para elit global, dari anasir China ataupun lainnya.
Untuk itu, gerakan perlawanan rakyat – jika masih menghendaki eksistensi negeri ini yang jauh dari aroma kolonialisme dan terhindar dari panorama kehancuran total – haruslah memperkuat barikade anti Geng Solo, di samping mendesak Prabowo untuk segera mengambil tindakan cepat-tanggap dan bertanggung jawab.
Bekasi, 02 September 2025
Penulis: analis politik.
Advertisement