Oleh : Dr Yusdinur
Akhirnya, pohon beringin itu tumbang juga. Begitu perumpamaan sejumlah netizen atas mundurnya #Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang disiarkan kemarin Minggu (11/8/2024). Mundurnya Airlangga juga diikuti dengan keluarnya pengusaha Jusuf Hamka dari pengurus dan anggota Partai Golkar, serta pencalonannya dalam Pilkada Jakarta 2024.
Di jagat maya beredar berbagai analisis dan prediksi dari para ahli dan netizen. “Partai Golkar #dibegal”, kata seorang netizen. “Golkar harus membayar mahal atas ketundukannya secara politik selama ini”, tambah seorang ahli. “Pak Lurah semakin berkuasa”, terdengar suara netizen lain.
Begitulah arena politik. Kontensi dan kontestasi berlangsung secara terus-menerus yang memperlihatkan siapa yang mempunyai kekuasaan #powerfull, lebih powerfull, atau powerless. Dalam perspektif #Foucauldian, kekuasaan itu dilihat secara positif dan menyebar, tidak terpusat pada kekuasaan politik, melainkan juga pada civil society, pengetahuan, dll. Sementara pandangan #Machiavellian melihat kekuasaan dalam perspektif yang lebih progressif.
Saat kekuasaan politik menguat dan berpusat pada aktor dominan, dan kekuatan #civilsociety melemah, serta sikap permissif rakyat menyebar, maka drama-drama seperti ini akan mudah terjadi dan dianggap wajar-wajar saja dalam arena politik, meskipun menabrak etika demokrasi.
Apapun itu, “tumbangnya pohon beringin” menjadi symptom bahwa ada kekuatan yang lebih powerfull yang sedang bekerja secara #klandestin. Sayangnya, di tengah situasi seperti ini, masyarakat dan kita semua hanya bisa menebak-nebak apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Bisa jadi, ini hanya sebuah drama politik.
Sebagian orang menuduh Presiden Jokowi berada di belakang mundurnya Airlangga. Namun hari ini, Senin (12/8/2024), Airlangga justru duduk di samping Jokowi dalam rapat kabinet di IKN. Di satu sisi, masyarakat bertengkar tentang apa yang sedang terjadi, sementara di sisi lain, para elit politik sedang ngopi-ngopi mentertawakan kita.
Karena itu, sosiolog Erving #Goffman membuat sebuah teori yang menjelaskan bagaimana interaksi sosial terjadi dalam berbagai arena, dari perspektif interaksionisme simbolik, yang disebut dengan #dramaturgi. Goffman menyebutkan bahwa kehidupan sosial bisa disamakan dengan permainan drama, dimana terdapat panggung depan (front stage) yang bisa dilihat penonton, dan panggung belakang (back stage) yang menjadi tempat berbagai skenario disusun.
Dalam drama partai Golkar, prilaku dan tindakan elit, yakni Airlangga mundur dari posisi Ketua Umum, adalah panggung depan yang bisa dilihat oleh mata publik. Sementara apa yang sesungguhnya terjadi di belakang layar, atau apa skenario yang sedang mereka susun untuk tetap berkuasa, dan sebagainya, seringkali tak mudah terlacak oleh publik.
Para jurnalis investigatif biasanya melakukan investigasi mendalam untuk melacak skenario-skenario apa yang dibuat oleh aktor-aktor powerful di belakang layar. Atau bisa juga kaum intelektual yang mempunyai akses ke dalam kekuasaan bisa membuat analisis berdasarkan informasi dari ring 1, dan sebagainya.
Lalu, akan berujung kemana drama Partai Golkar ini? Apakah ia hanya dinamika internal saja atau merupakan bagian dari kompromi politik jelang #transisi kekuasaan 2024? Atau merupakan bagian dari strategi bargaining dalam Pilkada 2024?
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Dalam dramaturgi, semua kemungkinan bisa terjadi.
Bogor, 12 Agustus 2024
Perspektif Dr. #Yusdinur (Sosiolog dan Pengamat Kebijakan Publik)
Advertisement