Oleh : Sayuti Assyathrie
Saya bersama Mas Erros dkk boleh dibilang sudah sama-sama ”uzur” dalam perjuangan. Dia tidak mungkin melupakan saya, terutama karena kita membangun persahabatan yang lebih bersuasana permusuhan. Terutama dari saya sendiri ke Mas Erros, hampir tidak pernah berkomunikasi dalam cara yang lembut. Saya temukan Mas Erros adalah orang yang paling sanggup mendengar omelan dan kritik saya. Sesekali dalam suasana seperti itu, justru melahirkan beberapa potongan puisi yang seketika mengalir deras ke nomor WA nya.
Semakin lama, saya semakin menikmati jalinan komunikasi dengan sebuah pribadi yang begitu terbuka, penuh senyum dan seperti berhati samudera. Ia memang seorang budayawan dalam arti paling otentik yang pernah saya kenal sebagai sahabat. Mengingatkan pada mertua saya alm Arsal Alhabsji yang selalu menyenangkan bagi siapapun, selalu menyapa siapapun dengan kata sayang di akhir panggilannya. Bagi dia, tidak ada yang bernama musuh, semua berada di domain yang perlu disayangi dan dicintai. Bagi mantan Ketua Dewan Kesenian Makassar dan Ketua Sastrawan Nusantara ini, hidup adalah menyenangkan semua orang.
Suatu waktu, sang mertua meminta saya untuk membantu menyelenggarakan pementasan seni Barzanji secara Nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sebuah acara besar pada tahun 1991, diikuti oleh lebih 100 mahasiswa dari berbagai latar belakang etnis, Jawa, Bugis dan sebagian dari Maluku. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu, dengan kapal laut mereka ke Jakarta dan tinggal di sini sampai selesai pementasan.
Sebagai orang yang dipercaya untuk ketua panitia penyelenggara, saya menerimanya sebagai sebuah kehormatan. Namun apa yang bisa dilakukan untuk mencari dukungan pendanaan dan berbagai kebutuhan guna menunjang para peserta dengan jumlah sebesar itu, dengan kebutuhan hidupnya di Jakarta. Saya harus mencari penginapan untuk mereka serta memenuhi kebutuhan untuk suksesnya acara tersebut. Selain mertua, saya dapatkan dukungan semangat dari art director acara tersebut yakni dr Abdul Razak Thaha yang kemudian menjadi Prof DR Abdul Razak Thaha dan Direktur Paska Sarjana Unhas.
Tetapi ketika memikirkan semua dukungan untuk kebutuhan pementasan, saya kemudian teringat pada sahabat sejati saya yakni Mas Erros.
Dulu pertama datang dari Jerman mewakili alumni Jerman, ke DMUI, saya yang pertama kali menemuinya dan berbincang dengan Mas Erros dan rombongannya. Sebagai Ketua Departemen Penerangan DMUI pada masa kepemimpinan Lukman Hakim dan kemudian menjadi Prof DR Lukman Hakim dan menjadi Kepala LIPI, saya harus berfungsi sebagai seorang komunikator yang menjelaskan visi gerakan dan agenda-agendanya. Terus terang saya sudah lupa apa detail pembicaraan kala itu. Tetapi yang sangat saya ingat adalah gambaran wajahnya Mas Erros yang nampak energetik, dari dahinya muncul butir butir keringat yang bercahayakan idealisme seorang pejuang otentik. Saya sedikit tahu soal perbedaan keringat atau peluh yang berasal dari kerja keras fisik atau dari semangat perjuangan yang berkobar karena ketulusan cinta pada kemanusiaan dan keadilan. Mas Erros memancarkan wajah yang berasal dari jenis terakhir itu. Maka tidak salah bila ingatan yang terlintas adalah wajahnya.
Ternyata saya tidak keliru, setelah menyampaikan masalah yang saya hadapi, Mas Erros kemudian menumpahkan semua energi usahanya untuk membantu saya menyukseskan acara tersebut. Bahkan dia tidak ingin melihat saya pulang dengan kendaraan umum, dan tanpa sedikitpun keraguan ia meminjamkan pada saya mobil yang mungkin satu-satunya yang digunakan. Saya pulang dengan sebuah mobil Peugeot dan sejumlah bekal uang untuk kebutuhan konsumsi dan sewa tempat tinggal para pemain dalam acara pertunjukan itu.
Setelah itu, setiap saya mengalami kekurangan dukungan logistik untuk kebutuhan para pemain, saya sampaikan ke Mas Erros dan dari kantongnya keluar bantuannya sebagaimana seadanya yang ada padanya.
Mas Erros mengajak saya bertemu dengan Mas Setiawan Djodi, sebuah nama yang terkenal karena kedermawannya pada waktu itu untuk acara-acara sosial budaya. Dengan berbagai dukungan dan fasilitasi itu kamipun adakan pertemuan dan diskusi dengan Mas Willy di padepokannya di daerah Depok. Mas Willy mempersembahkan beberapa sajak untuk menghangatkan suasana malam itu. Untuk menghibur para pemain pertunjukan.
Perjalanan ke tempat Mas Willy, saya semobil dengan Mas Sucipto Wirosardjono, Kepala Badan Statistik yang selain terkenal dengan berbagai tulisan kolomnya di media nasional. Ia juga dikenal sebagai seorang intelektual yang humanis dan suka dengan acara-acara budaya religi seperti Barzanji ini. Ia adalah juga teman mertua dalam lingkaran para budayawan dan jurnalis di tingkat nasional seperti Umar Kayam, Cak Nun, Gus Dur, Rosihan Anwar, selain dari Rahman Arge, Husni Djamaluddin, Sutardji Calzoum Bachri, Ikranegara dan Aspar Patturusi. Sengaja saya sebutkan nama-nama mereka sebagai penghargaan dan penghormatan pada mereka yang pada masanya mereka hadir sebagai sebuah komunitas budayawan yang miliki wibawa dan pengaruh besar dalam dunia politik dan kepemimpinan hikmat kebijaksanaan.
Di tempat Mas Willy, sudah ada di sana selain Mas Willy, Mas Setiawan Djodi, juga Mbak Christine Hakim. Saya masih ingat pada waktu itu ada sebuah narasi yang saya ungkapkan ketika memberikan pengantar dalam pertemuan itu bahwa kami khawatir suatu kondisi yang bisa terjadi yakni “ketika kemiskinan masuk dari pintu, keimanan melompat keluar jendela.” Hadirin tertawa seakan hal itu bisa terjadi pada setiap manusia, dan pada setiap kita-kita. Tulisan tentang Mas Erros, mengingatkan saya pada suatu dunia di mana Indonesia terlihat bermartabat karena values yang mereka geluti dan kembangkan.
Saking berhasilnya pementasan itu, sampai-sampai seusai pementasan, penulis buku ’’Kabut Sutra Ungu’’, Mbak Ike Soepomo yang hadir dalam acara itu, matanya terlihat berkaca-kaca setelah keluar dari gedung pertunjukan. Lantas ia masukkan tangannya ke dalam tas, dan merogoh sejumlah uang lantas berikan pada panitia yang membutuhkan untuk kebutuhan penginapan, logistik dan transportasi.
Kita sering berkhayal, andaikan tiap tahun bisa dipersembahkan acara itu secara nasional. Sebenarnya, menurut Mas Erros, hal itu juga merupakan keinginan Pak Rudini, Menteri Dalam Negeri yang hadir juga dalam acara tersebut atas permintaan Mas Erros. Selain yang juga hadir adalah Pak Beddu Amang yang waktu itu Ketua Umum KKSS dan boss Bulog. Semoga keinginan itu bisa terwujud.
Setelah dunia politik memperkenalkan model demokrasi liberal, di mana politik uang dan pragmatisme mengisi kegelapan materialisme di setiap pori ruang publik maka pada saat itu budayawan melompat keluar jendela. Rumah kebudayaan tidak lagi dihuni oleh kesadaran yang menghaluskan budi kemanusiaan untuk mewujudkan keadilan. Kehidupan kebangsaan kita menjadi kasar dengan pengkhianatan dan keserakahan seolah menjadi sebuah agama baru. Kehidupan menjadi kering dan semuanya, di mana-mana hanyalah transaksi untuk memenuhi syahwat penokohan dan dominasi alam rendah.
Di saat seperti itu, kita bangga, Mas Erros yang kini berusia 75 tahun bisa tetap menyiram air pada batang tubuh kemanusiaan di rumah kebudayaan dan politik. Air itu nengalir membasahi tubuh kemanusiaan tanpa peduli pada apapun isi kepala dan kecondongan politik mereka yang kriminal dan berisi semangat kebinatangannya.
Mas Erros tetap terus merawat kehadiran di wilayah badan naturalisme yang membuat budaya bisa tetap memakai mahkota pengabdian dan pelayanan untuk kemanusiaan dengan hati samudera dan jidat berbutir keringat cinta yang menyala. Sebuah terjangan politik kebudayaan yang melampaui berbagai jebakan isme yang merusak kasih sayang dan ketulusan persahabatan dan kekeluargaan yang bisa melahirkan masyarakat gotong royong.