Oleh: Farid Gaban

Seperempat abad usia Reformasi, sistem politik kita justru makin berkarat dan kualitas demokrasi terus merosot.

Ini pula yang memberi jalan lempang bagi maraknya kebijakan-kebijakan publik yang sarat kolusi dan korupsi.

Sistem politik dan kepartaian Indonesia sedang mengalami proses “Filipinisasi”, kecenderungan mengikuti trend politik Filipina yang dekaden.

Hal itu disimpulkan oleh Andreas Ufen, ilmuwan politik asal Jerman. Dia menulis Political Parties in Post-Soeharto Indonesia, Between politik aliran and “Philippinisation” (2006) dengan merujuk pada kajian-kajian ilmuwan politik Indonesia seperti Vedi Hadiz dan Julia Suryakusuma.

Ditulis terutama berdasarkan pengalaman pemilu 2004, kajian ini masih relevan sampai sekarang. Situasi politik dan kenegaraan kita justru belakangan makin kental mencerminkan kecenderungan “filipinisasi”.

Apa yang menjadi ciri-ciri Filipinisasi sistem politik dan kepartaian?


PARTAI PRESIDENSIAL


Munculnya partai-partai presidensial atau partai yang “terpresidensialisasi”: yakni partai yang dimobilisasi cuma untuk memenangkan calon presiden.

Contoh paling mencolok: Partai Demokrat yang muncul secara tiba-tiba tanpa ada jejak sejarah dan sukses menjadikan SBY presiden.

Gerindra, Hanura, Nasdem dan partai-partai lama seperti PDIP dan Golkar mengikuti trend sama, cuma alat mendukung kandidat presiden.

KEDIKTATORAN DALAM PARTAI


Kepemimpinan partai bertumpu pada kharisma tokoh dan karenanya otoriter (nir-demokrasi), sehingga seringkali memicu kisruh-internal (faksionalisme) ketika sang tokoh absen.

PDIP identik dengan Megawati; Gerindra dengan Prabowo; Nasdem dengan Paloh; Perindo dengan Hary Tanoe; Hanura dengan Wiranto; dan seterusnya. PKS adalah pengecualian.

MERAJALELANYA MONEY POLITICS


Kajian Vedi Hadiz (2004) menunjukkan bahwa partai politik Indonesia kini makin disandarkan pada “logika uang”.

Partai membutuhkan dukungan finansial dari pengusaha. Para “bohir” akhirnya mendiktekan sikap partai terhadap isu-isu tertentu berkaitan dengan kepentingan mereka. Ini menyuburkan praktek rent-seeking di kalangan legislatif dan eksekutif terpilih.

Ada aturan batas maksimal sumbangan ke partai politik, tapi tidak ditegakkan. Bahkan belakangan, para pengusaha sendiri lah yang secara harafiah mendirikan partai atau menjadi ketua partai: Airlangga Hartarto, Harry Tanoe, Prabowo, Jusuf Kalla, Zulkifli Hasan.

TAK PUNYA PLATFORM YANG BERMAKNA


Partai-partai miskin program dan makin pragmatis. Partai-partai tidak memiliki platform yang jelas.

Semua partai, baik yang sekular maupun agamis, mendasarkan ideologinya pada Pancasila yang terlalu abstrak.

Fakta bahwa platform partai cenderung dangkal sebenarnya tidak khas Indonesia. Ini fenomena global terutama setelah runtuhnya komunisme di Eropa Timur yang sekaligus meruntuhkan polarisasi politik.

Partai-partai berebut untuk menjadi partai tengah dengan tujuan bisa memikat sebanyak mungkin kelompok kepentingan. Di Indonesia, Golkar dan PDIP adalah model paling menonjol dari “catch-all parties” tadi.

KARTEL POLITIK KOALISI PRAGMATIS


Pragmatisme partai mendorong terbentuknya semacam kartel politik (seperti dicerminkan oleh presidential dan parlimentary threshold). Ini pada akhirnya memperkuat kecenderungan partai dipakai sebagai kendaraan oleh kaum oligark.

Menguatnya koalisi-koalisi pragmatis (transaksional). Itu bahkan melibatkan PDIP dan PKS yang konon “paling ideologis”.

RENDAHNYA LOYALITAS KEPARTAIAN


Rendahnya ikatan konstituen dengan partai; rendahnya loyalitas antara politisi dengan partainya (fenomena politisi kutu loncat sangat lazim).

LIhat, misalnya, Sandiaga Uno yang pergi dari Gerindra ke PPP untuk mendekat ke PKS hanya dalam hitungan hari!**

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar