Di era media sosial, wajah-wajah pejabat publik yang berjejer rapi di depan kamera, dengan senyum terkendali dan pakaian formal, telah menjadi pemandangan sehari-hari. Tidak terkecuali pada unggahan yang baru-baru ini beredar: sederet pejabat tinggi negara berdiri bersama, pamer habis rapat dengan Presiden Prabowo. Katanya membahas penguatan ekonomi nasional di tengah tantangan global. Sekilas, ini tampak seperti pesan serius tentang kesiapsiagaan negara. Namun bila ditelisik lebih dalam, fenomena ini mencerminkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam praktik komunikasi kebijakan publik di Indonesia — kecenderungan menuju strategic visibility yang semu.
Alih-alih menyampaikan substansi kebijakan yang jelas, unggahan semacam ini lebih memilih menonjolkan pesan visual dan simbolik: pemerintah bekerja, koordinasi berjalan, dan agenda ekonomi menjadi prioritas. Strategi ini memang efektif untuk menciptakan kesan singkat bahwa roda pemerintahan berputar. Namun di balik itu, komunikasi publik kehilangan daya jelajahnya. Tidak ada penjelasan tentang keputusan strategis apa yang dibahas, bagaimana tantangan global direspons secara spesifik, atau sejauh mana langkah konkret akan diambil untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Fenomena ini menggambarkan gejala yang bisa disebut sebagai “penyakit flexing pejabat publik”. Alih-alih memanfaatkan ruang digital untuk membangun dialog konstruktif dengan masyarakat, media sosial justru berubah menjadi panggung validasi diri. Pejabat publik berlomba-lomba tampil dalam bingkai kekuasaan, berharap mendapatkan pengakuan bahwa mereka bagian dari lingkaran inti pengambil kebijakan. Sayangnya, ini justru menggerus kepercayaan publik karena masyarakat semakin jenuh dengan komunikasi yang hanya berhenti di permukaan.
Dari kacamata teori komunikasi kebijakan, efektivitas komunikasi tidak diukur dari seberapa sering pejabat tampil di media sosial, melainkan sejauh mana pesan yang disampaikan mampu meningkatkan pemahaman publik tentang isi kebijakan, konsekuensinya, serta keterlibatan mereka dalam proses implementasinya. Komunikasi kebijakan yang ideal harus menjembatani kebijakan negara dengan kepentingan rakyat, bukan sekadar menampilkan kemewahan akses kekuasaan.
Apalagi dalam konteks ekonomi yang menjadi tema utama pertemuan tersebut, masyarakat tentu menantikan kejelasan langkah konkret: bagaimana stabilitas harga akan dijaga? Bagaimana pemerintah merespons potensi resesi global? Apa rencana riil untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab hanya lewat barisan foto formal.
Sudah saatnya pejabat publik memahami bahwa era media sosial menuntut transparansi yang lebih dalam. Masyarakat kini bukan hanya audiens pasif, tetapi komunitas kritis yang menuntut penjelasan jujur dan terukur. Bila komunikasi kebijakan hanya dijalankan dengan logika pencitraan semata, maka kepercayaan publik akan terus tergerus, bahkan sebelum kebijakan itu sendiri diuji di lapangan.
Sebagai negara dengan demokrasi yang semakin matang, kita patut berharap agar media sosial pejabat publik tidak sekadar menjadi etalase kemewahan kekuasaan, tetapi ruang keterbukaan yang memberi makna sejati pada setiap kebijakan yang diambil.
Advertisement