Oleh: Agus Wahid
Boleh jadi, hanya di Indonesia ini. Lainnya – di muka bumi – tak ada. Itulah gerakan yang demikian sistemik mempertahankan kepalsuan. Gerakannya melibatkan berbagai anasir, mulai dari kampus ternama, melibatkan sejumlah orang yang mengatasnamakan “kawan kuliah”, institusi kepolisian, lembaga peradilan, bahkan pengerahan jutaan informasi hoax yang diproduksi kaum bazzer. Itulah orkestra mempertahankan kepalsuan di negeri “Konoha”.
Perlu kita catat, gerakan itu bernilai finansial cukup fantastik, entah berapa triliun rupiah. Tidaklah berlebihan jika ada yang menyatakan, kerugian materiilnya bernilai ribuan triliun rupiah. Hal ini jika dikaitkan dengan pemalsuannya bukan hanya melakukan kebohongan terhadap kisaran 280 juta anak bangsa ini, tapi dampak langsung dari pemalsuannya telah mengantarkannya punya kekuasaan terhadap keuangan negara, yang bernilai tak terbatas.
Semakin tak terhingga nilainya ketika kekuasaannya juga telah digunakan untuk mengobrak-abrik sistem ekonomi nasional yang mengakibatkan kemiskinan struktural yang meluas, penghancuran sistem politik dan hukum nasional. Bahkan, sampai pada penghancuran hak-hak azasi bagi yang berseberangan. Pendek kata, luar biasa dampaknya dari sebuah tiket (ijazah) yang diklaim asli itu.
Hak Jokowi dan seluruh supporternya untuk mempertahankan klaim dan keyakinannya. Yang menarik untuk kita telaah, seluruh pihak yang senada dengan kebenaran klaim itu bermuara pada sebuah benda produk akhir: ijazah. Sebuah bukti dirinya pernah dan tamat kuliah.
Tak bisa dipungkiri dan fenomena itu kerap terjadi, bahwa ijazah sangat mudah diproduksi oleh pihak eksternal dengan keberadaan asli tapi palsu (aspal). Tak sedikit kaum kriminalis yang cakap membuatnya. Apakah termasuk ijazah Jokowi? Who knows, meski masih perlu dibuktikan di lembaga pengadilan.
Persoalannya, apakah para hakim itu terbebas dari infiltrasi pengaruh pihak eksternal? Berkaca pada proses hukum terhadap Gus Nur dan Bambang Tri, bahkan proses hukum di Pengadilan Jakarta Pusat terkait ijazah Jokowi, semua itu menunjukkan data faktual ketidakmandirian para hakim yang memprosesnya.
Menganalisa proses hukum di pengadilan, bahkan proses sebelumnya di institusi kepolisian dan kampus “penelor” ijazah itu, maka ada mekanisme yang super sederhana. Pendekatan algoritma menjadi kata kunci fital dan sangat fundamental.
Pendekatan itu tak perlu melibatkan bagian administrasi kampus yang ribet, perpustakaan, apalagi petinggi kampus (dekanan dan rektorat). Juga, tak perlu memobilisasi sejumlah orang untuk memberikan “kesaksian” yang membuat hati tertawa geli. Juga, tak perlu mengerahkan kaum buzzer untuk membangun opini publik tentang ijazah itu.
Apa bentuk pendekatan algoritma itu? Hasil test Sipenmaru Perintis I Tahun 1980. Data bicara, dari 68 jumlah mahasiswa yang diterima Fakultas Kehutanan – UGM, sama sekali tak ada nama Joko Widodo. Ketiadaan nama Jokowi menggugurkan data akademik apapun seputar nama Joko Widodo, termasuk ijazahnya.
Kini, seluruh elemen bangsa yang merasa dirugikan haknya bisa ramai-ramai mencari data penerimaan mahasiswa hasil Test Sipenmaru Perintis I 1980. Datanya terpublikasi di berbagai media nasional dan lokal. Sepuluh kampus yang tergolong pada Perintis I kemungkinan menyimpannya. Mungkin juga, di antara peserta tes Sipenmaru Perintis I 1980 ada yang menyimpannya. At least, di antara koran-koran nasional dan lokal juga punya arsipnya.
Sekali lagi, data penerimaan mahasiswa Perintis I 1980, menjadi penggugur seluruh klaim yang terbangun rapi. Juga, menjadi pijakan pembuktian yang valid bagi para pihak yang mendesak dan menuntut kepastian ijazah Jokowi itu. It`s as simple as that. Tak perlu keluarkan energi banyak, apalagi menegangkan. Langkah sederhana itu memang dihindari dengan gerakan yang super sistemik dengan melibatkan berbagai komponen, berapapun konsekuensi finansial.
Akhirnya, kita perlu merenung, nilai kejujuran dan atau kebenaran di Tanah Air ini bukan hanya semakin langka, tapi demikian mahal harganya. Dan untuk memperjuangkan kejujuran atau kebenaran bukan hanya berliku, tapi cukup mengancam keselamatan jiwa para pejuang dan keluarganya. Inilah potret negeri “Konoha” sejak dipimpin sosok pemilik ijazah absurd.
Dunia pun dibikin melongo, penuh heran. Dan menjadikannya candaan bagi para elit internasional. Anak bangsa ini – apalagi kaum diaspora – pun dibikin malu. Sementara, yang bersangkutan dan gerombolan supportenya hanya cengengesan. Tak merasa berdosa. Setidaknya, tak tampak sedikitpun beban moral. Ya, itulah panorama amoralitas hasil ternakan sang rezim lalu.
Bandung, 18 Mei 2015
Penulis: aktivis UI Watch PLUS
Advertisement