Oleh: Agusto Sulistio

Bisnis kuota internet di Indonesia adalah sektor yang kerap terlupakan oleh kaum kritis, padahal ia merongrong keseharian warga dari berbagai lapisan sosial, mulai dari desa hingga kota. Dengan sekitar 160 juta pengguna internet pada awal 2023, industri ini memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi dan kehidupan masyarakat.

Omzet Fantastis Bisnis Kuota Internet


Mari kita tinjau lebih dalam mengenai bisnis yang “gurih” ini. Harga rata-rata kuota internet di Indonesia adalah sekitar Rp 5.000 per 1 GB. Menurut data, rata-rata penggunaan internet per orang mencapai 15 GB setiap bulannya. Dengan perhitungan sederhana:

– Biaya per bulan per orang: 15 GB x Rp5.000 = Rp75.000
– Total pengeluaran nasional per bulan: Rp75.000 x 160.000.000 pengguna = Rp12 triliun

Dari omzet sebesar Rp12 triliun per bulan, industri telekomunikasi dalam negeri mencapai nilai yang luar biasa. Angka ini mencerminkan potensi ekonomi yang besar, yang seharusnya bisa dioptimalkan oleh pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur teknologi informasi.

Potensi Pembelian Satelit dan “Lemotnya” Pemerintah

Melihat potensi besar dari bisnis telekomunikasi ini, seharusnya bukan hal yang sulit bagi pemerintah untuk membeli satelit yang dapat menunjang kebutuhan masyarakat. Selain itu, investasi ini akan mendukung pengembangan usaha dan layanan telekomunikasi di masa depan.

Sebagai contoh, pada tahun 2018, Satelit Merah Putih milik Telkom menggunakan roket Falcon 9 buatan SpaceX, yang diluncurkan dari Cape Canaveral, Air Force Station, Florida, Amerika Serikat. Biaya yang dikeluarkan sekitar US$ 215 juta atau setara Rp 3,1 triliun. Jika dibandingkan dengan omzet bulanan dari bisnis kuota internet, biaya ini sangat terjangkau.

Namun, kebijakan pemerintah di era Presiden Joko Widodo dalam hal pengembangan infrastruktur internet sering kali dinilai lambat dan tidak sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal, dengan potensi pendapatan sebesar itu, seharusnya pemerintah mampu lebih proaktif dalam menyediakan infrastruktur yang lebih baik dan merata, termasuk di daerah-daerah terpencil.

Optimalisasi penggunaan dana dari sektor telekomunikasi dapat menjadi solusi strategis untuk meningkatkan kualitas layanan internet di Indonesia. Dengan investasi pada teknologi dan infrastruktur yang memadai, bukan hanya kualitas hidup masyarakat yang meningkat, tetapi juga daya saing ekonomi digital Indonesia di kancah global.

Bisnis kuota internet memang menggiurkan dan memberikan keuntungan besar bagi industri telekomunikasi. Namun, tantangan terbesar terletak pada bagaimana pemerintah bisa memanfaatkan potensi ini untuk memperbaiki infrastruktur dan layanan telekomunikasi secara merata.

Jadi, sudah saatnya pemerintah bergerak lebih cepat dan tepat, agar tidak hanya bisnis yang “gurih”, tetapi juga kebijakan yang “gurih” bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Lemahnya Kebijakan dan Tantangan Masuknya Starlink

Perusahaan telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia berada di bawah regulasi pemerintah, dan beberapa di antaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Meski telah lama beroperasi dan meraih keuntungan besar, perkembangan teknologi telekomunikasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju. Saat ini, jaringan internet di Indonesia masih mengandalkan kabel optik atau fiber optic, sementara banyak perusahaan telekomunikasi di negara maju sudah beralih kembali ke teknologi satelit versi terbaru.

Jika pemerintah ingin lebih maju dalam teknologi dan menyediakan layanan yang menjangkau seluruh penjuru tanah air, maka beralih ke teknologi satelit yang lebih mutakhir adalah solusi yang tepat. Teknologi ini tidak hanya memenuhi kebutuhan komunikasi warga di pelosok pedalaman, hutan, dan pesisir yang belum terjangkau oleh kabel optik, tetapi juga menyediakan kapasitas WiFi yang tinggi. Menurut data, masih ada puluhan juta warga Indonesia yang belum mendapatkan sinyal internet yang memadai.

Namun, beberapa kendala menghambat kemajuan ini, mulai dari keterbatasan anggaran hingga praktek korupsi dalam proyek pembangunan BTS (Base Tower Station) atau tower pemancar sinyal. Masalah-masalah ini harus segera diatasi, khususnya penegakan hukum yang serius dan tidak tebang pilih, guna segera meningkatkan akses internet di seluruh negeri.

Belum selesai dengan upaya menyebarkan sinyal internet ke pelosok, pemerintah kini memberi lampu hijau kepada perusahaan telekomunikasi asing, SpaceX, melalui layanan Starlink. Alasan yang dikemukakan adalah efisiensi dan efektivitas dalam menjangkau seluruh negeri. Secara teknis, Starlink memang menawarkan kecepatan yang lebih tinggi dan latensi rendah karena menggunakan satelit milik sendiri, bukan kabel optik.

Meskipun harga layanan Starlink diperkirakan akan lebih murah, selisih harganya dengan kuota internet dalam negeri saat ini tidak terlalu signifikan. Namun, kehadiran Starlink bisa menyebabkan persaingan yang tidak seimbang, terutama dalam harga paket internet residential atau rumahan, dan kemudian merambah ke kuota personal. Akibatnya, mayoritas pasar kuota internet bisa dikuasai oleh perusahaan asing, khususnya Starlink.

Lemotnya Kebijakan Pemerintah dalam Menghadapi Starlink

Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki opsi untuk membatasi dominasi pasar Starlink dan memperkuat pasar serta ekonomi dalam negeri. Salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan adalah dengan menurunkan harga kuota internet serendah mungkin, misalnya menjadi Rp800 per 1 GB. Jika langkah ini diambil, Starlink akan kesulitan bersaing dalam hal harga, sehingga tidak bisa memonopoli pasar kuota internet di Indonesia. Akibatnya, perusahaan telekomunikasi asing mungkin akan lebih fokus mencari pasar di wilayah yang minim persaingan seperti desa, pelosok, hutan, dan lautan.

Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah Jokowi akan menerapkan strategi pasar seperti itu? Jawabannya kembali kepada niat dan kesungguhan pemerintah dalam memajukan bangsa dan negara. Strategi ini memerlukan komitmen kuat untuk melindungi kepentingan dalam negeri dan menghindari dominasi usaha asing yang hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu.

Menerapkan kebijakan untuk menurunkan harga kuota internet tentu tidak mudah dan memerlukan perencanaan serta eksekusi yang matang. Tantangan utama termasuk memastikan keberlanjutan ekonomi perusahaan telekomunikasi dalam negeri dan mengatasi potensi hilangnya pendapatan negara. Namun, jika dilakukan dengan benar, langkah ini bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berada di daerah terpencil yang selama ini belum terjangkau layanan internet yang memadai.

Dengan harga kuota internet yang lebih terjangkau, akses informasi dan peluang ekonomi digital dapat tersebar lebih merata. Ini juga akan mendorong persaingan sehat di sektor telekomunikasi, di mana inovasi dan peningkatan kualitas layanan menjadi fokus utama untuk mempertahankan pelanggan.

Kesimpulan

Kebijakan pemerintah yang lambat dalam menghadapi tantangan dan peluang dari masuknya Starlink berdampak negatif pada ekonomi dan kedaulatan digital Indonesia. Namun, dengan strategi yang tepat seperti menurunkan harga kuota internet, pemerintah dapat melindungi pasar domestik dan memastikan manfaat yang lebih besar bagi rakyat. Semuanya kembali pada keseriusan pemerintah dalam memprioritaskan kepentingan nasional di atas keuntungan jangka pendek bagi beberapa pihak saja.

Demi masa depan yang lebih baik, langkah berani dan visioner sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga memberikan dampak positif yang luas bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kalibata City, Selasa 21 Mei 2024

pictsource: theguardian

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar