Jakarta, Kansnews.com ‘’Jika mau jujur, pada pelembagaan ekonomi keuangan syariah di Indonesia sekarang, seluruh menteri dan menko di Indonesia masuk jadi pengurus ekonomi keuangan syariah, lalu siapa sebenarnya yang mengoordinasi dan bertanggung jawab? Demikian kata A Hakam Naja, Advisory Board of CSED INDEF, yang berbicara pada Seminar Internasional “Sharia Economy and Finance: Policies for the Prabowo Government” yang dilaksanakan hari ini (03/09/2024) oleh INDEF, Universitas Paramadina dan UIN.

Oleh karena itu, salah satu rekomendasi adalah bagaimana mengoordinasi lembaga pemerintah atau kementerian yang ditunjuk oleh presiden untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi secara sungguh-sungguh dalam upaya memajukan ekonomi syariah.

Hakam Naja juga menyebutkan dari segi sejarah, perkembangan ekonomi keuangan syariah di Indonesia agaknya kurang beruntung, karena kita ketinggalan dengan Malaysia sudah agak lumayan jauh.

‘’Di Malaysia,Tabung Haji Malaysia sudah berdiri sejak tahun 1963, BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji Indonesia) baru pada 2017. Jadi kita ketinggalan 54 tahun. Bank Syariah Malaysia berdiri sejak tahun 1983, Bank Muamalat baru pada tahun 1992,’’ sambung Hakam Naja.

Di Malaysia ada Undang-undang Bank Islam, di Indonesia baru ada UU No 21/2008 tentang Perbankan syariah pada 17Juni 2008.

‘’Jadi kita memang kurang perduli terhadap perkembangan ekonomi keuangan syariah,’’imbuhnya.

Selanjutnya mantan anggota DPR RI tersebut menyatakan terdapat beberapa hal patut menjadi perhatian dari lambatnya perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, yang pertama, barangkali terkait dengan kata ‘’Islam’’.

‘’Mungkin dulu masalah piagam Jakarta dan sebagainya. Jadi waktu itu, Bank Muamalat pun diberi nama Bank Muamalat, mau ditambah Islam waktu itu Pak Harto menyatakan nama Muamalat sendiri sudah Islam,’’ tambahnya.

Hakam Naja juga mengatakan ada hal lebih tragis, yakni saat ini yang memanfaatkan ekonomi syariah itu saat ini siapa? Terutama ekspor ke 57 negara-negara OKI.

‘’Ternyata nomor satu negara yang mengekspor produk halal ke negara-negara OKI itu adalah China. Kemudian India, Brazil, Amerika. Indonesia sendiri malah jadi importir produk halal terbesar,’’ kata Hakam Naja lagi.
‘’Uniknya, dari 283 juta penduduk Indonesia, 240 juta muslim harus makan makanan yang halal. Kenapa bukan Indonesia yang menjadi pengekspor utama produk halal ke dunia internasional?’’ cetusnya.

Dari segi kebijakan di Indonesia dan Malaysia, Hakam Naja menemukan beberapa hal penting, bahwa ternyata kunci masalah ada pada government leadership, kepemimpinan.

‘’Kenapa pemerintah? karena pemerintah punya kewenangan, dana dan SDM. Di Hongkong ada Hong Liong Islamic Bank, juga ada Islamic Shanghai Bank Corporation. Jadi mereka yang mengambil bisnis ekonomi Islam,’’ tegasnya menyambung pembahasan.

Untuk itu Hakam Naja mengajukan beberapa rekomendasi untuk memajukan ekonomi keuangan syariah di Indonesia yakni Perlunya Menyusun RUU ekonomi keuangan syariah. Menjadi dasar hukum secara holistik. Kedua, Memasukan ekonomi keuangan syariah sebagai arus utama ekonomi. Ketika pada visi misi prabowo ekonomi syariah dianggap masuk dalam rencana kerja pemerintah 2025. Ketiga, Mengoordinasi lembaga pemerintah atau kementerian yang ditunjuk oleh presiden untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi secara sungguh-sungguh dalam upaya memajukan ekonomi syariah. Keempat, harus ditargetkan Indonesia menjadi pemimpin ekonomi syariah dunia sebelum 2029.

‘’Indonesia harus menjadi pusat perkembangan ekonomi keuangan syariah dunia,’’ tutupnya.

Pada sesi yang lain, Dr. Erdiriyo, S.E., M.M, Assistant Deputy for Inclusive Finance and Sharia Finance, Coordinating Ministry for Economic Affairs mengatakan, ekonomi keuangan syariah ditempatkan pada bagian keuangan inklusif.

‘’Pada keuangan inklusif, presiden menargetkan 90%, di akhir periode ini sudah tercapai 88,7%. Tapi yang menjadi problem adalah tingkat pelayanan keuangan syariah,’’ ujar Erdiriyo.

Erdiriyo juga menyatakan, Di OJK ekonomi keuangan syariah baru 12%, sehingga gapnya sangat jauh.

‘’Hal ini disebabkan oleh tingkat literasi yang masih sangat rendah, di mana edukasi yang tidak tepat dengan segmen-segmen prioritas,’’ ungkapnya.

‘’Mestinya, digarap pada beberapa segmen masyarakat yang menjadi prioritas (perempuan; anak-anak, pemuda dan pelajar; PMI) sehingga tercipta ekosistem atas keuangan syariah yang terkoneksi dan inklusif. Begitu juga terkait dengan sertifikasi halal perlindungan konsumen,’’ tambah Erdiriyo. (p17)

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar