Catatan Pagi Pril Huseno
#Humaniora



Harini, anakku lanang yang paling tua berulang tahun ke 24. Ikram Ilhamdi Ferdinand, namanya. Umur segitu masuk hitungan sudah dewasa. Sudah mencapai tahap bisa membedakan mana yang baik atau yang buruk. Mulai meniti karir dan masa depan, adalah kewajiban. Selain itu mutlak wajib berdoa dan beribadah sesuai perintahNya. Selamat anakku Ferdi. Semoga sehat selalu.

Anakku yang satu ini secara tabiat memang ada sedikit perbedaan dengan adiknya. Adiknya lebih kalem dan tenang. Tapi akan menggigit kalau diganggu. Sementara abangnya ini, lebih terbuka, ceria ke mana-mana, dan tidak bisa diam. Tapi keduanya saya amati punya batin yang halus. Gampang tersentuh. Baguslah, itu namanya hati nuraninya terjaga dengan baik.

Babang Ferdi ini kenapa saya sebut tidak bisa diam, bayangkan saja, selama 4 minggu kemarin (September – Oktober), ada 4 gunung di Jawa Tengah yang dinaiki olehnya.

Padahal dia sedang kerja Work from Home (WFH) di Jogja, dan kantornya di Jakarta sana. Jadi kemarin itu, setiap minggu dia naik gunung yang berbeda. Gunung Lawu, Gunung Sindoro, Gunung Prau, dan Gunung Sumbing. ‘’Opo ora gelagepan’’ bapak dan emaknya. Padahal lagi, dia pernah dirawat dua kali karena lambungya bermasalah.

Jelas saja waktu dia minta izin pamit mau naik gunung, selalu saya permasalahkan. Terlebih kemarin si Naomi di Gunung Slamet sempat sesat di gunung 2 malam 3 hari. Untung saja anak itu selamat, karena dia rupanya ikuti pakem Mapala, ‘’Jika sesat, maka lakukan STOP’’ atau berhenti bergerak, diam di tempat, dan jangan ke mana-mana, sampai pertolongan datang. Alhamdulillah Naomi selamat.

Tapi waktu saya permasalahkan kenapa naik gunung sesering itu, dia Cuma jawab :
‘’Aku kan harus olahraga untuk memulihkan fisik dan lambungku…’’
‘’Aku juga hati-hati dan berdoa sebelum naik, dan sudah sering juga naik gunung..” katanya kalem.

Sebagai orang tua, saya hanya bisa diam, dan merestui disertai doa. ‘’Bayangno wae…” tiap minggu naik gunung – empat kali dalam sebulan.

Memang, saya dulu di kampus bukan anak Mapala. Tapi ‘cah bagus’ yang coba tekun kuliah dan disiplin belajar. Meski akhirnya lulus lama juga karena suara batin selalu meronta-ronta melihat yang aneh-aneh (demo, anti ketidakadilan, dan lain-lain lah).

Namun gen Z ini rupanya terkena penyakit : jika sudah naik gunung sekali, maka itu akan jadi candu, alias ketagihan karena di atas pucuk gunung saja pemandangannya memang luarbiasa.

Saya lihat di posting-posting IG ataupun majalah, rupanya tiap gunung jika libur itu selalu dipanjat oleh ratusan pendaki. junior ataupun senior. Jadi, daya tarik gunung ini memang luarbiasa. Saya pun pernah ingin juga mendaki, tapi anak melarang. ‘’Ayah gak akan kuat, fisik sudah jompo…” Yo wis lah.. cukup jalan-jalan ke Kaliurang Jogja saja. Atau ke Bukit Bintang sana.

Betapapun, kekhawatiran orangtua tetap lah wajar dan beralasan. Namanya juga anak. Dua-duanya paling kusayang. Si Adek yang adiknya si Babang Ferdi juga suka petulangan, tapi bukan naik gunung. Dia senang kerja di lapangan. Tak heran kalau dia pilih kuliah di Fakultas Teknik Geomatika yang tukang survei lahan di mana-mana.

Pernah kelas 2 SMA sudah praktik lapangan Batubara di Berau Kaltim selama satu bulan. Pulang-pulang jadi buleng. Setelah itu dia lanjut kerja lapang di area DIY mengukur lahan-lahan sebagai tugasnya dalam melaksanakan proyek pengukuran lahan.

Barakallah Ferdi dan Fadzli. Dua anak kesayangan Ayah. Tak punya anak perempuan, tapi cukuplah nanti para menantu yang jadi curahan kasih sayang kedua orangtuanya.

Selamat ulang tahun Ferdi, sehat selalu dan sukses. Berhati-hatilah.

Yogyakarta, 10 Oktober 2024

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar