AI dipandang akan memperkuat China, maka negara besar mana pun (apalagi hegemon seperti AS) akan otomatis melihat itu sebagai ancaman terhadap posisinya
Catatan Cak AT
Di panggung dunia, Barat tampaknya kembali mementaskan drama favorit lamanya: “Ancaman dari Timur.” Versi terbaru dari saga ini diberi judul “AI China: Robot-robot yang Akan Menginvasi Dunia” — sebuah pertunjukan penuh efek suara kecemasan, lampu sorot paranoia, dan naskah yang ditulis berdasarkan ketakutan historis yang diwariskan turun-temurun sejak Perang Dingin.
Ceritanya sederhana: jika China mengembangkan kecerdasan buatan, maka dunia—khususnya Barat—akan tenggelam dalam lautan robot bermata sipit (dan barangkali berbahasa Mandarin) yang mengambil alih segalanya, dari Wall Street sampai ladang jagung di Kansas. Bagi sebagian politisi Barat, teknologi hanya boleh dikembangkan jika dikendalikan dari kantor-kantor ber-AC di Silicon Valley atau Pentagon.
Mari kita telaah sedikit lebih serius. Kecemasan ini berakar pada filosofi hegemoni: keyakinan bahwa hanya ada satu pihak yang berhak mengatur permainan teknologi global. Kalau dunia ini seperti pesta ulang tahun besar-besaran, Barat percaya bahwa dia bukan hanya tamu kehormatan, tapi juga pemilik kue, lilin, dan daftar tamu.
Filosofi hegemoni tidak hanya berhenti pada imperialisme klasik — yaitu dominasi militer dan ekonomi — tetapi juga mencakup dimensi ideologis dan kultural. Antonio Gramsci, seorang filsuf Marxis Italia, memperkenalkan konsep hegemoni kultural, tentang bagaimana satu kekuatan mempertahankan dominasinya.
Cara hegemoni, selain lewat kekerasan, juga mengontrol nilai, ide, dan pandangan dunia sehingga pihak yang didominasi merasa itu wajar. Dalam hal “ancaman AI China”, Barat bukan hanya takut kalah bersaing teknologi, tapi juga takut kehilangan monopoli atas narasi: siapa yang berhak menentukan masa depan AI, dan dengan nilai-nilai siapa.
Teori hegemoni lainnya datang dari John Mearsheimer, pengusung offensive realism, yang berargumen bahwa negara adidaya secara alami ingin mencegah munculnya pesaing regional demi mempertahankan dominasinya. Menurut sudut pandang offensive realism, AS merasa wajar dan alami untuk khawatir.
AI dipandang akan memperkuat China, maka negara besar mana pun (apalagi hegemon seperti AS) akan otomatis melihat itu sebagai ancaman terhadap posisinya. Jadi, histeria terhadap AI China bukan sekadar soal chip dan algoritma, melainkan insting geopolitik mendalam: refleks mempertahankan posisi puncak di piramida global.
Satu langkah maju China, satu langkah mundur bagi Barat. Ketika AI tumbuh di China —dari kampus di Beijing sampai pasar elektronik Huaqiangbei di Shenzhen— alarm pun berbunyi di Washington. Reaksi mereka seperti tetangga yang tiba-tiba melihat rumah sebelah punya Wi-Fi lebih cepat: panik, curiga, dan mulai mengintip lewat pagar.
Namun, seperti yang ditulis Ding Gang dalam Global Times, ketakutan ini lebih menyerupai inertia anxiety: kecemasan yang sudah ada sejak lama, kini hanya mencari “kendaraan” baru. Dulu teknologi kendaraan, nuklir, lalu kedirgantaraan, kemudian internet, dan kini ditambah lagi dengan AI.
Sama seperti CoCom (Coordinating Committee for Multilateral Export Controls), suatu mekanisme embargo teknologi di era Perang Dingin, kini Barat berusaha menghidupkan kembali semangat lama itu. Tapi, tentu dengan kemasan yang lebih trendi: “AI governance,” “trustworthy AI,” atau “democratic AI alliance.” Nama boleh baru, motif tetap sama.
Lucunya, ketakutan ini tidak menghentikan China. Faktanya, menurut laporan Stanford AI Index 2024, China sudah melampaui AS dalam jumlah makalah penelitian AI yang paling banyak dikutip, serta dalam jumlah paten AI yang diajukan. Itu artinya, para ilmuwan China tak hanya pandai berdagang, tapi juga meneliti dan membuat teori.
Di dunia open-source yang semakin mengglobal, kode-kode mengalir seperti sungai, melintasi batas negara jauh lebih cepat daripada paspor diplomatik. Seperti kata pepatah lama: Anda bisa mengurung satu buku di perpustakaan, tapi Anda tidak bisa menghentikan ide yang sudah menyebar lewat GitHub, titik kumpul para pembuat software sedunia.
Di sisi lain, ada ironi yang pahit. Saat menuduh China berpotensi mempersenjatai AI, para pengkritik di Barat justru membayangkan bagaimana mereka sendiri akan menggunakan AI jika berada di posisi yang sama: sebagai alat dominasi dan hegemoni, bukan kolaborasi. Refleksi kecil ini barangkali lebih menakutkan dari semua robot buatan China.
Maka, pertanyaannya seharusnya bukan, “Bagaimana kita menghentikan China mengembangkan AI?” melainkan, “Bagaimana kita bersama-sama membentuk masa depan AI agar tidak menjadi alat baru untuk imperialisme, baik oleh Timur maupun Barat?” China memberi contoh dengan membuat DeepSeek sebagai aplikasi AI open source.
Kalau tidak, kisah ini hanya akan berakhir di museum, di sebelah mesin ketik tua CoCom, sebagai bukti betapa kerasnya usaha manusia untuk mengulang kesalahan yang sama —kali ini dengan tambahan efek spesial: machine learning dan big data.
Jadi, sebelum buru-buru membangun Tembok Digital atau meluncurkan embargo teknologi edisi AI, mungkin saatnya kita bercermin, menyeduh teh (atau kopi), dan bertanya: Siapa sebenarnya yang lebih takut pada masa depan? Kita, atau mesin-mesin yang kita ciptakan sendiri?
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 15/4/2025