Oleh : Arif Wibowo

Strategi Memangkas Islam, demikian istilah yang dipakai mantan Zending consul Van Randwijk, yakni sebuah upaya untuk memunculkan dialek daerah pra Islam.

Bagaimana mengembalikan bahasa-bahasa lokal di Hindia Timur ke huruf dan tutur pra Islamnya. Sementara untuk Lingua Franca, dipilihlah huruf Latin sebagai pengganti huruf Jawi dan Bahasa Melayu Riau, bahasa Melayu praktis yang dipakai para pedagang tapi tidak punya basis penutur yang luas.

Karel Frederick Holle misalnya, di tahun 1865 menerbitkan buku cerita rakyat Sunda yang dibagikan kepada penduduk, dengan tulisan Sunda yang merupakan varian artifisial tulisan Jawa. Padahal, Holle sendiri mengakui bahwa masyarakat Sunda lebih mengenal huruf Arab daripada huruf Sunda. Akan tetapi, bahasa dan huruf Arab harus dibatasi karena akan memperkuat pengaruh orang yang fanatik terhadap agama.

Selain itu juga melakukan politik bahasa dengan menjadikan huruf Latin sebagai huruf resmi di administrasi pemerintahan, perdagangan dan lembaga pendidikan. Dengan demikian bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi akan terasing dari masyarakat dan kiblat kebudayaan akan berubah ke dunia Barat.

Proses Latinisasi huruf ini, menurut Syed naquib Al attas secara berangsur-angsur akan memisahkan hubungan leksikal dan konseptual antara umat Islam dengan sumber Islam dan dunia Islam. Senada dengan Syed Naquib, Buya Hamka juga memandang proses latinisasi huruf ini akan menceraikan umat Islam dari warisan pemikiran para pendahulunya.

“Ada beberapa akibat buruk dari penukaran huruf ini. Pertama sekali ialah putusnya hubungan angkatan yang datang kemudian dengan perbendaraan pikiran nenek moyangnya. Kalau mereka hendak mencarinya juga terpaksa dengan perantaraan orang lain. Hendak tahu perbendaharaan pikiran di Malaysia, terpaksa bertanya kepada buku-buku Wensted. Hendak tahu Aceh, terpaksa menuruti pemikiran Hurgronje. Hendak tahu siapa Hamzah Fansuri terpaksa bertanya pada buku Dorenbos, dan seterusnya, karena awak sendiri tidak dapat mengetahui sumber aslinya yang ditulis dengan huruf Melayu tadi” (Kenang-Kenangan Hidup)

Keterputusan pemikiran dari para gagasan dari para pendahulu yang menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi pengembangan bahasa, menjadikan proses latinisasi menceraikan hubungan pedagogi antara kitab Suci Al Qur’an dengan bahasa setempat.

Deislamisasi pemikiran adalah konsekuensi logisnya, sebab kemudian terjadi penyerapan konsep-konsep barat ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi penalaran mereka.

Di Malaysia, sebelum membuang huruf Jawi, kalau para pengarang-pengarang hendak memperkaya bahasa Melayu, mereka dahulukan mencari dari bahasa Arab. Kita bertemu kata-kata Iktisad untuk ekonomi. Siasat untuk politik, tahniah untuk ucapan selamat, takziah untuk kematian. Namun sejak diganti dengan huruf latin (Rumi) perkembangan itu tidak lagi, Iktisad hilang, ekonomi menjadi gantinya. Siasat hilang, politik menjadi gantinya. Di Indonesia sendiri kian lama kian terasa usaha halus hendak mengganti, baik yang bahasa Melayu asli maupun yang datang dari bahasa Arab dengan Jawa (Kenang-Kenangan Hidup).

Hamka memandang, pergantian huruf ini merupakan ekspansi kultur, serbuah kebudayaan dari segi bahasa yang bertujuan untuk melemahkan agama sebab para pemakai bahasa Melayu Islam terbukti menjelma menjadi orang-orang fanatik yang tidak mudah tunduk kepada kepentingan kolonial.

Hilangnya huruf Arab Jawi dan pudarnya bahasa Melayu Islam itu tidak berlangsung alamiah, sebab pada tahun 1930-an, Belanda melakukan politik pemberantasan buta huruf, akan tetapi yang diberantas adalah kebutaan masyarakat terhdap huruf latin.

Meskipun orang pandai membaca dan menulis huruf Arab Jawi, mereka tetap dipandang sebagai orang buta huruf. Politik bahasa yang bermula dari penggantian huruf ini berlanjut ke ranah sastra dan dunia tulis-menulis, sehingga kemudian sastra Melayu Islam disebut sebagai sastra Indonesia lama yang berganti arah menjadi sastra Indonesia modern.

Islam Puncak tragedi ini, di Indonesia adalah ketika ditahun 1970, pemerintah Orde Baru yang saat itu banyak di think-thank i oleh cendekiawan Katolik dan sekuler, melarang pengajaran huruf arab Jawi di sekolah-sekolah umum. Sehingga huruf ini hanya tersisa di pesantren-pesantren salafiyah.

Dampak penukaran huruf adalah perubahan kiblat kebudayaan, dari dunia Islam ke dunia Barat, negeri para penjajahnya. Lebih jauh lagi, yang terjadi bukan hanya penjajahan fisik, tapi juga penjajahan pikiran, yang disebut oleh Syed Hussein al al Attas sebagai benak terbelenggu (captive mind).

Benak terbelenggu adalah kondisi dimana manusia tidak lagi memiliki kreatifitas dan kemampuan untuk mengungkapkan dan memecahkan masalah secara organik dan orisinal. Pandangan hidupnya terpecah hingga ia terasing tradisi bangsa dan agamanya sendiri. Joachim Matthes menyebut hal ini sebagai “Kristenisasi Kultural Secara Tersembunyi.”

Dalam mengkaji agama misalnya, Islam di sini mulai dipandang sebagai “religi” sebagaimana pertumbuhan religi di dunia Barat. Islam direkonstruksi secara intelektual menurut gambaran Kristen. Manhaj dimaknai jadi “denominasi”, dan perbedaan madzhab seolah sebuah skisma keagamaan.

Dampak lebih jauh lagi, umat Islam mengalami semacam gegar intelektual, di mana kosakata asing yang berasal dari dunia Barat tidak lagi bisa dibendung. Istilah-istilah baru yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat muslim datang silih berganti. Idiom-idiom pluralisme, multikulturalisme dipaksa masuk menggantikan konsep kemajemukan masyarakat yang sudah mapan dan tidak mengundang kontroversi.

Tidak berhenti sampai di situ, bahkan kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, penulisan beberapa istilah baku agama Islam sudah meninggalkan kedisplinan dalam transliterasinya. Sebagai contoh, Al Qur’an ditulis Kuran, ibadah sholat ditulis Salat. Hal ini merupakan kesalahan fatal, sebab sebagai agama wahyu, Islam sangat disiplin menjaga kemurnian baik istilah kunci agamanya, baik dalam pelafalan maupun pemaknaannya.

Sayangnya saat ini, di internal umat Islam sendiri abai menjaga bahasanya, agar tetap seiring dan senafas dengan Islam. Wacana Islam politik, relasi agama dan negara, tampil sangat dominan dengan segala variannya. Sementara wacana relasi agama dan bahasa semakin menghilang dari rak-rak kepustakaan kaum muslimin. Padahal agama dan bahasanya keduanya merupakan variabel utama pembentuk kebudayaan dan peradaban.

Peta yang dibuat oleh Prof. Dannys Lombard ini menunjukkan kondisi masyarakat Indonesia sekarang, dimana penduduknya, termasuk umat Islamnya, hanya mengenal satu huruf saja yakni huruf latin. Kalaupun ada yang masih mengenal huruf Jawi dan Pegon, itu hanya kalangan santri dan dipakai di tempat yang sangat terbatas.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar