Oleh: Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa

Pembukaan
Idul Adha bukan sekadar perayaan tahunan umat Islam. Ia adalah momentum teologis, historis, sekaligus ideologis. Di dalamnya terkandung kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail, sebagai simbol ketundukan total kepada Allah SWT. Tetapi di tengah gegap gempita takbir dan aroma daging kurban yang menyelimuti negeri, ada pertanyaan yang jauh lebih mendalam: bagaimana keadaan aqidah umat Islam Indonesia pasca gelombang deislamisasi yang diam-diam tapi sistematis merasuki sendi-sendi kebangsaan?

Sejarah Deislamisasi Dari Politik Etis ke Politik Identitas

Deislamisasi bukanlah fenomena baru. Ia telah berakar sejak kolonialisme Hindia Belanda yang sengaja mengklasifikasikan Islam sebagai ancaman bagi stabilitas kekuasaan. Politik etis yang pada mulanya tampak “manusiawi” justru melahirkan sistem pendidikan sekuler yang terpisah dari nilai-nilai Islam.
Setelah kemerdekaan, tarik-menarik antara kekuatan nasionalis-sekuler dan kekuatan Islam terus berlangsung. Pada 1945, Piagam Jakarta yang mengandung klausul “syariat Islam bagi pemeluknya” dihapus. Di era Orde Baru, Islam dipolitisasi sekaligus dimarginalkan. Umat Islam didekonstruksi identitasnya, dipaksa berasimilasi dengan idiom nasionalisme yang anti ekspresi Islam politik. Islam disuruh “pribadi” dan “subjektif” saja, tidak boleh tampil di ruang publik sebagai ideologi.
Pasca-Reformasi 1998, semangat kebebasan membuka ruang bagi kebangkitan Islam. Tapi di saat yang sama, masuklah arus baru: globalisasi, liberalisme, dan pascakolonialisme budaya yang menyusup ke tubuh bangsa. Isu HAM, gender, pluralisme, hingga “deradikalisasi” menjadi dalih modern untuk memotong akar keberislaman masyarakat terutama generasi muda. Agenda ini diperkuat oleh elit-elit intelektual dan LSM yang terafiliasi pada lembaga donor luar negeri dengan visi modernisme sekuler.

Idul Adha Manifestasi Totalitas Tauhid

Makna Idul Adha bertumpu pada narasi agung tentang ketaatan dan tauhid. Nabi Ibrahim, meski diuji dengan perintah yang secara logika manusia tak masuk akal — menyembelih anak kandungnya sendiri — tetap tunduk, patuh, dan berserah diri. Ini bukan sekadar cerita religius; ini adalah pelajaran hidup tentang bagaimana aqidah mengarahkan seluruh eksistensi manusia kepada satu titik sentral: laa ilaaha illallah.
Dengan menyembelih hewan kurban, umat Islam sejatinya diajarkan untuk menyembelih ego, keserakahan, kesombongan, dan ketundukan kepada selain Allah. Maka, Idul Adha adalah peringatan tahunan bahwa dalam hidup, tidak ada ketaatan mutlak kecuali kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa.

Deislamisasi Gerakan Senyap Menghapus Jejak Aqidah
Sejak era reformasi bergulir, Indonesia seperti menyambut liberalisme dengan tangan terbuka, dari politik dan budaya, dari sistem pendidikan hingga media massa. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, narasi-narasi anti-agama (terutama anti-Islam) mulai mendapatkan ruang. Deislamisasi tidak selalu hadir dalam bentuk frontal, ia justru sering tampil sebagai wacana toleransi semu, pluralisme relativistik, bahkan “modernisasi Islam” yang justru melemahkan esensi Islam itu sendiri.

Agenda Deislamisasi Hadir Lewat Berbagai Kanal

Pendidikan, dengan pengurangan porsi pelajaran agama atau pemutihan sejarah Islam dalam kurikulum.

Media, yang menyorot Islam hanya dalam dua wajah: radikal atau eksotis.

Hukum dan politik, lewat pembatasan simbol-simbol keislaman di ruang publik atas nama netralitas negara.

Ekonomi, dengan memarjinalkan sistem keuangan syariah melalui regulasi yang diskriminatif.

Narasi “Islam radikal” menjadi alat retoris untyuk membungkam gerakan dakwah, dan labelisasi ekstremisme digunakan untuk menjauhkan umat dari para ulama dan aktivis Islam.

Pasca Deislamisasi Di Mana Aqidah Umat Berdiri?
Pasca-deislamisasi bukan berarti akhir dari Islam, tapi sebuah fase baru di mana umat dipaksa untuk kembali pada akar spiritualnya. Ujian ini tidak ringan. Dalam situasi seperti ini, Idul Adha menjadi kompas moral dan spiritual yang mengingatkan bahwa aqidah tidak boleh dikorbankan, bahkan di tengah tekanan ideologis dan politik.
Banyak umat yang tetap bertahan, meski dihujani narasi dekonstruktif terhadap Islam. Masjid-masjid masih ramai, kajian tetap hidup meski diawasi, dan gerakan sosial Islam terus tumbuh, bahkan ketika distigmatisasi menjadi makanan harian media. Ini menunjukkan bahwa aqidah belum mati — ia hanya sedang diuji.
Namun, tantangan ke depan tetap besar. Generasi muda yang hidup dalam ekosistem digital dan sekuler seringkali tidak memiliki fondasi tauhid yang kuat. Mereka terombang-ambing antara keinginan menjadi “muslim modern” dan tekanan untuk menjauh dari identitas Islam yang kaffah.

Meneguhkan Aqidah di Era Pasca-Deislamisasi

Apa yang bisa dilakukan umat Islam hari ini?

1. Memperkuat Pendidikan Aqidah
Pengajaran tauhid harus menjadi pusat pendidikan Islam, bukan sekadar pelengkap kurikulum. Umat harus diajarkan bahwa aqidah bukan hanya tentang mengenal Tuhan, tapi juga tentang keberpihakan sosial, politik, dan budaya kepada nilai-nilai ilahiyah.

2. Menghidupkan Narasi Islam Kaffah
Islam bukan hanya ibadah ritual. Ia adalah sistem hidup menyeluruh. Umat harus diajak untuk melihat Islam sebagai solusi peradaban, bukan sekadar warisan masa lalu.

3. Melawan Narasi Deislamisasi secara Cerdas
Perlu gerakan intelektual yang kuat untuk membongkar dan membantah narasi-narasi yang melemahkan Islam. Dakwah tidak cukup hanya dengan emosi; ia perlu argumentasi dan strategi komunikasi.

4. Menjadikan Idul Adha Sebagai Momentum Perlawanan Spiritual
Idul Adha harus dimaknai sebagai perlawanan simbolik terhadap segala bentuk penyerahan diri kepada selain Allah — termasuk kepada negara, sistem ekonomi yang zalim, dan budaya konsumtif yang menjauhkan umat dari nilai-nilai qurban.

Penutup
Tauhid Adalah Perlawanan

Di zaman ketika Islam dicoba untuk dikerdilkan menjadi agama privat dan simbolis, peringatan Idul Adha menjadi sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa aqidah adalah pusat dari segala bentuk keberanian. Bahwa menyembelih hewan bukan sekadar ibadah, tapi simbol revolusi spiritual, bahwa kita tidak tunduk pada apa pun selain kepada Allah SWT.

Dan di tengah arus deras deislamisasi yang membanjiri Indonesia, menjaga aqidah bukan hanya tindakan religius, ia adalah tindakan politis. Ia adalah bentuk tertinggi dari kemerdekaan, merdeka dari penghambaan kepada selain Allah SWT.

Advertisement

Tinggalkan Komentar