Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)

Adanya sebagian orang menyatakan Perayaan Idul Fitri dan Hari Raya Nyepi yang jatuh bersamaan pada 30 Maret 2025 menjadi fenomena langka yang sarat makna filosofis. Jika ditinjau dari perspektif kepercayaan Jawa Kuno dan Islam, peristiwa ini mencerminkan keseimbangan spiritual yang dalam.

Penulis dapat menerima perbedaan itu dan beropini bahwa kedekatan waktu antara kedua hari raya ini dapat dilihat sebagai simbol harmoni dan saling menghormati antar umat beragama di Indonesia. Hal ini menegaskan pentingnya menjaga kerukunan dan memahami nilai-nilai universal yang terkandung dalam berbagai tradisi keagamaan.

Dalam ajaran Jawa Kuno yang kental dengan nilai mistis dan filsafat kejawen, peristiwa kosmik seperti ini sering dianggap sebagai pertanda alam yang memiliki makna tersirat. Beberapa konsep utama yang dapat dikaitkan dengan kejadian ini antara lain Sangkan Paraning Dumadi, filosofi ini mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki asal (sangkan) dan tujuan akhir (paran). Idul Fitri adalah momen kembali ke fitrah, sedangkan Nyepi adalah perjalanan menuju kesunyian dan penyucian diri. Keduanya menggambarkan siklus spiritual manusia, lahir, kembali ke jati diri, lalu menuju keheningan sebagai jalan menuju kesempurnaan. Alam Sekala dan Niskala, kepercayaan Jawa membagi realitas menjadi sekala (fisik, nyata) dan niskala (gaib, batin). Idul Fitri lebih menonjol dalam aspek sekala, dirayakan dengan kebersamaan dan kegembiraan. Sementara Nyepi lebih menekankan niskala, dengan meditasi dan keheningan. Sebagian orang yang menyatakan adanya kesamaan tanggal ini perlu dimaknai sebagai pesan keseimbangan antara dunia luar dan batin.

Selanjutnya Rwa Bhineda, Keseimbangan Dualisme, konsep rwa bhineda mengajarkan keseimbangan dua hal yang berlawanan namun saling melengkapi. Idul Fitri adalah ekspresi eksternal kebahagiaan setelah puasa, sementara Nyepi adalah refleksi internal dalam keheningan. Kombinasi ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sejati hanya bisa dicapai dengan keseimbangan antara kehidupan sosial dan spiritual.

Dalam Islam, peristiwa yang tampak sebagai kebetulan sering dipandang sebagai tanda kebesaran Allah (ayatullah). Kesamaan waktu Idul Fitri dan Nyepi bisa dipahami dari beberapa sudut pandang. Islam mengajarkan bahwa waktu adalah ciptaan Allah yang penuh hikmah. Dalam QS. Al-Asr: 1-3, Allah menegaskan bahwa waktu adalah sesuatu yang sakral dan mengandung pelajaran bagi manusia. Fenomena ini bisa menjadi pengingat akan keteraturan semesta yang telah ditetapkan-Nya.

Idul Fitri menandai kembalinya manusia ke keadaan fitrah setelah sebulan berpuasa, sedangkan Nyepi adalah penyucian diri melalui tapa brata. Dalam Islam, konsep ini dikenal sebagai tazkiyatun nafs, proses membersihkan jiwa dari sifat buruk untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Tradisi Nyepi yang melibatkan catur brata penyepian (tidak menyalakan api, tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak bersenang-senang) memiliki kemiripan dengan praktik sufi dalam Islam, seperti khalwat (menyepi untuk bertafakur) dan i’tikaf (mengasingkan diri di masjid untuk merenung dan beribadah). Ini menunjukkan bahwa di balik keheningan Nyepi, terdapat nilai spiritual yang juga dianjurkan dalam Islam.

Anggapan adanya kesamaan waktu perayaan Idul Fitri dan Nyepi pada 30 Maret 2025 bukan sekadar kebetulan kalender, tetapi bisa dimaknai sebagai pesan semesta tentang keseimbangan antara ekspresi kebahagiaan dan keheningan batin, antara aktivitas sosial dan refleksi spiritual.

Dalam konteks Indonesia yang beragam, momen ini dapat menjadi simbol penting tentang bagaimana perbedaan agama dan kepercayaan tetap bisa berjalan berdampingan dalam harmoni. Ini adalah pengingat bahwa di balik ritual yang berbeda, terdapat nilai universal tentang penyucian diri dan keseimbangan hidup. Sebuah ajakan bagi masyarakat untuk lebih memahami, menghormati, dan merayakan keberagaman dengan sikap saling menghargai.

30 Maret 2025

Stasiun Kereta Jatinegara

Advertisement

Tinggalkan Komentar