Oleh : Agus Wahid
Terus bergulir dan kian menguat di ruang publik. Itulah keberadaan ijazah S1 UGM Jokowi yang diduga kuat palsu. Landasannya, banyak kejanggalan ijazah yang digondol Jokowi itu. Ahli telematika seperti Roy Suryo sudah lama menguji serius foto yang terpampang di ijazah S1 UGM itu. Hasilnya, itu bukan foto Jokowi, tapi foto adik iparnya: Hari Mulyono, yang memang lulusan Fakultas Kehutanan UGM.
Sementara, ahli forensik digital, Rismon Hasiholan Sianipar yang juga lulusan UGM meyakini 1 miliar persen, ijazah S1 UGM Jokowi itu palsu. Landasannya, jenis huruf dan font yang digunakan beda dengan ijazah asli UGM, terkait edisi tahun 1985, versus edisi 1993. Namun, Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med., Ed., Sp.OG., Ph.D menyanggah penilaian Rismon itu.
Keaslian dan kepalsuan ijazah S1 UGM Jokowi memang belum clear secara pasti. Karena, ketika diuji melalui lembaga pengadilan, Jokowi tak pernah hadir untuk memberikan kesaksiannya. Hakim pun berkutat pada asumsi dan foto copy ijazah yang dibawa sejumlah saksi pro Jokowi.
Opini berkembang, jika ijazah Jokowi itu asli, pasti Jokowi akan mendatangi pengadilan dengan penuh percaya diri. Bisa juga, akan marah besar karena dilecehkan di hadapan publik setanah air. Untuk mendapatkan kepastian, sebenarnya simpel: datang dan bawa ijazah yang ada di tangannya. Ketidakmauan Jokowi datang ke lembaga pengadilan kian memperkuat kebohongan tentang ijazahnya.
Lalu, mengapa keberadaan ijazah Jokowi terus dikejar? Apa urgensinya? Jelaslah sangat penting dan urgen. Bangsa dan negara berkepentingan untuk mendapatkan keterangan pasti tentang ijazahnya. Ketika ijazah S1 Jokowi terbukti palsu, maka – sebagai konsekuensi pertama – adalah seluruh elemen yang terlibat dalam proses politik, terutama KPU di seluruh level akan menjadi tergugat. Layak diadili.
Rektor UGM dan jajarannya yang ikut memberikan kesaksian keasilan ijazah S1 Jokowi pun harus menjadi “pesakitan”. Sebab, keberadaan mereka bisa dicatat sebagai pihak yang bersekongkol dalam membangun kebohongan publik. Jelaslah merupakan kejahatan terencana dan sistematis.
Yang jauh lebih krusial – sebagai konsekeunsi kedua – seluruh proses politik dan kebijakan Jokowi dari mulai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI (secara hukum) dinilai batal. Maka, apapun yang pernah diambil Jokowi dalam kapasitas sebagai Walikota Solo, Gubernyr DKI Jakarta dan Presiden menjadi tanggung jawab pribadi Jokowi.
Ketika dikaitkan urusan utang luar negeri (ULN) yang saat itu atas nama negara atau pemerintah, maka status pembatalannya secara hukum berlaku surut. Maka, negara tidak berkewajiban menanggung ULN, baik pada lembaga multilateral ataupun bilatera.
Pembatalan itu juga akan berdampak pada hilangnya hak-hak atau fasilitas negara yang diberikan kepada Jokowi selaku mantan Presiden. Untuk itu rumah super besar, mewah dan luas di Solo yang kini dinikmati Jokowi dan istrinya harus disita untuk negara. Juga, fasilitas pengamanannya harus ditarik. Tidak lagi menjadi kewajiban negara.
Kita perlu mencatat, hikmah besar dari keberhasilannya mengungkap ketidakaslian ijazah S1 Jokowi adalah negara terbebas dari ULN (utang pokok dan bunganya) yang dilakukan Jokowi masa lalu. Dalam kondisi negara yang masih terlanda krisis keuangan, maka keterbebasan ULN itu akan memperingan beban negara. Netara tidak perlu melakukan efisiensi yang kini tengah dilakukan, tanpa memandang prioritas.
Hasil dari tiadanya kewajiban membayar pokok dan cicilan ULN itu bisa dialokasikan untuk kepentingan besar negara dan rakyat. Tersebab, nilainya sangat fantastik. Untuk triwulan IV tahun 2024 saja, pembayaran cicilan ULN-nya mencapai AS$ 203,1 miliar. Untuk setahunnya? Bisa kita hitung: minimal kisaran AS$ 800 miliar, atau – dengan mengambil rata-rata nilai tukar Rp 16,402 per dollar saat ini – berarti, cicilan per tahun mencapai Rp 1.313,600 triliun. Wow. Ageung pisan euy (guedhe buanget, nget)….
Dalam kaitan itulah kiranya Prabowo punya momentum yang tepat dan bagus. Jika Perabowo memang committed cinta negeri dan rakyatnya seperti yang sering dikumandangkan kepada publik, maka proses hukum ijazah palsu bisa dijadikan pintu masuk. Atas nama supremasi hukum dan cinta negara-rakyat, Prabowo perlu memberikan kebebasan lembaga pengadilan untuk menguji keabsahan ijazah S1 Jokowi. Tak perlu melakukan intervensi. Agar hasilnya lebih fair dan obyektif.
Dan yang jauh lebih krusial lagi, pembongkaran kepalsuan ijazah S1 Jokowi akan berdampak pada potensi runtuhnya “dinasti” yang masih merongrong
negara. Gibran yang tercatat sebagai “badak” yang terus mengintai dan siap- siap menerkam, akan segera terhempas dari jagad politik Nusantara. Begitu juga, Boby Nasution akan segera redup dari belantara kekuasaan. Dan Kaesang Pangarep pun akan segera terdepak dari pagelaran politik nasional. Pendek kata, Prabowo akan semakin ringan tersebab beban politik dinasti itu.
Akankah Prabowo tergerak untuk mengambil sikap hukum yang netral itu? Masih diragukan. Itulah kalkulasi politik ewuh-pekewuh. Prinsip mikul nduwur mendem jero yang tidak proporsional. Akibat terkena getah kejahatan warisan Jokowi yang cawe-cawe dalam pilpres 2024 lalu. Namun, sebagai nasionalis sejati, harusnya Prabowo jauh lebih terpanggil untuk mengambil peluang atas nama supremasi hukum dan kepentingan negara dan rakyat.
Kiranya, sikap tegas itu akan diback up sepenuhnya oleh elemen rakyat. Berbagai elemen rakyat yang masih teriris hatinya karena keculasannya akan memaafkannya. Tak tertutup kemungkinan, Megawati Soekarnoputri dan barisan nasionalis lainnya akan memperkuat langkah Prabowo. Saatnya, menyingkirkan ”Raja Jawa”, sang penghancur negeri ini dari berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. You have to take action Mr. President… Right now, not later. Ini momentum tepat.
Senayan, 21 Maret 2025
Penulis: analis politik