Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Selama berhari-hari belakangan ini, saya banyak menerima kiriman pesan yang mengritik keras seorang Ustadz, karena pendapatnya soal musik. Di media sosial pun masalah ini sangat ramai diperdebatkan. Tampak, bahwa soal ini bukan sekedar perbedaan pendapat – seperti soal qunut subuh – tetapi sudah mengarah ke perpecahan (tafarruq).
Perbedaan di kalangan para ulama sejak dulu pun sudah ada. Bahkan, sejak zaman Rasulullah saw, sudah terjadi beberapa perbedaan pendapat dalam memahami al-Quran dan sunnah. Para Imam mazhab juga berbeda pendapat dalam banyak hal.
Tetapi, mereka tidak berpecah belah. Imam Syafii berguru kepada Imam Malik. Imam Ahmad pun mengakui sebagai muridnya Imam Syafii dan selalu memuliakan dan mendoakan gurunya itu. Memang, di zaman itu belum ada internet atau sosial media, yang begitu cepat dan masif dalam menyebarkan berita.
Perpecahan inilah yang menjadi salah satu faktor utama kekalahan dan kehancuran peradaban Islam di masa lalu. Menjelang jatuhnya Kota Yerusalem ke tangan pasukan Eropa yang diikuti dengan tindakan pembantaian ribuan umat Islam, umat Islam terjangkit penyakit cinta dunia, malas berjuang, dan berpecah belah.
Ketika itu, perpecahan yang dahsyat terjadi antara pengikut mazhab Asy’ari dan mazhab Hambali. Masalah ini diangkat dengan sangat detail oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam buku Haakadzaa Dhahara Jiilu Shalahuddin yang sudah diindonesiakan dengan judul Model Kebangkitan Umat Islam oleh Ustadz Asep Sobari Lc.
Pada saat umat Islam terlena dengan kemewahan dan sibuk dengan kejayaan kelompoknya sendiri, maka sekonyong-konyong datang serbuan besar dari pasukan dari Eropa. Meskipun tingkat peradaban mereka jauh lebih rendah dari umat Islam, tetapi mereka memiliki semangat juang yang tinggi dalam usaha membebaskan Yarusalem. Kasus itu menunjukkan bahwa penyakit berpecah belah yang terjadi bukan hanya karena perbedaan pendapat semata. Tetapi, perpecahan juga terjadi akibat merebaknya penyakit cinta dunia. Kebanggaan yang berlebihan akan popularitas dan kedudukan dalam pemerintahan di zaman itu mendorong terjadinya tindakan saling menjatuhkan antar mazhab.
Bahkan, di kampus Nizhamiyah sendiri terjadi permusuhan antar ulama yang berbeda mazhab. Saling caci maki satu sama lain. Adalah sangat mengkhawatirkan jika yang saling bermusuhan adalah para ulama, karena terjangkit penyakit cinta kehormatan, harta, dan popularitas.
Karena itulah, Imam al-Ghazali membuka Kitab Ihya’ Ulumiddin dengan bahasan tentang Ilmu. Di dalamnya dibahas bahaya ulama su’ (ulama jahat), yaitu ulama yang merusak agama karena cinta dunia dan ketiadaan ilmu. Imam al-Ghazali juga merumuskan konsep jatuh bangunnya umat, yaitu: rakyat rusak karena penguasa rusak, penguasa rusak karena ulamanya rusak, dan ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan.
Sudah berulang kali kasus perpecahan umat Islam berdampak pada kekalahan dan kehancuran umat. Banyak ayat al-Quran yang mengajarkan tentang pentingnya ukhuwah Islamiyah. Bahkan, Allah pun cinta kepada orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan organisasi yang rapi laksana satu bangunan yang kokoh. (QS ash-Shaf:4).
Hadits Nabi tentang ukhuwah juga sangat berlimpah. Semua ustadz tahu tentang wajibnya berukhuwah. Selama masih muslim, maka semuanya bersaudara, dan memiliki hak sebagai saudara sesama muslim. Maka, jangan saling membenci, jangan iri hati! Jangan senang melihat saudaranya susah dan sengsara. Jangan senang melihat ustadz – meskipun beda mazhab – terbuka aibnya seluas-luasnya. Kewajiban sesama muslim adalah saling menasehati; bukan saling mencaci jika ditemukan adanya kesalahan.
Kini, saatnya umat Islam Indonesia memahami bahwa kita sedang menghadapi tantangan dan ancaman keimanan yang sangat serius. Hegemoni dan infiltrasi pemikiran sekularisme dan materialisme dalam seluruh aspek kehidupan begitu dahsyat; menembus jantung-jantung pertahanan umat Islam, mulai rumah tangga, masjid, pesantren, sekolah, universitas, hingga institusi-institusi kenegaraan.
Di era kebebasan informasi, semua orang tua menghadapi problematika besar dalam mendidik anak-anaknya. Proses penanaman iman dan akhlak mulia menghadapi tantangan yang sungguh sangat berat. Bertahun-tahun anak di pesantrenkan, setelah lulus bisa jadi terseret arus besar sekularisme dan materialisme yang kronis, seringkali tanpa disadari.
Akibat pengaruh sekularisme dan materialisme, orang tua dan anak bisa lupa akan tujuan hidupnya di dunia dan tujuan akhirnya di akhirat. Hidupnya lebih diutamakan untuk mengejar gengsi dan kemegahan dunia; bukan untuk beribadah dan berjuang di jalan Allah. Bukan akhirat yang diutamakan. Padahal, setelah orang tua wafat, maka yang sangat diharapkan adalah kiriman doa dan pahala yang terus-menerus dari anak-anaknya.
Kita berdoa kepada Allah, semoga kita semua dan para pemimpin serta para ustadz kita berkenan untuk terus-menerus berupaya membersihkan hati kita dan terus meningkatkan silaturrahim di antara sesama umat Islam. Tentu saja ini tidak mudah! Dan memang, masuk sorga itu tidak mudah! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 26 April 2024).