Oleh : Agus Wahid
Kian langka dan demikian mahal. Itulah masalah kejujuran (kebenaran) di abad milennium ini. Bahkan – dalam sejumlah kasus – terdapat tindakan yang sangat sistemik dan terencana untuk menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. Outputnya, kebohongan dan terus berbohong untuk menjaga atau mempertahankan kebohongan awalnya.
Yang “maha luar biasa”, untuk dan atau atas nama mempertahankan kebohongan dikerahkan berbagai elemen, mulai dari kalangan preman, profesional seperti pengacara, mempegaruhi institusi kepolisian dan peradilan, sampai akademisi dari institusi perguruan tinggi papan atas di Tanah Air ini. Wow, sangat fantastik krisis modernitas yang bernama kebohongan itu.
Allah SWT – melalui firman-Nya – melarang kita selaku umat manusia mencampuradukkan kebenaran dengan yang bathil. Juga melarang kita menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui (wa laa talbisuu al- haqqa bi al-baathil, wa taktumuu al-haqqa wa antum ta`lamuun).
Q.S. Al-Baqarah : 42 tersebut demikan jelas. Yaitu, sebuah larangan-Nya untuk merekayasa tindakan apapun yang outputnya ketidakbenaran, kepalsuan dan kebohongan menjadi kebenaran. Larangan-Nya tentu bukan semata-mata masalah etika, yakni bicara baik dan buruk. Tapi, larangan itu berkonsekuensi, tidak hanya bagi individu yang bersangkutan, tapi juga dampaknya bagi kepentingan sosial, bahkan sektor-sektor kehidupan lainnya seperti politik, hukum bahkan ekonomi, pendidikan dan kesehatan jiwa.
Tak bisa dipugkiri, dampak dari sebuah rekayasa pencampuran haq dan bathil mengakibatkan kegaduhan bahkan menjadi malapetaka. Ayat tersebut sangatlah tepat untuk menjelaskan problem sejumlah rekayasa Jokowi mengeksploitase berbagai elemen untuk mempertahankan identitas ijazahnya, terkait ijazah UGM, bahkan ijazah SMA-nya.
Kegaduhan dapat kita saksikan pada reaksi publik saat ini yang menuntut kejelasan keaslian ijazah Jokowi. Kegaduhan itu menjadi malapetaka, karena sejumlah pihak – bisa jadi karena infiltrasi pengaruh kekuasaan – menjadi tercemar. Lembaga peradilan menjadi tercemar marwahnya karena berpihak pada ketidakjujuran. Universitas Gajah Mada juga tercoreng namanya, karena ngotot institusinya “meyakini” tentang keaslian ijazah UGM Jokowi, padahal tidak didasari uji digital forensik. Karenanya, keyakinannya lemah. Sulit dipertanggungjawabkan secara saintifik. Muncul pertayaan, mengapa Rektor atau pihak otiritas UGM ngotot tentang keaslian ijazah UGM Jokowi?
Selidik punya selidik, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan data angka tidak wajar. Ada aliran dana negara masuk ke institusi UGM dalam jumlah puluhan miliar. Dan aliran itu – menurut pejabat BPK – masuk ke sejumlah nama tertentu. Menjadi santapan (korupsi)? Perlu diselidiki lebih jauh. Tapi, menjadi makesense mengapa UGM ngotot membela keaslian ijazah Jokowi.
Sebuah renungan, apakah itu (abuse of authority) yang membuat UGM ngotot mempertahankan persekongkolannya demi tidak terbongkarnya status ijazah UGM Jokowi? Sekaligus, gambaran kerusakan institusi UGM juga tidak terbongkar? Apapun alibinya, UGM kini tertampar marwahnya. Terjadi distrust yang sangat ekstensif. Meski belum tentu berpengaruh bagi kemungkinan decline penerimaan mahasiswa ke depan, tapi UGM saat ini dalam cibiran negatif. Para almamaternya tentu tersayat dengan cibiran itu.
Sungguh menyakitkan bagi almamaternya. Menjadi korban akibat persekongkolannya dalam hal ijazah Jokowi. Inilah yang Allah peringatkan sekitar 15 abad silam: wa laa talbisuu al-haq. Suku kata “talbisuu”, menunjukkan jama` (plural). Larangan itu bukan hanya untuk perorangan, tapi seluruh umat manusia, bahkan lembaga yang berbadan hukum (institusi resmi). Karena itu institusi UGM harusnya mengindahkan larangan Allah. Tidak melanggar atau tidak ikut-ikutan mempertahankan kebohongan atau rekasaya (mencampuradukkan) yang benar dan salah.
Sebuah renungan mendasar, mengapa kita harus bereaksi saat melihat atau mendengar terjadinya kebohongan sistematik dan terencana, apalagi sampai pada level perekayasaan yang melibatkan berbagai komponen elit masyarakat?
Sikap reaktif ini juga merupakan perintah-Nya. Kalian mengetahui itu semua dan karenanya tak boleh diam. Dalam firman-Nya “wa (laa) taktumuu al-haqqa wa antum ta`lamun”. Dalam penggelan ayat ini tidak ada suku kata “laa”. Tapi, dalam gramatikal bahasa Arab sesungguhnya terkandung suku kata “laa” sebagai rangkaian langsung setelah huruf “wau”. Maka, maknanya, “kita (dilarang) untuk menyembunyikan kebenaran, padahal kita mengetahuinya”.
Perlu kita catat, responsivitas atau reaksi ketika menyaksikan upaya menyembunyikan kebenaran – mengacu pada Q.S Al-Baqarah : 42 – merupakan ketaatan bahkan keimanan umat manusia dalam menjalankan perintah-Nya, yakni tidak boleh menyembunyikan. Ketergerakannya mengungkap kebenaran yang disembunyikan merupakan panggilan suci (jihad), apalagi menghadapi kekuatan persekongkolan (mafia) yang terorganisir rapi.
Sebagai hamba beriman haruslah menyadari, menghadapi kejahatan yang terorganisir haruslah dengan barisan yang rapi pula. Agar kejahatan sirna. Jika barisan kebenaran bercerai-berai, maka akan melengganglah kejahatan yang terorganisir rapi itu. jika hal ini terjadi, maka dunia ini didominasi warna kejahatan. Hal ini membuat keberimanan kita layak dipertanyakan.
Jadi, responsivitas berbagai elemen atas penyembunyian kebenaran sesungguhnya merupakan sikap moralitas bagi siapapun yang berilmu, at least, yang mengetehui kejahatan itu. Untuk itu tidak sepantasnya kalangan yang berilmu atau mengetahui itu diam.
Dalam pemikiran keagamaan, sikap menyembunyikan atau diamnya sesorang yang mengetahui keadaan yang sebenarnya tergolong munafik. Dan dalam bahasa sosiologi-politik, diamnya kalangan berilmu (akademisi) atau yang mengetahui itu – mengutip dr. Tifa – tergolong pengkhianat. Ia berkhianat terghadap pengetahuan dan kebenaran.
Pengkhianatan itu jelaslah akan menjadi malapetaka bangsa dan negeri ini. Itulah yang kita saksikan pada praktik pembiaran manusia pembohong, yang – dalam masa sepuluh tahun terakhir ini – dibiarkan berkuasa sehingga berandil besar dalam menghancurkan tatanan ketatanegaraan, sistem ekonomi, hukum, politik dan hak-hak asasi manusia. Negara menjadi bangkrut setelah ditinggalkan sosok pemimpin pendusa.
Maka, menjadi sangat relavanlah ketika firman Allah Surat al-Baqarah : 42 perlu dilansir kembali dan direfleksikan lebih jauh pada kehidupan saat ini. Ayat tersebut – setidaknya – menjawab salah satu warna krisis modernitas saat ini.
Bekasi, 6 Mei 2025
Penulis: aktivis UI Watch PLUS
Advertisement