Oleh: Agus Wahid
Hanya kalangan tertentu yang mengenalnya. Itulah nama Jeffrie Geovanie (JG), putera Sumatera Barat, pendiri dan Ketua Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Nama “pedagang” piawai dalam sektor politik ini tak bisa dilepaskan dengan perjalanan PSI. Karena perannya – secara faktual – PSI berhasil tampil di panggung parlemen sejumlah daerah, meski belum berhasil tembus di Senayan. Dan kini – meski tergolong partai kecil – sebagian kader PSI banyak mendapat kesempatan di Kabinet, meski kebanyakan sebagai Wakil Menteri. Itulah “sesuatu” banget bagi PSI.
Sekali lagi, JG berperan besar dalam membesarkan PSI. Namanya yang dulu bukan siapa-siapa, tapi – karena dibranding oleh sejumlah ghost witer – JG dikenal sebagai politisi yang “berotak”, tidak hanya di level daerah, tapi sampai ke level nasional. Itulah kisahnya, yang – karena kecerdikannya – masuk ke DPW PAN Provinsi Bali.
Dengan bekal tulisannya yang berkibar di berbagai media, meski berkat campur tangan ghost writer, nama JG masuk dalam radar DPP PAN zaman Amin Rais. Dan kepiawaiannya juga, JG mendirikan lembaga The Amin Rais Center (ARC) sebagai markas penggodogan aksi dan pemikiran Amin Rais for Presidsent. Kedekatannya dengan Amin Rais cukup menampak. Lebih dari itu, “kedermawanannya” untuk setiap kegiatan PAN dan Muhamadiyah membuat JG makin berkibar di kancah politik nasional.
Itulah modalitas JG dalam mengarungi samudra politik. Pasca “cerai” dengan PAN, melompat ke Yayasan Nasional Demokrat. Ketika terjadi potensi dualisme akibat Hary Tanoesoedibjo mau masuk ke Partai NasDem, JG – atas nama persahabatan dengan Surya Paloh dan Boss MNC itu – memilih mundur. Berlanjutlah mendirikan PSI.
Perlu kita catat, mendirikan partai berdana besar. Bukan hanya miliaran, tapi tembus beberapa triliun rupiah. Lalu, dari manakah keuangan JG? Data menunjukkan, JG adalah “kaki tangan” Samsul Nursalim (SN). Data BLBI juga menunjukkan, SN adalah salah satu penggarongnya. Dan tidak kecil nilai yang digarongnya. Tercatat kerugian negara mencapai sekitar Rp 10,5 triliun melalui BDNI dan – melalui Bank Dewa Ruci – sebesar 470.658.063.577.
SN yang melarikan diri ke Singapura hingga kini karena nasehat JG. Namun demikian, imperium bisnis SN tetap di Tanah Air ini, terutama di sektor perkebunan sawit dan Palm Oil Crude. Untuk itu SN sejatinya tak pernah lepas dari Tanah Air ini dan berusaha ingin kembali. Keinginan ini tentu perlu back up hukum. Dan untuk mempermulus kepentingan perlindungan hukum, diperlukan partai. Lahirlah PSI di bawah kendali penuh JG.
Relasi politik Samsul Nursalim dan Jefrie Geovanie membuat PSI bagai anak baru lahir dengan kondisi sangat sehat. Karena faktor pembiayaannya yang tanpa batas. Dari manakah? Tak lain dari SN. Dengan menghitung bunga sekitar 20 tahun dari hasil garongannya, maka gerakan PSI memang spektakuler, setidaknya kumpulan kaum buzzer yang tak terhitung jumlahnya. Seperti kita ketahui, kaum buzzer tak akan bersuara tanpa fulus. Itulah dalil umum yang bukan rahasia lagi.
Itulah yang membuat PSI demikian vokal mengkritis kebijakan pemerintah semasa SBY. Dan sebaliknya, menjadi buzzer yang demikian powerful semasa rezim Jokowi. Bahkan, semasa pilpres 2019, seluruh elemen PSI menjadi kekuatan kontrarian yang sangat memusuhi Prabowo dengan bahasa yang sangat keji dan tak pantas. Sebaliknya, pada 2024, meniadi sekutu Prabowo dan secara diametral menjadi lawan yang sangat memusuhi Anies-Muhaimin. Itulah politik oportunis yang dikembangkan PSI.
Bagaimanapun kiprahnya, data politik menunjukkan, sejak PSI berdiri pada 16 November 2014 tidak pernah menggapai reputasi puncaknya. Dua pemilu legislatif (2014 dan 2019), hasil suara nasionalnya nol koma sekian presen. Meski ada yang berhasil sampai ke parlemen (DPRD Kota atau Provinsi), tapi PSI tetap gagal mencapai Senayan, meski Kaesang masuk PSI sebagai anggota resmi dan dua hari kemudian ternobatkan sebagai Ketua Umum PSI.
Publik bahkan internal PSI meyakini adanya campur tangan Jokowi atas posisi Kaesang di PSI. Di mata Jeffrie, kehadiran Kaesang diharapkan mampu meningkatkan elektabilitas partainya. Ternyata, meskipun PSI berafiliasi dengan Prabowo-Gibran, namun dalam pemilu 2024 lalu, PSI tetap tak mampu mendongkrak suaranya.
Kini, melalui Kongres PSI beberapa hari lalu, Kaesang terpilih lagi dengan suara mayoritas: sekitar 63% lebih. Yang menarik untuk dicatat, Jokowi – dalam sambutannya – menyatakan tekadnya: akan mendukung penuh PSI. Untuk membesarkan sekaligus memenangkan pemilu dan pilpres pada 2029.
Yang perlu dinbaca lebih jauh, apakah dukungannya di luar stuktur resmi partai? Jika komitmen politiknya harus dikompensasi dengan posisinya di dalam partai, katakanlah sebagai Ketua Dewan Pembina, maka – minimal – akan terjadi dua implikasi.
Pertama – secara prediktif – akan terjadi penggelontoran dana taktis yang jauh lebih besar dari kondisi sebelumnya selama ini. Hal ini berpotensi akan mendulang suara. Dan inilah yang membuat Jokowi dan anaknya optimis PSI akan membesar. Dari lambang partai “gajah kecil” akan segera membesar.
Sketsa politik imajiner Jokowi-Kaesang mencerminkan kegagalan memahami kultur politik nasional. Sederhana analisasnya. Saat Jokowi masih berkuasa saja – katakanlah pada pemilu 2019 – PSI tetap menggapai suara nol koma sekian persen. Tak lebih dari 1%. Kini, dengan Jokowi lepas dari singgasana, maka kekuatan cengkraman politiknya tak sebesar dulu. Implikasinya, PSI di bawah Kaesang-Jokowi tatap tidak prospektif.
Kedua, andai Jokowi memaksakan diri harus merebut posisi Jeffrie Geovanie selaku Ketua Pembina partai, maka PSI ke depan akan diperhadapkan konflik internaal yang cukup serius. Lalu, bagaimana dampaknya?
Jeffrie yang memiliki catatan historis yang kuat dengan PSI tentu tak akan terima pengambilalihan paksa PSI. Manuver politik ini hampir sama dengan apa yang dilakukan terhadap PDIP. Hanya saja, Jokowi mental. Lalu, apakah manuver Jokowi akan mental juga saat akan mengambil alih paksa PSI?
Jawabannya bukan masalah idealisme, tapi sejauh mana sikap pragmatis Jeffrie. Jika Megawati dan barisannya melihat dan bertindak dengan dasar sikap idealistik dan itu membuat Jokowi tersingkir. Tapi, manuver terhadap PSI belum tentu sama. Dengan pendirian Jeffrie sebagai “pedagang” piawai dalam panggung politik, sangatlah mungkin dia akan serahkan posisi Ketua Dewan PSI kepada Jokowi.
Namun demikian, Jeffrie dan barisannya perlu menatap lebih jauh: Jokowi kini bukanlah siapa-siapa. Kasus hukum yang menderanya akan menjadi beban politik PSI. Dan itu terdapat korelasi negatifnya bagi masa depan PSI. Selamat merenung. Hehehe.
Bagi seluruh elemen bangsa ini, satu hal yang harus dicatat, keberadaan PSI adalah tangan politik kepentingan Samsul Nursalim, sang obligor dan penggarong BLBI. Inilah yang harus diwaspadai. Agar anak-bangsa ini tidak terperangkap oleh manuver-manuver politik para kader PSI, yang – dalam pengamatan banyak pihak – banyak dimainkan oleh kaum ekstrimis kiri, yang selalu nyinyir terhadap Islam. Siapa meraka? Silakan cermati dan jawab sendiri.
Senayan, 23 Juli 2025
Penulis: analis politik
Advertisement