Puisi Marlin Dinamikanto

Aku tinggal di sarang langit yang teduh. Kembang berkawin kumbang beranak madu. Tapi itu dulu. Ketika rimba hijau perkasa. Jutaan kuda gesit arungi benua. Kapal layar berloncatan ikuti arah angin hingga armada hantu berdatangan mencari rempah. Telaga bening masih menjadi cermin sehingga Narkissos yang jatuh cinta kepada bayangnya sendiri mati tenggelam di sana.

Kita kah Narkissos itu? Selalu bangga iklim tropis yang ramah. Terlena sumber daya melimpah. Padahal itu hanya kaca spion kejayaan masa lalu. Tidak ada lagi jalan kembali. Kalau lah hidup di kolam susu; tongkat kayu dan batu jadi tanaman; kita yang menghamba masa lalu tak pernah tahu: Siapa pemilik kolam susu? Siapa pula pemilik tongkat kayu dan batu? Siapa yang berhak minum susu? Siapa pula yang berhak panen atas beragam tanaman, batu-batu, mineral, minyak bumi gas, dan anugerah dari langit lainnya.

Aku bukan Narkissos yang menjelma tikus mati di lumbung beras. Aku bagian bangsa yang berdaulat. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tak ada lagi penghambaan kepada raja, terlebih orang-orang kaya. Aku sadar, hidup mesti ada yang mengatur, mesti ada yang memimpin. Tapi siapa yang berhak mengatur? Siapa pula yang berhak memimpin? Aku bertanya kepada mendung yang menyembunyikan matahari di langit hitam.

Aku tinggal sendiri di atap rumah yang gelisah. Jendela buram memotret orang-orang yang sibuk mencari makan. Beruntung bagi kerbau yang masih ada sawah untuk dibajak. Kerbau-kerbau lainnya kerja serabutan. Ada yang tidak kebagian makanan. Seperti tukang Ojol di Medan, tiga hari tidak makan, sakit-sakitan, akhirnya mati kelaparan saat menunggu orderan makanan. Aku tahu itu karena masih punya jendela. Bagaimana dengan orang-orang yang dibodohkan oleh keadaan?

Aku hidup di hari ini dan mungkin esok lusa. Tak mau dijerat sarang laba-laba dari kepalsuan masa lalu yang gelap gulita. Dibuai ilusi batang singkong yang bisa menciptakan rembulan. Terus apa yang bisa dilakukan? Tidak ada. Setelah pendidikan diciptakan hanya menjadi kerbau penggarap sawah orang-orang kaya yang arealnya sangat terbatas. Tidak diajarkan membuka jendela pikiran sehingga punya kuku dan taring tajam menjebol kebuntuan.

Benar kata Gandhi, bumi yang kita pijak memberikan kebutuhan hidup yang cukup untuk semua; akan tetapi tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan satu orang yang serakah. Mendadak aku mendengar lolong serigala dari kejauhan sana. Tutup segala pintu dan jendela. Bersama gelisah yang aku biarkan membusuk dalam pikiran. Tak bisa apa-apa. Selain berdoa semoga kepulauan nusantara baik-baik saja.

Tuprok, Oktober 2024

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar