Catatan Sinematik #4
Oleh : Daniel Rudi Haryanto
Setelah Reformasi terjadi pada tahun 1998, kebebasan berekspresi dan mengapresiasi terjadi di masyarakat Indonesia. Satu di antara banyak bentuk perayaan kebebasan berekspresi dan mengapresiasi itu adalah Jakarta International Film Festival yang disingkat JIFFEST pada tahun 2000-an.
JIFFEST membuka pendaftaran sukarelawan untuk terlibat dalam berbagai urusan festival yang terbagi menjadi beberapa departemen; Teknikal, Venue, Usher, Tiketing, Traffic Film, Transportasi, F&B, Hospitality, promosi, artistik, pembantu umum dll.
Anak-anak IKJ seperti Kelana sangat senang menjadi sukarelawan di JIFFEST. Pertama karena bisa nonton film-film bermutu dari berbagai belahan dunia secara gratis, kedua dapat makan tiga kali sehari, ketiga dapat uang harian 25.000 rupiah, ketiga bisa bertemu dengan filmmaker-filmmaker keren yang diundang hadir ke JIFFEST.
Kelana di tahun awal itu jadi sukarelawan Jiffest bagian Film Traffic. Tugasnya tiap hari adalah berangkat dari kantor ke kargo Bandara Soekarno Hatta, menjemput film, membawa ke kantor JIFFEST di Jl. Sutan Syahrir Menteng Jakarta Pusat untuk didata, kemudian dibawa ke Lembaga Sensor Film untuk diukur dan disensor, kemudian dibawa ke venue untuk diputar. Setelah pemutaran film bawa pulang ke kantor untuk kemudian dikirimkan kembali ke pemiliknya atau ke alamat festival selanjutnya.
Ada beberapa orang teman Kelana di departemen Film Traffic. Salah satu tim Traffic Film adalah JAFAR aka PAPANK. Dia anak Cengkareng, kuliahnya bukan di IKJ tapi di Tri Sakti. Satu lagi driver bernama RENDEL yang kalau sudah pancal gas, Flash Gordonpun kalah cepat dengan mobil Toyota Kijangnya Rendel ini. Ada juga Wawan, rambutnya gondrong, dari Jogja. Kelana dkk film traffic berkoordinasi dengan big boss seluruh relawan namanya Lalu Rois Amri Radiani, alumni UGM yang kemudian melanjutkan di IKJ angkatan 1998, angkatannya Kelana. Lalu Rois ini adalah Tuan Guru bagi sukarelawan Jiffest.
Di Film Traffic kecepatan, kedisiplinan, ketepatan dan manajemen pendataan film sangat diperlukan, sebagai driver, Rendel memenuhi kebutuhan itu. Papank sangat piawai dalam hal manajemen dan pendataan serta lobi-lobi di kargo bandara. Maklum, kuliahnya urusan hubungan udara (Aviasi?)
Kelana selalu gembira ketika menjemput can can film baru yang datang dari berbagai negara dan berbagai festival. Setiap Can seringkali tertempel sticker Festival Film yang baru saja memutar film tersebut.
Kelana punya ritual tersendiri Ketika pertama kali membuka can film itu, ia menghirup udara pertama dari dalam can dan tangannya mengusap-udap permukaan can itu seperti Aladin mengusap lampu wasiatnya. Sambil berkata,
“Suatu saat nanti, aku akan menghadiri festivalmu dengan filmku!”
“Suatu hari nanti, aku akan menginjakkan kakiku di negaramu, bersama dengan filmku!”
Benar juga apa kata orang tua jaman dahulu kalau ternyata kata-kata adalah doa. Sejak 2010 dan seterusnya, Kelana memenuhi undangan ke berbagai zona festival di luar negeri; Zona Asia Tenggara, Asia Pacific & Australia, Eropa, Timur Tengah, Canada, Amerika Serikat. Lengkap!
Ada kisah menarik Kelana, Jaffar, dan Rendel ketika JIFFEST menyelenggarakan pemutaran film G 30 S / PKI. Film yang dijemput di Arsip Nasional Jl. Ampera Raya Jakarta Selatan itu terdiri dari belasan can film.
Sementara ketika tim Film Traffic tiba di gedung LSF di Jl. MT. Haryono Jakarta Pusat, listrik di gedung itu mati dan lift yang seharusnya dapat mengangkut ke lantai 8 tempat penyensoranpun rusak.
Kelana, Papank, Rendel harus berjalan mendaki melalui tangga darurat membawa can can film G 30 S / PKI. Siang itu cuaca panas dan gerah, Gedung Film mati angin dan panas sekali. Bulir-bulir keringat dan nafas Dji Sam Soe ngos ngosan membawa film G 30 S PKI sampai ke meja petugas sensor.
Film Traffic adalah departemen yang memiliki tantangan tersendiri. Can dan film tidak boleh rusak. Waktu itu (2000-2005) belum populer DCP untuk pemutaran film. Semuanya dalam bentuk seluloid, analog.
Kalau lihat film Janji Joni(2005) karya sutradara Joko Anwar itulah gambaran pekerjaan departemen Film Traffic. Di Jiffest departemen ini termasuk paling sibuk.
JIFFEST melahirkan banyak orang film. Sukarelawan dari berbagai daerah hadir untuk “ngayah” di Jiffest. Festival ini mempertemukan audiens di Jakarta dengan berbagai potensi perfilman internasional. Banyak nama-nama yang mewarnai perfilman Indonesia hari ini dulunya adalah sukarelawan di JIFFEST dari berbagai departemen.
Papang Lakey salah satu alumni JIFFEST yang kini berkontribusi besar pada perfilman Indonesia di bidang distribusi. Sahabat Kelana ini merupakan spesialis urusan-urusan film traffic dan distribusi. Kompetensinya sangat langka. Papank sangat paham urusan sensor, eksibisi bioskop, perijinan, iklan bioskop dll. Kompetensi itu merupakan spesialisasi yang belum tentu dimiliki mereka yang berkecimpung di ranah produksi film.
Setelah belasan tahun ndak pernah bertemu, ada waktu akhir pekan Papank mengundang Kelana ke Lombok tempat di mana Papank kini berdomisili dan bekerja mengelola beberapa jalur distribusi film di pulau indah itu.
Kecintaannya pada komunitas film mendorongnya untuk aktif memberikan kontribusi pada skena komunitas film independen setempat. Ia memproduseri beberapa bibit-bibit baru filmmaker di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Lombok khususnya.
Papank membuat program pemutaran film di CGV, kali ini memutar film dokumenter Fluid Boundaries, sebuah film hasil kolaborasi 3 sutradara yang berasal dari negara berbeda; Mun Jeong Hyun (Korea), dan Daniel Rudi Haryanto (Indonesia) dan Vladimir Todorovic (Serbia-Singapura).
Papank mempersiapkan semua urusan Kinespirasi secara profesional, ada postcard, ada poster, ada sosial media, mirip-mirip acara Jiffest tapi mini. Dalam acara itu Kelana dan Papank memanfaatkan waktu di luar screening untuk ngopi dan mengurai cerita-cerita sinematik.
Banyak cerita mereka urai di hari terakhir setelah pemutaran film. Semilir angin Senggigi dan kopi Lombok, kisah-kisah kekinian dan masa lalu. Senja mengantarkan kilau-kilau magic hour di horison selat Lombok. Di kejauhan perahu bercadik pulang menuju dermaga.
Jiffest sudah lama berlalu, Kelana kini bekerja sebagai karyawan televisi swasta, Papank tinggal di pulau indah bersama kesibukannya ngurus sinema. Dunia terus berubah, kisah-kisah terekam pada gerak rotasi bumi.
Hidup begitu sinematik, dan tercatat. Demikianlah kisah-kisah hidup. Terimakasih Lombok.
*Senggigi-Lombok, akhir Juni 2024. Kelana