Sungguh menggelitik sekaligus tragis ketika kita bicara soal Jogja, kota budaya dan pelajar, yang santun dan religius, kini tampak terseret dalam arus minuman keras (miras). Bayangkan saja, wisatawan asing yang memang “terbiasa” dengan minuman beralkohol di negeri asal mereka kini disediakan bir di banyak kafe, restoran, bahkan toko-toko.
Namun, rembesan comberannya kemudian melimbah ke mana-mana. Konsumsi alkohol di Jogja bukan hanya dinikmati oleh turis asing, melainkan juga warga lokal, yang dengan cepatnya “teler” dan kemudian, celakanya, menjadi “pemberani” tanpa arah. Mereka memicu keributan, bahkan tindak kekerasan yang tak terkendali akibat mabuk.
Pekan lalu, dua santri dianiaya bahkan ditusuk oleh sekelompok pemuda mabuk setelah keluar dari kafe. Kedua santri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak yang sedang jajan di jalan, diserang tanpa ampun oleh sekelompok pemuda yang baru saja “terbang” keluar dari kafe penjual miras.
Ironisnya, dalam keadaan mabuk, mereka seolah mendapatkan “superpower,” hingga dengan entengnya melakukan kekerasan. Aksi brutal itu bukan hanya menyakiti dua santri, tapi juga mencederai hati nurani warga Jogja yang agamis. Tak heran jika gelombang protes dari massa pun muncul.
Sudah sepekan, Jogja tak pernah sepi dari aksi demo. Mereka menuntut Gubernur DIY agar menindak tegas peredaran miras yang semakin menggila, yang tak hanya menggerogoti kesehatan fisik, tapi juga moral. Tujuan mulia mereka: mengembalikan Jogja pada jati dirinya sebagai kota yang aman, berbudaya, dan bermartabat.
Namun, pemerintah daerah menghadapi dilema klasik. Ada alasan bahwa izin miras lebih diatur pemerintah pusat melalui sistem OSS (Online Single Submission) (layanan perizinan terintegrasi) yang memberi kemudahan akses perizinan. Alasan lain yang lebih klise, bir tak bisa dihilangkan begitu saja dari kafe karena dianggap sebagai syarat utama “ramah turis.”
“Tak ada bir, kafe bakal sepi,” kata pejabat dari Dinas Ketertiban Kota. Pernyataan ini, walau terdengar logis dari sisi ekonomi, menunjukkan bahwa miras kini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari paket wisata. Ekonomi Jogja mengandalkan usaha wisata, dengan menyediakan segala fasilitas dan akomodasinya, termasuk miras.
Pertanyaannya: sampai kapan kita akan terus berlindung di balik dalih “ramah turis”? Tentu tidak salah memfasilitasi turis asing, namun apabila regulasi miras menjadi luwes tanpa kontrol, dampaknya jelas akan menghantam komunitas lokal. Inilah kenyataan pahit Jogja yang sedang membenturkan nilai ekonomis pariwisata dengan nilai sosial dan budaya.
Data Muhammadiyah menyebutkan, tak kurang dari 80 toko miras berdiri di Jogja, belum termasuk ratusan kafe yang juga menyediakan miras dengan segala iming-iming promonya. Bagi sebagian orang, angka ini barangkali hanya angka. Namun, saat berhadapan dengan kenyataan miras memicu banyak kasus kekerasan dan kriminalitas, tak sulit melihat bahwa angka-angka itu bisa berarti petaka.
Bersama itu, muncul pula informasi tambahan mengenai bos-bos pemilik outlet miras. Di antara mereka, ada yang tampak berfoto di belakang kursi pejabat kepolisian, di kantor polisi. Dia semula preman jalanan, dan setelah kaya menebar pengaruh, termasuk via politik, dan sering kali mensponsori kegiatan-kegiatan di berbagai kantor pemerintahan, termasuk kantor kepolisian.
Lebih parah lagi, di banyak kawasan publik di Jogja, miras oplosan dijual dengan cara “nyambi.” Beberapa pedagang nasi goreng bahkan menjajakan minuman keras dalam kantong plastik di trotoar Malioboro. Kontrasnya luar biasa: wisatawan berjalan-jalan sambil melihat keindahan Malioboro di satu sisi, sementara di sisi lain, mereka yang mabuk teler terhuyung-huyung mencari masalah.
Bahkan, kasus penusukan hingga perkelahian brutal sering kali tak jauh dari lokasi yang menjual miras ini. Rasanya tidak berlebihan bila masyarakat Jogja kini merasa semakin tidak aman dan nyaman di kotanya sendiri. Kondisi ini, ironisnya, justru kontras dengan prasyarat keamanan bagi kota untuk jadi destinasi wisata.
Di sini, kita melihat fenomena yang tak hanya menyentuh satu dua kasus, melainkan menyangkut hidup seluruh masyarakat Jogja. Apakah ini harga yang harus dibayar demi pariwisata? Tentunya tidak. Pemerintah pusat harus turun tangan, meninjau ulang regulasi yang memperbolehkan peredaran miras dengan begitu bebas.
Seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya Jogja, berhak atas keamanan dan kedamaian warganya tanpa perlu takut anak-anak mereka menjadi korban berikutnya akibat konsumsi miras yang lepas kendali. Jadi, mari dukung perjuangan masyarakat Jogja. Ini bukan sekadar soal miras, ini soal wajah dan jiwa kota budaya yang seharusnya menjadi teladan.
Namun, situasi ini menuntut kita tidak hanya menuding pelaku atau pemerintah daerah, tapi juga menawarkan solusi yang konstruktif dan positif. Beberapa gagasan inspiratif dari Bali dan kota-kota lain di dunia bisa menjadi pelajaran berharga bagi Jogja untuk mengatasi persoalan miras.
Di Bali, apa betul miras sudah jadi bagian dari industri pariwisata yang terintegrasi dengan kehidupan lokal? Masyarakat adat mengatur penjualan dan konsumsi alkohol secara ketat melalui dukungan “pacalang,” pengamanan desa tradisional. Pacalang bekerja sama dengan aparat setempat menjaga ketertiban dan membatasi akses bagi mereka yang tidak mengindahkan aturan.
Inspirasi lain dari kota-kota besar seperti Edinburgh, Skotlandia; Paris, dan Madrid menunjukkan bahwa peraturan ketat bisa membantu. Edinburgh, misalnya, memberlakukan sistem lisensi ketat, khususnya di area sekolah atau lingkungan keluarga. Di Paris dan Madrid, jam operasional tempat penjualan alkohol dibatasi untuk mengurangi risiko gangguan ketertiban.
Di Indonesia, penting bagi pelaku usaha untuk terlibat aktif dalam penanggulangan masalah ini, terutama melalui program Corporate Social Responsibility (CSR, atau tanggung jawab sosial perusahaan). Kafe dan restoran perlu pelatihan tentang kontrol penjualan, seperti melarang penjualan pada remaja atau yang sudah jelas dalam kondisi mabuk. Di Tokyo, Jepang, pelaku usaha minuman keras turut serta dalam kampanye “minum bertanggung jawab” yang didukung pemerintah lokal.
Inti persoalan lainnya adalah sistem OSS (Online Single Submission) yang disahkan melalui UU Omnibus Law. Sistem ini memudahkan izin usaha secara cepat dan transparan, namun sering disalahgunakan oleh pelaku usaha untuk menghindari pengawasan ketat. Pendaftaran online ini harusnya disertai pemeriksaan lapangan yang ketat. Pemerintah pusat perlu mempertimbangkan revisi atau menghapus UU Omnibus Law untuk menutup celah bagi penyalahgunaan izin usaha.
Jadi, permasalahan miras di Jogja tidak dapat dipandang sebelah mata. Jogja perlu mengambil langkah konkret untuk mengatur penjualan alkohol agar tidak merugikan masyarakat lokal. Inspirasi dari Bali, pengaturan perizinan OSS yang lebih ketat, serta model dari kota besar di dunia adalah solusi yang bisa diterapkan.
Jika diterapkan dengan benar, langkah-langkah ini bukan hanya akan menjawab tuntutan massa, tetapi juga menciptakan tatanan masyarakat yang lebih tertib dan aman. Mari kita wujudkan kritik yang membangun, bukan sekadar menunjuk kesalahan, melainkan berusaha mencari solusi berkelanjutan bagi semua pihak.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 01/11/2024