Oleh: Hendrajit
Tiba tiba saja ingat dan kangen Harian Pos Kota. Koran milik bung Harmoko yang mantan menteri penerangan ini, dulu dipandang media klas menengah ke bawah yang isi beritanya seputar pencopetan, pembunuhan, pemerkosaan, tabrak lari. Atau kriminalitas yang lebih dipandang sebagai kejahatan patologis seperti bapak menghamili putrinya, atau keponakan membunuh pamannya.
Ya, kesan ketika kejahatan dan perbuatan ilegal yang ditampilkan sebagai orang-orang aneh ketimbang penjahat, diam-diam sejak SMP saya selalu beli pos kota. Dengan resiko kena damprat kedua orang tua saya sebagai pelanggan setia harian-harian intelek pada zamannya seperti Kompas, Sinar Harapan, Indonesian Observer (waktu itu Jakarta Post belum ada), Tempo dan the economist.
Waktu itu rajin baca Pos Kota cuma mengikuti keeksentrikan dan kenyelenehan saya sendiri. Belakangan ketika saya mulai aktif jadi wartawan, saya mulai melihat Pos Kota lewat perspektif baru.
Pos Kota jadi penting bukan isi berita yang disajikan. Namun yang tersirat dari sajian beritanya itu sendiri. Betapa ada lapisan sosial lain di kota Jakarta, di luar yang kita bayangkan sebagai warga masyarakat Jakarta yang katanya warga kosmopolitan itu.
Ada dunia di balik berita yang tersirat atau malah tak sengaja, diwartakan lewat Pos Kota. Selain itu saya pun sontak tersadar, ada sebuah komunitas pembaca di Jakarta yang secara tekun membaca sajian-sajian berita kriminal sebagai keanehan sosial. Yang menjelaskan mengapa koran milik Bung Harmoko ini selalu laris manis.
Pos Kota laku keras bukan karena adanya selera rendah pangsa pasar. Melainkan karena para pengelola harian ini termasuk bung Harmoko yang mudanya dulu adalah seniman dan pintar ngedalang dalam pagelaran wayang, jeli melihat adanya pangsa baru yang potensial untuk dijadikan komunitas pembaca tetap.
Kreasi dan inovasi seperti ini yang langka di ranah media saat ini. Inspirasi yang bisa kita tarik buat kita sekarang. Membuat media, bukan jadi budak pasar atau mengikuti kemauan pasar.
Tapi jeli menciptakan pangsa pasar baru karena mampu membaca kebutuhan lapisan sosial menengah ke bawah yang tertarik pada kejahatan dan kriminalitas sebagai keanehan dan penyimpangan sosial dan psikologis.