Oleh: Abdul Karim

“Tidak ada perbedaan yang lebih besar daripada perbedaan antara bangsa-bangsa yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi.” – Ernesto Che Guevara, Algiers, 1965

Ketika Ernesto Che Guevara berdiri di hadapan Konferensi Ekonomi Afro-Asia pada Februari 1965, ia tidak hanya berbicara kepada para pemimpin yang hadir, tetapi kepada sejarah yang sedang berputar. Dengan suara tegas ia mengatakan, “Negara-negara yang telah menikmati kemakmuran dengan mengorbankan bangsa-bangsa lain harus mengerti bahwa darah yang telah tumpah akan menuntut harga yang lebih besar jika ketidakadilan ini terus berlanjut.” Kalimat itu bukan sekadar retorika diplomatik; ia adalah seruan moral yang menguliti sistem ekonomi dunia yang terus menempatkan segelintir negara di pusat kekayaan dan jutaan manusia di pinggiran penderitaan.

Che Guevara memandang kemerdekaan politik tanpa kedaulatan ekonomi sebagai kebebasan semu. Ia menyatakan dengan lantang, “Bendera baru dan himne nasional tidak berarti apa-apa jika hubungan ekonomi masih meniru pola kolonial lama.” Di sini analisisnya menukik pada inti persoalan: struktur ketidakadilan tidak hanya bertahan melalui penjajahan langsung, tetapi melalui mekanisme perdagangan, hutang, dan harga komoditas yang dikendalikan oleh pusat kekuatan global. Kata-katanya memaksa para pendengar menghadapi kenyataan pahit bahwa imperialisme tidak mati ketika bendera kolonial diturunkan; ia hanya berganti wajah.

Seruannya juga mengguncang karena menolak kompromi dengan bentuk penindasan apa pun, termasuk yang datang dari negara-negara yang mengaku sebagai sekutu ideologis. Che menegaskan, “Kita tidak boleh menutup mata ketika bentuk baru eksploitasi lahir bahkan dari mereka yang menyebut diri sosialis.” Kritik ini menembus batas blok politik, menegaskan bahwa keadilan tidak dapat dikorbankan demi aliansi strategis. Solidaritas sejati, menurutnya, hanya mungkin jika setiap bangsa bersedia merombak struktur ekonomi internasional, bukan sekadar berbagi panggung politik.

Guevara melihat perjuangan ini bukan hanya sebagai pertempuran ekonomi, tetapi sebagai pemulihan martabat manusia. Ia mengingatkan, “Manusia tidak dilahirkan untuk menjadi angka dalam neraca perdagangan; ia dilahirkan untuk menjadi subjek dari sejarahnya sendiri.” Kalimat ini mengikat seluruh argumen ekonominya pada fondasi etis: bahwa setiap kebijakan, setiap struktur perdagangan, harus diukur dengan pertanyaan sederhana—apakah ia memanusiakan atau justru merendahkan kehidupan? Dengan begitu, kritiknya bukan sekadar laporan teknis tentang ketimpangan, melainkan penegasan moral bahwa ekonomi harus tunduk pada kemanusiaan, bukan sebaliknya.

Ada pula dimensi pendidikan politik dalam gagasan Che. Ia tidak hanya menuding ketidakadilan, tetapi membangun kesadaran kolektif. “Kita tidak bisa menunggu pembebasan datang dari luar; kita sendiri yang harus mengukirnya dengan persatuan kita,” ujarnya. Di sini ia tidak sedang mengajar dari podium kekuasaan, melainkan mengundang bangsa-bangsa untuk terlibat dalam proses memahami dan melawan struktur yang menindas. Kesadaran yang ingin ia bangun bukan hasil indoktrinasi, tetapi kesadaran yang lahir dari pengalaman bersama bangsa-bangsa tertindas.

Che juga memanggil keberanian untuk bertindak, bukan hanya menganalisis. “Setiap hari kita menunda, rantai baru ditempa di atas rantai lama,” katanya. Desakan ini mengingatkan bahwa waktu bukan sekutu bagi bangsa yang sedang berjuang keluar dari sistem ketidakadilan global. Analisis tanpa tindakan hanya memperpanjang penderitaan; pengetahuan tanpa keberanian hanya melanggengkan status quo. Baginya, pembebasan adalah proses yang menuntut kesadaran sekaligus aksi.

Membaca gagasan ini sekarang, kita melihat pantulannya di dunia kontemporer. Mekanisme keuangan internasional, hutang luar negeri, harga komoditas yang ditentukan pasar global—semua adalah variasi baru dari ketimpangan yang sama. Ketika Che menuntut solidaritas Afro-Asia, yang ia maksud bukan sekadar aliansi politik, tetapi jaringan perlawanan struktural melawan sistem ekonomi dunia yang tidak adil. “Jika kita tidak bersatu, kita akan jatuh satu per satu,” ucapnya. Kalimat itu tetap terasa relevan di tengah krisis global yang melintasi batas negara.

Di balik seruannya ada pertanyaan eksistensial: apa arti merdeka jika nasib ekonomi masih ditentukan oleh kepentingan eksternal? Che menolak kemerdekaan sebagai seremoni; baginya kebebasan adalah proses yang menembus ke inti struktur produksi dan distribusi kekayaan. “Kedaulatan sejati berarti menentukan sendiri apa yang kita tanam, apa yang kita buat, dan kepada siapa kita memberikannya,” katanya. Definisi ini menantang setiap bangsa untuk melihat kebebasan bukan sebagai akhir, tetapi sebagai perjuangan berkelanjutan melawan bentuk-bentuk baru dominasi.

Yang membuat gagasan Che tetap hidup adalah perpaduan antara analisis struktural dan nurani moral. Ia tidak pernah berbicara dalam bahasa statistik dingin; setiap argumennya selalu membawa jejak kehidupan manusia yang konkret. Ketika ia membicarakan harga komoditas, yang ia lihat adalah wajah petani yang bekerja keras namun tetap miskin. Ketika ia membahas perdagangan internasional, yang ia bayangkan adalah anak-anak di desa-desa yang tak pernah merasakan hasil kekayaan alam mereka sendiri. Inilah yang membuat kata-katanya menembus waktu: karena ia tidak hanya membicarakan sistem, tetapi manusia yang terjebak di dalamnya.

Seruan Che adalah pengingat bahwa melawan ketidakadilan global bukan proyek satu generasi. Selama ada bangsa yang makmur di atas penderitaan bangsa lain, kata-katanya tetap relevan. Setiap kali jurang antara pusat dan pinggiran melebar, setiap kali kebebasan politik tidak diiringi kedaulatan ekonomi, suara itu kembali memanggil. Bukan untuk mengulang sejarah, tetapi untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai: membangun dunia di mana kebebasan adalah kenyataan yang dirasakan setiap manusia, bukan sekadar slogan di panggung diplomatik.


Daftar Pustaka :

Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Translated by Myra Bergman Ramos. 30th Anniversary Edition. New York: Bloomsbury Academic, 2000.
Fanon, Frantz. The Wretched of the Earth. Translated by Richard Philcox. New York: Grove Press, 2005.
Galeano, Eduardo. Open Veins of Latin America: Five Centuries of the Pillage. New York: Monthly Review Press.
Lenin, Vladimir I. Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. London: Penguin Books, 2010.
Stiglitz, Joseph E. Globalization and Its Discontents. New York: W. W. Norton & Company, 2003.

Advertisement

Tinggalkan Komentar