Oleh: Marlin Dinamikanto

Saya lupa, kapan pertama kali mengenal Kang Tiya, begitu kami biasa memanggil aktivis yang usianya lebih tua dari usia rata-rata kami aktivis mahasiswa awal 1990-an.

Yang jelas saat aksi golf Rawamangun yang melibatkan mahasiswa Jakarta dan Bogor sekitar tahun 1994, saya sudah bertegur sapa dengan mendiang sebelum aksi dibubarkan dan kami berlarian. Juga saat aksi di bunderan patung kujang, Bogor, saat aksi advokasi dalam persidangan aktivis mahasiswa Universitas Pakuan Dedi Ekadibrata.

Memang di setiap aksi, lulusan Statistik Unpad angkatan masuk 1978 itu selalu hadir. Bukan saja pada era 1980-an dan 1990-an. Kabarnya pada 1978/1979 dia juga sudah terlibat aksi Dewan Mahasiswa dan penolakan NKK/BKK. Bukan hanya di Bandung, melakukan juga di Jabodetabek dan Surabaya. Satu catatan unik lainnya, mendiang pernah mendapatkan beasiswa meneruskan studi ke Perancis tapi lebih memilih hidup di sarang-sarang demonstran.

Bahkan di era pemerintahan sejak SBY hingga Jokowi, Setyadharma yang pernah kena serangan stroke dan menua tetap rajin mengiringi aksi-aksi protes yang dilakukan anak-anak muda. Bahkan yang membuat kalangan aktivis tertawa adalah pernah dituduh sebagai penyandang dana oleh aparat yang mengintrograsinya.

Sejak akhir 1980-an Setyadharma bergabung ke Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi) yang dipimpin oleh mas Indro Tjahjono. Di Non Government Organization (NGO) itu mendiang dipercaya oleh mas Indro mengelola Infight, saya lupa kepanjangannya. Secara faktual Infight memfasilitasi gerakan-gerakan berlawan Orde Baru yang kata Anders Uhlin dalam bukunya OPOSISI BERSERAK sedang pasang di Indonesia. Oleh karenanya sosok mendiang Kang Tiya begitu akrab di lingkungan aktivis awal 1990-an.

Keberangkatan saya ke Palembang untuk mengadvokasi konflik pertanahan di Sumsel tidak terlepas dari peran Kang Tiya. Kala itu kami dari Aldera – termasuk di dalamnya Pijat – sedang aksi memprotes kenaikan harga kertas. Di saat bersamaan ada kelompok PRD yang mengawal aksi mogok makan si Pras dari SMID Surabaya. Nah, di sana juga ada aksi petani Sumsel yang dipimpin oleh Wahisun Wais. Kala itu Wahisun meminta kami yang sebagian besar berstatus mahasiswa untuk membackup petani Sumsel.

Untuk itu kami dari unsur Aldera mengutus Bang Tiya, Fajar Pramono dan saya sendiri rapat gabungan unsur Aldera dan PRD/SMID yang diwakili antara lain yang saya ingat Dita Indah Sari, Wignyo, Lukman dan Garda Sembiring. Hasil dari rapat adalah membuat organisasi taktis bermama Kesatuan Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) yang mendelegasikan kepada saya, Fajar Pramono dan mendiang Farid Rasyad yang baru keluar penjara terkait kasus penangkapan 21 mahasiswa FAMI ke Palembang.

Pernah, suatu saat, saya dan Yuliyanti sedang di sekretariat Pijar di Percetakan Negara (1996-1997) kelaparan. Siang itu juga saya dan Yuli jalan kaki sekitar 3 Km ke Sumurbatu, tempat tinggal Kang Tiya. Itu jarak terdekat yang bisa diakses supaya kami tidak kelaparan. Itu pun untung-untungan. Iya kalau Kang Tiya ada di rumah. Kalau tidak bagaimana?

Beruntung Kang Tiya sedang momong anaknya semata wayang, Bayu, yang masih balita di rumah. Istrinya mbak Nia sudah bekerja di Penzoil. Agak mapanlah hidupnya. Selain mengurus Bayu, Kang Tiya juga memelihara ayam. Ada ratusan ekor ayam di kandang samping rumahnya di Jl Berlian.

Selesai makan dan bincang-bincang kami pun pamit. Pulang dibawain oleh-oleh telur ayam dan ongkos Rp 15 ribu. Padahal saya tahu, Kang Tiya bukan orang ada. “Baik banget ya,” kata Yuli dalam perjalanan pulang. Tetap saja kami pulang jalan kaki dalam keadaan perut sudah kenyang.

Kenangan lainnya saat saya diajak Bang Beathor mengurus penerbitan di Repdem, organisasi yang pada akhirnya berlabuh menjadi sayap PDI Perjuangan. Kala itu saya membawa keluarga tinggal di kontrakan Bang Beathor. Kang Tiya sering datang. Dia kenal baik dengan istri saya, bahkan kenal baik dengan teman-teman ibunya Averroes yang sering datang ke kontrakan Bang Beathor di Rawabunga, Jatinegara.

Sebelum kembali ikut terlibat aksi bersama kombatan Prodem, Kang Tiya yang pernah kena serangan stroke hingga mobilnya tabrakan, dan dengan demikian kondisi fisiknya tidak lagi prima, sempat bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit milik Burhan dan adiknya Iqbal di Kalimantan. Sekali-kali masih bertegur sapa lewat HP.

Terakhir kali bertemu, Jumat, 20 Juni di Sekretariat Indemo, Jl. Lautze 62-C saat dia duduk bersampingan dengan Bang Hariman Siregar, saya sempat mencandainya. “Kok kang Tiya sepertinya lebih tua dari Bang Hariman?” Bang Hariman senyum-senyum saja. Di sana ada Gusto, Bang Beathor, Herdi, Adnan Balfas, Dodo dan lainnya.

Rupanya itu candaan terakhir saya. Pada Ahad, 29 Juni sekitar pukul 17.15, di rumahnya, tanpa gejala sakit atau apa dikabarkan meninggal dunia. Kami berduka. Kenangku tentangmu tidak akan pernah kering seperti bunga. Semoga damai di keabadian Kang Tiya.
Advertisement

Tinggalkan Komentar