Peter F Gontha menulis

Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Setiap tahun, puluhan bahkan ratusan anak muda Indonesia berhasil menembus universitas-universitas terbaik di dunia: Harvard, Princeton, MIT, Stanford, Oxford, Cambridge, Berkeley, dan banyak lagi. Mereka belajar di pusat-pusat ilmu pengetahuan global, menyerap nilai-nilai integritas, meritokrasi, inovasi, dan kerja keras. Mereka adalah anak-anak bangsa terbaik, yang semestinya pulang membawa perubahan.

Namun, ketika saya bertanya kepada seorang mahasiswa Indonesia lulusan kampus top, “Kapan kamu pulang?” Ia menjawab lirih namun tegas, “Kami di sini saja, Pak.”

Jawaban itu mencubit hati. Tapi juga penuh makna. Anak-anak muda ini bukan tidak cinta tanah air. Mereka sangat mencintai Indonesia. Tapi mereka juga sadar—dan mungkin terlalu sadar—tentang betapa keras, bahkan brutalnya, sistem di negeri ini terhadap mereka yang pulang dengan niat baik.

Dari Harvard ke Jeruji?

Kekasaran sistem terhadap putra-putri terbaik bangsa tampak jelas dari beberapa contoh nyata. Lihatlah Thomas Lembong (Tim Lembong). Lulusan Harvard, mantan bankir investasi global, ekonom kelas dunia, dan mantan menteri yang selama menjabat berupaya keras menjaga integritas. Hari ini, namanya terseret kasus hukum, tanpa penjelasan yang masuk akal di mata publik.

Contoh lain: Hotasi Nababan, profesional berintegritas tinggi yang sempat menjadi direktur utama BUMN. Tersandung kasus yang sejatinya bukan hasil dari niat buruk atau korupsi pribadi, melainkan karena sistem yang tidak memberikan ruang bagi profesional yang ingin bekerja benar.

Dan mereka bukan satu-satunya. Masih banyak nama lain—orang-orang cerdas, jujur, dengan niat tulus membangun negeri—yang justru tersandung, terpojok, atau bahkan dikriminalisasi setelah memutuskan pulang. Kesalahan mereka hanya satu: mereka pulang.

Sebuah Iklim yang Mematahkan

Ini adalah potret menyedihkan dari iklim profesional dan politik di Indonesia. Sebuah negara yang mengirim anak-anak mudanya ke luar negeri dengan penuh harapan, tapi tidak siap menerima mereka kembali ketika mereka pulang dengan idealisme dan standar profesional yang tinggi.

Mereka datang dengan semangat membenahi, tetapi bertemu dengan birokrasi yang beku, budaya feodal, politik transaksional, dan sistem hukum yang bisa dipelintir oleh kekuasaan. Mereka ingin menegakkan akuntabilitas, tapi dianggap mengganggu status quo. Mereka ingin membasmi rente, tapi justru dijebak dan dijegal.

Bagaimana mungkin negara ini bisa maju, jika orang-orang terbaiknya justru dipatahkan oleh sistem?

Harus Ada Perubahan

Negara ini seharusnya merangkul mereka, bukan mencurigai. Menjaga mereka, bukan memenjarakan. Mendorong mereka untuk pulang dan membangun, bukan membuat mereka takut kembali. Kita memerlukan reformasi bukan hanya di bidang ekonomi atau birokrasi, tapi dalam cara negara ini memperlakukan integritas.

Kita tidak bisa membiarkan narasi seperti ini terus berkembang: bahwa pulang ke Indonesia adalah risiko tertinggi bagi profesional muda yang ingin berbuat baik. Jika itu terus terjadi, maka brain drain akan berubah menjadi heart drain—bukan hanya otak yang pergi, tapi juga hati dan harapan.

Menantang Kepemimpinan Nasional

Pertanyaannya sederhana, tapi mendesak: Mau dibawa ke mana negeri ini jika para pemimpinnya terus membiarkan orang-orang terbaik bangsa dipatahkan oleh sistemnya sendiri? Jika seorang lulusan Harvard takut pulang karena takut dikriminalisasi, maka kita harus bertanya—ada yang sangat salah dalam cara kita membangun bangsa ini.

Presiden, parlemen, aparat penegak hukum, dan pemimpin BUMN harus menjawab tantangan ini. Kita harus menciptakan iklim yang tidak hanya menghargai kepintaran, tapi juga melindungi integritas. Bukan karena mereka lulusan luar negeri, tapi karena mereka adalah warga negara Indonesia yang ingin bekerja dengan benar.

Penutup

Jangan sampai generasi muda Indonesia yang kini belajar di luar negeri akhirnya menarik garis: bahwa kesalahan terbesar mereka adalah jika suatu hari mereka memutuskan untuk pulang. Karena jika itu terjadi, maka kita bukan hanya kehilangan potensi, tapi kehilangan masa depan.

Selamat sore all.

Advertisement

Tinggalkan Komentar