Oleh: Achmad Nur Hidayat – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Apakah dunia saat ini masih memiliki pemimpin yang bijaksana dalam merespons konflik dan merajut perdamaian?
Ataukah kita tengah menyaksikan kebangkrutan moral dari kekuatan-kekuatan besar yang selama ini mengklaim dirinya sebagai penjaga stabilitas global?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka tatkala dunia diguncang kembali oleh memanasnya ketegangan antara Israel dan Iran, bersamaan dengan semakin terlihatnya orientasi sepihak dari Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa, dalam menyikapi keinginan Iran mengembangkan energi nuklir untuk kepentingan damai.
Di saat bersamaan, pertemuan tahunan St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 yang digelar di Rusia menjadi panggung alternatif yang mencerminkan perubahan arsitektur geopolitik dan geoekonomi dunia.
Termasuk di dalamnya adalah partisipasi aktif Indonesia dan peran strategis Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto, yang memunculkan harapan baru: munculnya kekuatan dari Timur yang lebih arif, berimbang, dan mendorong perdamaian dunia yang berkeadilan.
Kita tengah menyaksikan satu babak baru dalam geopolitik global yang ironis: pihak-pihak yang selama ini mengklaim dirinya sebagai penjaga perdamaian dunia justru menunjukkan keberpihakan ekstrem yang dapat memicu eskalasi konflik lebih luas.
Ketika Iran menegaskan kembali haknya untuk mengembangkan teknologi nuklir secara damai — sebagaimana dijamin dalam perjanjian internasional, termasuk NPT (Non-Proliferation Treaty) — respons yang muncul dari Barat bukanlah dialog atau jembatan diplomasi, melainkan sanksi, tekanan ekonomi, hingga retorika militer yang menggiring opini global seolah-olah Iran adalah ancaman mutlak.
Mengapa standar ganda ini terus dipertahankan?
Mengapa Israel boleh memiliki ratusan hulu ledak nuklir tanpa inspeksi internasional, sementara Iran, yang berkali-kali menyatakan niat damainya, terus disudutkan?
Jawabannya adalah karena Barat — terutama Amerika Serikat — telah menyerahkan sepenuhnya arah kebijakannya di Timur Tengah pada kehendak Israel. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang kehilangan wisdom, yang tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai universal seperti keadilan, kedaulatan negara, dan hak untuk berkembang secara setara.
Analogi yang bisa digunakan untuk memahami situasi ini adalah seperti wasit dalam pertandingan yang mulai memilih-milih siapa yang boleh melanggar dan siapa yang akan dihukum, tanpa aturan yang sama bagi semua.
Maka pertandingan bukan hanya tidak adil, tetapi juga berpotensi memicu kerusuhan besar. Begitulah dunia saat ini, ketika wasit global — yang seharusnya menjamin stabilitas — justru memperkeruh suasana dan membiarkan satu pihak bebas bertindak tanpa konsekuensi.
Di tengah realitas ini, forum seperti SPIEF 2025 menawarkan nafas baru.
Rusia, meski dalam posisi terisolasi oleh Barat karena konflik di Ukraina, tetap mampu menghadirkan forum ekonomi yang dihadiri puluhan negara dari Asia, Afrika, hingga Amerika Latin.
Ini adalah indikasi bahwa dunia sudah tidak lagi melihat Barat sebagai satu-satunya pusat kekuasaan.
Dunia kini multipolar, dengan poros-poros alternatif yang mengusung semangat kedaulatan, kolaborasi, dan resistensi terhadap dominasi tunggal.
Partisipasi Indonesia dalam SPIEF 2025 menjadi sangat penting, tidak hanya karena posisinya sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga karena Indonesia membawa identitas moral sebagai bangsa non-blok yang sejak lama dikenal aktif memperjuangkan perdamaian dunia.
Dalam konteks ini, kehadiran Prabowo Subianto bukan sekadar simbol diplomatik, melainkan langkah strategis untuk memosisikan Indonesia sebagai juru damai global, terutama ketika negara-negara besar gagal memainkan peran tersebut.
Prabowo, yang selama ini dikenal sebagai figur militer, justru menunjukkan transisi menarik ke peran diplomatik yang beradab dan konstruktif. Ia menekankan pentingnya dialog, kerja sama ekonomi lintas kutub, dan penghormatan terhadap kedaulatan negara sebagai prinsip utama hubungan antarbangsa.
Dalam berbagai pertemuan bilateral di SPIEF, Indonesia menawarkan solusi konkret atas persoalan dunia: kerja sama energi terbarukan, perdagangan berkeadilan, dan penguatan arsitektur keamanan kolektif tanpa dominasi unilateral.
Apa yang ditunjukkan Indonesia adalah bahwa dunia butuh pemimpin yang tidak hanya kuat secara militer atau ekonomi, tetapi juga memiliki kedalaman moral dan empati global.
Sebab tantangan dunia hari ini — dari konflik Israel-Iran, perubahan iklim, hingga ketimpangan ekonomi global — tidak bisa diselesaikan dengan sanksi atau senjata, tetapi dengan kesanggupan mendengarkan, memahami, dan membangun kepercayaan di antara bangsa-bangsa.
Kepemimpinan Indonesia ini seperti air di tengah api
Ia tidak memihak secara membabi buta, tetapi juga tidak netral dalam ketidakadilan.
Ia berpihak pada prinsip, bukan pada kekuatan. Seperti air yang tidak memiliki bentuk tetap namun mampu menyesuaikan diri dan memberi kehidupan, Indonesia hadir sebagai pemimpin alternatif yang fleksibel, namun tetap memegang teguh etika global.
Lebih jauh, forum seperti SPIEF bisa menjadi platform Indonesia untuk mengusulkan arsitektur perdamaian baru — di mana negara-negara berkembang memiliki suara yang lebih besar, dan keputusan-keputusan strategis global tidak hanya didikte oleh kepentingan segelintir elite negara maju.
Misalnya, Indonesia bisa mendorong reformasi Dewan Keamanan PBB agar lebih representatif, atau membangun jalur diplomasi Selatan-Selatan yang fokus pada pertumbuhan inklusif dan pemulihan global pasca-pandemi serta pasca-konflik.
Dalam kesimpulan, kita sedang menyaksikan dua arus besar dalam tata dunia kontemporer.
Di satu sisi, arus lama yang masih dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan Barat yang kehilangan kebijaksanaan, menutup pintu dialog, dan bersikap hipokrit dalam menilai siapa kawan dan siapa lawan.
Di sisi lain, muncul arus baru dari Timur — termasuk Indonesia — yang membawa semangat koeksistensi, kerja sama ekonomi, dan perdamaian dunia berbasis prinsip keadilan sejati.
Kepemimpinan global saat ini berada di persimpangan jalan
Jika Barat terus bersikeras mempertahankan hegemoni melalui kekerasan dan standar ganda, maka krisis demi krisis akan terus muncul — dari Timur Tengah hingga Asia Pasifik.
Namun, bila dunia bersedia memberi ruang bagi kekuatan-kekuatan alternatif seperti Indonesia, maka harapan akan dunia yang lebih damai dan berkeadilan bisa benar-benar terwujud.
Melalui SPIEF dan jalur diplomasi aktif yang dijalankan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, Indonesia telah mengambil langkah awal yang penting.
Dunia menanti, dan sejarah akan mencatat apakah langkah ini menjadi permulaan dari era baru kepemimpinan global yang tidak hanya kuat, tapi juga bijaksana.
Sumber: https://achmadnurhidayat.id/2025/06/ketika-kepemimpinan-dunia-butuh-keseimbangan-baru-prabowo-spief-dan-krisis-israel-iran/
Advertisement