Doctor helping patient use inhaler in office

Oleh : Pril Huseno

Setelah terserang sesak itu, aku putuskan untuk menghentikan olahraga jogging ataupun jalan kaki pagi. Pulang dengan perasaan galau tak keruan. Kenapa ini? Rasa-rasanya tidak pernah “berbakat” untuk terkena asma atau penyakit paru lainnya. Hanya memang, almarhum Emakku memang sempat menderita asma di penghujung usianya. Ayahku pun bukan penderita Asma.

Esoknya, kucoba lagi olahraga jalan kaki. Namun dengan langkah agak santai, tidak seperti kemarin jalan cepat. Tapi, lagi-lagi setelah 100 meter, sesak napas muncul lagi hingga memaksaku menghentikan langkah.

“Parah ini..” lenguhku

Dan sejak saat itu, yang kurasakan jika jalan cepat, kerja sibuk-sibuk mondar mandir ke sana ke mari, mandi dengan gayung jebar-jebur, atau mencoba mengepel lantai dua rumah Jatinegara, pasti berhenti karena sesak. Terlebih mandi dengan gayung. Jadi terpaksa gunakan shower.

Karena bingung dan ingin kepastian terkena penyakit apa, aku memutuskan pulang dulu ke Jogja. Tapi di stasiun Senen, langkahku yang membawa serta ransel lumayan berat terpaksa kembali berhenti di tengah jalan. Rasa sesak tak tertahan memaksa harus berhenti jeda sejenak. Setelah reda sesak baru berani jalan lagi naik ke gerbong KA.

Sesampai di Jogja, hari berikutnya aku konsul ke dokter umum dekat rumah, karena kebetulan klinik pratama BPJS ku di tempat itu. Namun oleh dokter hanya diberi obat-obatan biasa tanpa adanya rekomendasi surat rujukan ke rumah sakit untuk berobat ke dokter spesialis.

Dokter Ahli Paru
Karena tidak puas dan kondisi sesak pun tidak kunjung reda, Aku putuskan untuk berobat ke dokter ahli paru di RS TNI-AU Hardjolukito Jogja. Dokter ahli paru di rumah sakit itu setelah memeriksa kondisi paru-paruku lalu memberikan obat pengurang sesak dan juga obat semprot ke mulut yang harus digunakan jika sesak. Mirip obat penderita asma.

“Gunakan dulu obat ini ya pak, nanti dua minggu balik lagi ke sini untuk kontrol ke saya..!” kata dokter itu.

Aku mengangguk mengiyakan, tapi dalam hati malah timbul keraguan. Mengapa aku malah diberi obat semprot untuk orang asma? padahal kuyakin penyakitku bukanlah asma.

Memang, dulu sewaktu almarhum Emakku sakit asma diberi semacam obat semprot ke mulut yang digunakan jika diperlukan. Ada juga pemeriksaan lanjutan di rumah sakit dengan meniup alat berupa balon berindikator yang harus dihembus kencang oleh penderit asma. Itu kalau tidak salah bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas bermain meniup balon terhadap perubahan fungsi paru dengan asma. Biasanya didapatkan perubahan fungsi paru dengan asma sebelum dilakukan terapi meniup balon dan setelah terapi meniup balon.

Sayangnya, karena tidak yakin mengidap asma, aku menghentikan pengobatan di dokter ahli paru, karena kupikir bukan itu penyakitku. Harus konsul lagi dengan dokter lain untuk mendapatkan second opinion.

Namun, sebelum memutuskan pergi ke dokter lain untuk meminta second opinion, aku terlanjur tenggelam dalam kesibukan kerja menjadi jurnalis dan penulis. Jadilah, hari-hariku sebelum mendapatkan keterangan pasti apa penyakitku, kulalui dengan sesak napas berulang ketika melakukan aktivitas berat. Terlebih olahraga jalan kaki, sementara jogging atau lari-lari kecil sudah kusetop. Di usiaku yang menuju 58 tahun ini rasanya sudah harus mengurangi aktivitas berat atau sedikit berat. Tidak tahan sesaknya dan menghindai risiko buruk. 

(Besambung)

Kans Jawara