“Collapse…”

Oleh : Pril Huseno

Aku diberi obat Furosemide 40 mg, Captopril 5 mm, dan beberapa lainnya, yang harus diminum setiap hari. Furosemide diberikan untuk mengurangi cairan dalam jantung dan tubuh yang biasa diderita orang berpenyakit jantung. Captopril obat pengendali tensi darah. Furosemide ini jika diminum, kita akan pipis terus selama beberapa jam. Jadi bolak balik ke kamar kecil, dan itu proses pengeluaran cairan di tubuh.

Tak heran dr Krisma setiap kali kontrol kemudian, kerap memeriksa kaki bagian bawah, untuk melihat adakah pembengkakan di tubuhku dengan menyentuh dan menekan betis atau bagian atas tapak kaki sebentar, mirip ketika memeriksa orang dengan beri-beri.

Ketika meminum Furosemide, aku memang merasakan ada keringanan tubuh dan tidak gampang sesak ketika beraktivitas berat, mandi atau lainnya.

Sekira 4-6 bulan, aku rutin periksa ke dr Krisma di RS Bethesda Lempuyangan. Beberapa obat alternatif juga kuminum, antara lain kapsul Daun Kelor. Meminum kapsul daun kelor juga membantu mengurangi sesak. Tapi yang kurasakan, lama kelamaan penyakit sesakku bukannya berkurang, malah semakin sering ketika sehabis aktivitas berat.

Bahkan pada malam hari jam 02.00 WIB aku kerap harus terbangun untuk bersendawa dari mulut, seperti membuang angin yang menyesaki lambung.

Sendawa itu kulakukan untuk mengurangi sesak. Istriku yang sabar, selalu “mengeroki” dengan minyak angin di punggung untuk mengurangi sesak, setiap kali aku terbangun malam karena sesak. Bantal pun harus dipasang dua buah untuk menaikkan posisi dada dan kepala, dengan tidur yang miring ke kanan.

Lebih kurang enam bulan aku menderita sesak seperti itu, meski setiap bulan kontrol ke dokter. Menyiksa sekali rasanya. Bahkan bertambah perah dengan keluarnya keringat dingin ketika sesak, dan badan lemas. Kalau sudah terkena serangan sesak seperti itu, aku harus berhenti dulu dalam posisi berdiri untuk mengurangi sesak dan meredakan detak jantung.

Belakangan baru kutahu, situasiku sebenarnya sudah gawat dengan sesak lemas dan keringat dingin seperti itu. Sayangnya dr Krisma tidak merekomendasikan diriku untuk berobat ke tahap lanjut dengan mengirim ke dokter ahli jantung. Itu kritik satu-satunya kepada beliau yang sempat kupikir sekarang.

Sampai tibalah pada sekira seminggu setelah Idul Fitri 2023, ketika sehabis Ashar aku sedang leyeh-leyeh di rumah, membaca news sambil rebahan. Tiga malam sebelumnya berturut-turut aku tidur larut, kebiasaan yang sering kulakoni meski sudah sakit jantung. Bekerja sampai jam 12.00 malam bersama si Fadzli putraku ragil, sambil memasak indomie rebus telor – Ferdi, anakku tertua, sudah bekerja di Jakarta – lalu masakan itu kami lahap sambil cengar cengir berdua di malam yang larut. Aku memang kerap tidur pada jam 02.00 dinihari. Kebiasaan yang sungguh tidak baik bagi kesehatan jantung.

Mendadak, sore itu aku kehilangan keseimbangan ketika hendak berdiri menuju kamar mandi. Kepala serasa berputar. Aku tak sanggup tegak. Mirip orang terkena vertigo. Hanya bisa menyebut asma Allah sambil berpegangan dan duduk kembali di tepi tempat tidur. Mata kupejamkan karena pusing jika membuka mata. Jantung berdebar dan napas memburu. Kenapa ini? pikirku.

Segera kupanggil Fadzli, untuk membantu menggosokkan balsem ke punggung. Sementara istri juga segera memberikan pijatan di kepala…

(Bersambung)

Kans Jawara