Oleh : Pril Huseno

Dalam keadaan kalut itu, aku sempat meminum Captopril karena kupikir jangan-jangan disebabkan telat meminum obat darah tinggi. Tapi kondisiku tidak berubah. Tetap tidak kuat berdiri dan kepala rasanya berat. Segera kuminta anakku Fadzli Alghifari membawaku ke RS Bethesda Lempuyangwangi, sebagai tindakan darurat.

Sebenarnya RS AURI Hardjolukito dekat rumah, namun kami pikir rekam medis ada di RS Bethesda Lempuyangwangi.

Anakku Fadzli bergegas menyiapkan kendaraan roda dua untuk memboncengku.

“Biar cepat Ayah…” Katanya.

Benar juga, kalau menunggu Grabcar pasti akan menunggu sekitar 15 menit. Pada saat-saat seperti itu, setiap detik sangat berharga untuk keselamatan jiwaku. Anakku Fadzli untungnya sigap, meski masih kelas 2 SMK. Istriku pun bersiap dengan kendaraan roda duanya.

Akhirnya meski dipapah dan sempoyongan, aku bisa naik membonceng anakku, dan dia melarikan motornya bagai terbang…

Aku hanya bisa memeluk Fadzli sambil memejamkan mata karena kepala makin terasa berat. Berbagai doa kuucapkan. Terselip rasa pasrah kepadaNya, sembari berharap pertolongan dari Dia yang Maha Penolong. Pipit, istriku, menyusul dengan cemas di belakang.

“Ini mungkin yang disebut dengan “anfaal” atau collapse bagi penderita jantung,” pikirku.

Teringat beberapa orang kenalan, tetangga dan kawan yang telah tiada karena collapse. Entah karena jantung atau stroke. Dalam kondisi seperti itu, masa emas ada pada 30 menit pertama sejak terkena serangan. Semakin cepat tertangani, maka peluang sembuh dan tertolong semakin besar. Oleh karena itu, meski ngebut, tetap kubisikkan kepada Fadzli agar hati-hati berkendara. Jangan sampai terjadi kecelakaan agar aku bisa lebih cepat sampai di rumah sakit.

Sesampai di depan IGD RS Bethesda Lempuyangwangi, masih sempat kuingat untuk menyiapkan kartu BPJS dan KTP. Dua hal itu sangat perlu disiapkan untuk memperlancar pertolongan.

“Saya pusing berputar, lemas dan gemetar, pasien dr Krisma di sini dan tengah dirawat jalan karena pembengkakan jantung…” kataku pada para perawat sambil menyerahkan KTP dan kartu BPJS di depan meja resepsionis IGD.

Paramedis segera memapahku ke ruang tindakan darurat dan aku lepas rebah di bed pasien. Istriku yang tiba kemudian, mendampingi bersama Fadzli.

Para perawat dipandu dokter jaga dengan sigap menyiapkan semua peralatan pertolongan pertama, sebagai tindakan darurat pasien collapse sepertiku. Berbagai alat dipasang di tubuh, lengan dan di kepala. Entah apa nama alat itu. Sepertinya monitor jantung, tensi darah dan ada beberapa lagi.

Di situlah kunilai memang rumah sakit Bethesda ini amat cepat dan sigap dalam melayani pasien. Semua sibuk segera menolong.

Jarum infus pun segera dimasukkan di lengan. Sesuatu yang sungguh tidak kusuka dari dulu, karena tidak nyaman. Juga, sakit sekali sewaktu ditusuk-tusuk jarum infus.

“Ini pasien prioritas yang harus ditangani serius agar cepat tertolong,” Mungkin begitu motto IGD di seluruh dunia. Tapi memang terasa, kesigapan perawat di rumah sakit ini membuatku tenang.

Dokter jaga IGD segera mewawancarai singkat riwayat penyakitku, sambil memperhatikan monitor jantung, juga monitor detak nadi. Nadi di lenganku diraba untuk mengetahui berapa jumlah detak nadiku dalam satu menit. Aku hanya menjawab pelan, kucoba untuk duduk tapi kepala pusing berputar. Dokter segera menyarankan untuk jangan dulu duduk. Tensiku tercatat tinggi, 175 mmHg. Makanya kepalaku pusing dan berat.

Tak berapa lama, dokter jaga pergi ke ruang sebelah, mungkin menelepon dokter spesialis jantung untuk berkonsultasi.

“Pak, detak nadi bapak amat lemah, masuk ICU ya pak, sekarang…!” tutur dokter jaga bergegas setelah kembali ke bed ku.

Standar normal jumlah detak nadi seseorang dalam satu menit biasanya kisaran 60 – 100 detak nadi per menit. Nah, saat itu detak nadiku hanya di bawah 50 detak nadi per menit.

Aku hanya pasrah mengiyakan. Dokter pasti lebih tahu penyakit dan kondisiku sekarang. Mungkin setelah berkonsultasi by phone dengan dokter spesialis jantung, diperintahkan untuk sesegera mungkin memasukkanku ke ruang ICU.

“Ya Allah, tolong selamatkan diriku ini. Masih banyak tugas dan kewajiban yang harus kuselesaikan untuk anak-anak dan keluargaku…” Doaku sedih dalam hati.

Hasbunallah wanikmal wakiil, nikmal maula wanikmannasiirr….
 
(Bersambung)

Kans Jawara