Oleh : Pril Huseno
Dalam keadaan seperti itu, kepasrahan kepada Allah SWT memang wajib diutamakan. Terus terang saja, ketika dokter jaga katakan detak nadiku amat lemah dan harus masuk ICU, keringat dingin langsung menitik. Agak gemetar juga. Masuk ruang ICU tak pernah kubayangkan selama hidup.
Pikiran-pikiran buruk langsung menyergap. Tetapi yang membuatku agak tenang adalah, semuanya bisa dicover oleh BPJS. Alhamdulillah.
Perasaan mulai kembali gelisah, ketika lamat-lamat kudengar percakapan istriku dengan seorang perawat senior di ruang sebelah.
“Suami saya kenapa suster..?”
“Agak serius ibu. Bapak sedang menunggu serangan kedua, khas para penderita collapse jantung.”
“Maksudnya gimana suster?”
“Iya, heart attack biasanya ada dua gelombang. Serangan pertama kayak bapak ini. Tapi untungnya tidak disertai nyeri dada sebelah kiri, atau terasa seperti ditekan benda amat berat. Namun kami tidak mau ambil risiko.
“Second attack” biasanya terjadi selang 15 menit kemudian. Ini mau cepat-cepat dimasukkan ICU karena antisipasi jika ada second attack..” Suster menerangkan.
Semakin lemas rasanya mendengar obrolan bisik-bisik itu. Aku terus istighfar meminta ampun atas segala dosa dan khilaf baik disengaja atau pun tidak. Astaghfirullah…..astaghfirrullah….astaghfirullah.
Dulu semasa kerja di Jakarta, aku pernah punya kenalan seorang akuntan senior di Jakarta. Juga terkena heart attack sepertiku.
Kawan itu juga tidak merasa nyeri dada sebelah kiri plus tertekan benda berat, dan rahang serasa kaku. Tapi hanya menderita tidak enak badan, sesak dan pulang ke rumah minta dikeroki istrinya. Tapi karena semakin tidak enak badan, kawanku memutuskan ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit didiagonosa kena heart attack dan harus masuk ICU seperti diriku ini.
Dia juga dibisiki dokter jaga untuk antisipasi adanya “second attack”.
Yang bikin ngeri, ketika second attack itu tiba, risikonya tinggi sekali. Jadi antara bisa melewati dengan selamat atau “game”. Peluangnya fifty-fifty.
Tetanggaku di Jogja juga pernah bercerita bahwa koleganya, seumuran denganku, terkena second attack di rumah sakit Polri Kalasan Jogja dan tidak selamat, berpulang.
Beruntungnya, kawanku akuntan senior di atas bisa melewati itu semua tanpa adanya second attack. Dan selamat. Itu juga yang kuharap kali ini atas diriku.
Ketika istriku datang menghampiri dengan mata sembab, aku hanya bisa mengatakan bahwa tadi mendengar percakapannya dengan suster. Dia hanya bisa sesenggukan menangis sambil memegangi tanganku. Aku langsung meminta maaf jika ada salah dan keliru selama hidup sebagai suami istri, dan memintakan maaf kepada semua jika ada apa-apa atas diriku.
Istriku semakin menangis sambil melarang aku berbicara macam-macam.
Kebetulan pula saat itu, adik-adikku dari Jakarta menelepon. Istriku sambil menangis menceritakan kondisiku terakhir.
“Sudah minta-minta maaf…” katanya kepada adik-adikku sambil terus menangis.
Entah apa kemudian yang mereka bincangkan, sampai akhirnya adik-adikku meminta tolong istriku untuk memfoto diriku saat berbaring di IGD.
Tak lupa pula setelah itu, kupesankan istri agar segera melunasi semua kewajiban yang masih ada. Siapa tahu benar ada apa-apa atas diriku, dan semua kewajiban harus dilunasi.
Tak berapa lama, semua perawat segera menyiapkan ranjangku untuk pemindahan ke ruang ICU. Istri dan anakku Fadzli hanya bisa menatapku sambil juga bersiap.
Lalu, bergegas para perawat mendorong bed pasien ke arah ICU. Lengkap dengan segala peralatan yang diperlukan.
Suara roda bed pasien yang didorong sepanjang lorong menuju ICU terasa bagai kereta maut yang mengantarku ke kegelapan. Berderit-derit mengerikan. Aku hanya bisa terus berdoa.
Astaghfirullah..astaghfirullah…..
(Bersambung)