Oleh : Pril Huseno

“Detak jantung bapak tidak stabil ya, ini dikasih obat dulu, untuk mengatasi detak tidak teratur. Di samping obat lain,” kata dr Debby ketika visit ke ICU.
“baik dokter. Kapan saya bisa pulang? tanyaku berharap.
“Ya, nanti dilihat dulu kondisi beberapa hari ini ya pak..”

Aku memang mulai tidak betah di ICU. Karena tidak bisa “ngapa-ngapain”, praktis di bed pasien saja, dengan berbagai kabel yang menempel di tubuh. Lagipula, kurasa kondisiku telah jauh membaik. Total sudah 3 hari aku di ICU. Obat-obatan yang diberikan, selain pengencer darah yang disuntikkan di perut, aku juga diberi obat darah tinggi, obat anti kolesterol, obat anti Aritmia dan lainnya.

Rasa bosan membuatku berani bertanya kapan aku bisa pulang. Aku tahu, dokter Debby menahanku karena bunyi detak jantungku di monitor jantung masih tidak stabil. Karena itulah masih diupayakan olehnya pengobatan Aritmia. Aritmia, menurut literatur yang kubaca kemudian, sampai pada taraf membahayakan jika terjadi collapse seperti istri kawanku Army. Bahkan bisa juga menyebabkan kematian mendadak. Jadi, lumayan berbahaya kalau dibiarkan tanpa pengobatan.

Selain rasa bosan, sebenarnya aku juga khawatir jika “second attack” masih mengintip untuk mengancamku. Karena itu pula, ibadah sholat kujaga dengan ketat meski harus tayyamum dan sholat sambil berbaring. Doa-doa ampunan kupanjatkan dengan khusyu’.

Rupanya, foto aku yang terbaring di ruang ICU dengan aneka kabel menempel di tubuh, menyebar ke mana-mana, terutama di medsos, FB dan twitter. Entah siapa yang memfoto. Tapi kutahu, di FB begitu banyak yang mendoakanku agar selamat dan cepat sembuh dan bisa melalui masa kritis dengan selamat. Terlebih di Twitter, sekitar 1000 lebih simpati dan doa dari teman-teman mutualan ataupun tidak, ikut memberikan komentar. Dari sana kusadar, begitu banyak orang yang menyayangi kita ketika tahu kita sedang kena musibah. Dari lubuk hati yang paling dalam kuucapkan terimakasih sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan doa yang disampaikan.

Adik-adik kandungku mengutus Arif, Adikku nomor dua di bawahku, untuk menjenguk ke Yogya. Ferdi, anak tertuaku yang baru saja bekerja di Jakarta, baru diberitahu sanak famili setelah kondisiku berangsur stabil. Dia akhirnya diberitahu dan langsung pulang ke Yogya.

Teman-teman kuliah dan adik-adik kelas di UII Yogyakarta, almamaterku kuliah, menyempatkan menjenguk. Bergantian masuk ke ICU mendoakan. Ya, ke ICU dibatasi hanya satu orang penjenguk bergantian, serta tidak boleh terlalu banyak. Tapi tak urung, yang antri ingin menemuiku tak tertahankan. Begitu pula pasangan suami istri Mujimin dan Wita, tetanggaku dulu di kampung sebelah. Erat genggaman tangan pak Mujimin – dia baru saja pensiun dari kesatuan elit Paskhas AU Yogyakarta – menyalamiku, disertai doa agar cepat sembuh.

Suryadi dan Yati istrinya, ikut menyempatkan membesuk. Begitu pula Slamet Tohari. Mereka adik-adik kelasku dan yuniorku semasa aktif di HMI FE UII dulu, angkatan 87. Aku memang pernah jadi ketua Komisariat HMI FE UII Yogya 86-87. Jadi banyak sekali yunior yang kukenal sampai sekarang.

Suryadi, yang sudah kuanggap adik sendiri, menahan tangis ketika menemui dan menyalamiku. Salamnya erat sekali disertai doa kesembuhan. Aku jadi ikut terharu. Padahal dokter Debby berpesan agar aku menjaga emosi dan ritme berbicara jangan sampai terlalu banyak cakap. Begitu pula Yati, istri Suryadi, kutahu dia amat trenyuh menyaksikanku dalam kondisi lilitan kabel di mana-mana. Dia menyampaikan salam dari semua yunior dan rekan sesama alumni.

Yati dan suaminya Suryadi, memang sejak kuliah dulu dekat sekali dengan keluargaku di Yogya. Saling mengunjungi dan bercanda. Bahkan dulu pertama aku ke Yogya sempat menumpang dua minggu di rumah mereka. Ketika itu aku bekerja dan ikut cawe-cawe mengajar mata kuliah akuntansi di salah satu kampus swasta di Yogya, sebelum kemudian pindah ke mess di dekat kampus. 

(Bersambung)

Kans Jawara