Ketika mercusuar kehilangan cahayanya, kapal-kapal akan tersesat di tengah badai


Bayangkan sebuah kompas di tangan seorang kapten kapal yang tengah berlayar di samudera kelam. Bila jarum kompas itu bergetar tak menentu—kadang menunjuk utara, kadang selatan, tergantung kekuatan magnet terdekat—maka kapal itu akan kandas di karang-karang berbahaya. Itulah metafora yang tepat untuk menggambarkan kondisi universitas-universitas kita hari ini: institusi yang seharusnya menjadi kompas moral bangsa, justru kehilangan arah karena terpengaruh medan magnet kekuasaan, uang, dan kepentingan sesaat.

Harvard University baru saja memberikan kita pelajaran berharga tentang apa artinya memiliki moral compass yang sejati. Di tengah badai politik Amerika Serikat, ketika pemerintahan Trump mencabut sertifikasi universitas tersebut untuk menerima mahasiswa internasional—yang berarti mengancam 27 persen dari populasi mahasiswanya—Harvard tidak gentar. Universitas tertua di Amerika Serikat itu dengan tegas menyatakan “tidak akan menyerahkan independensinya atau melepaskan hak-hak konstitusionalnya. Baik Harvard maupun universitas swasta lainnya tidak dapat membiarkan dirinya dikuasai oleh pemerintah federal.”

Sikap Harvard ini bukan sekadar arogansi akademik atau kesombongan elit Ivy League. Ini adalah manifestasi dari pemahaman mendalam tentang peran universitas sebagai benteng terakhir kebebasan intelektual. Harvard menegaskan bahwa “mempertahankan nilai-nilai akademik dan melindungi komunitas kampus dari diskriminasi adalah imperatif moral universitas.” Mereka paham betul bahwa jika universitas tunduk pada tekanan eksternal—entah itu politik, ekonomi, atau sosial—maka mereka kehilangan esensi keberadaannya sebagai ruang bebas untuk pencarian kebenaran.

Universitas sebagai Kompas Moral

Konsep universitas sebagai kompas moral bukanlah ide yang muncul tiba-tiba. Ia memiliki akar sejarah yang panjang dan telah diuji dalam berbagai krisis peradaban. Di Afrika Selatan, University of Cape Town menjadi saksi bisu sekaligus pelaku aktif dalam perlawanan melawan apartheid, meskipun harus beroperasi dalam “timid brand of liberalism” yang penuh keterbatasan. Para mahasiswa dan dosen UCT tidak hanya berdiam diri menyaksikan ketidakadilan rasial, tetapi secara konsisten memperjuangkan prinsip-prinsip akademik universal yang melampaui sekat-sekat ras.

Di Hong Kong, University of Hong Kong mempertahankan tradisi kebebasan akademik di tengah tekanan politik yang menguat pasca-demonstrasi pro-demokrasi. Universitas ini memahami bahwa otonomi kampus bukan sekadar slogan, melainkan prasyarat fundamental bagi eksistensi pengetahuan yang autentik.

Sementara itu, di Turki, Boğaziçi University memberikan contoh heroik lain. Ketika pemerintah berusaha mengintervensi penunjukan rektor, universitas ini menolak dengan tegas, mempertahankan prinsip bahwa pemimpin akademik harus dipilih berdasarkan merit dan konsensus komunitas akademik, bukan berdasarkan kedekatan politik.

University of California, Berkeley, pada 1960-an, melahirkan Free Speech Movement yang menjadi simbol global kebebasan berpendapat di kampus. Gerakan ini menunjukkan bahwa universitas bukan hanya tempat transfer pengetahuan, tetapi juga laboratorium sosial untuk eksperimen demokrasi dan hak-hak sipil.

Di Belanda, konsep moral compass telah diintegrasikan dalam pendidikan profesional, menciptakan tradisi di mana universitas tidak hanya menghasilkan lulusan yang kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. Sementara itu, program UNODC Education for Justice telah mengembangkan modul etika global yang diterapkan di universitas-universitas seluruh dunia untuk membentuk kesadaran etika dan kepemimpinan moral.

Ketika Kompas Moral Tersesat


Namun, bagaimana dengan universitas-universitas kita di Indonesia? Sayang sekali, kita harus mengakui dengan jujur bahwa beberapa universitas terkemuka kita justru tengah mengalami krisis kompas moral yang mengkhawatirkan.

Universitas Gadjah Mada (UGM), yang kerap disebut sebagai Bulwark of the Republic, kini tersandung dalam kontroversi yang memalukan. Polemik ijazah seorang mantan pejabat tinggi negara yang hingga kini belum terselesaikan dengan transparan telah mencoreng reputasi universitas yang didirikan pada 1949 ini. Mantan rektor UGM bahkan menyatakan bahwa “berbagai kejanggalan dan inkonsistensi masih terus muncul, dan Universitas Gadjah Mada belum menunjukkan keberanian untuk menjawabnya secara jujur.”

Yang lebih memprihatinkan, saat tim investigasi mengunjungi UGM, “tidak ada satu pun ijazah UGM yang ditunjukkan kepada mereka untuk diperiksa atau difoto.” Transparansi, yang seharusnya menjadi ruh universitas publik, justru diabaikan demi pertimbangan politik praktis.

Universitas Indonesia (UI), yang bangga dengan sebutan The Pioneer and Icon of Excellence, kini harus menanggung malu akibat kasus gelar doktor super kilat seorang pejabat kabinet. Gelar doktor yang diselesaikan dalam waktu hanya 1 tahun 8 bulan ini tidak hanya menuai kritik karena durasinya yang mencurigakan, tetapi juga karena disertasinya diduga hasil plagiat dengan tingkat similarity mencapai 95 persen.

UI akhirnya harus menangguhkan gelar doktor tersebut dan meminta maaf kepada masyarakat, sambil mengakui bahwa “permasalahan ini bersumber dari kekurangan UI sendiri” dan menghentikan sementara penerimaan mahasiswa baru Program Doktor SKSG. Ini adalah pengakuan pahit bahwa kultur intelektual yang dibangun dengan perjuangan luar biasa selama puluhan tahun bisa hancur oleh segelintir orang yang mengejar gelar untuk prestise semata.

Institut Teknologi Bandung (ITB), kebanggaan dunia teknik Indonesia, juga tidak lepas dari noda moral yang mengkhawatirkan. Pada Juni 2025, ITB menandatangani Nota Kesepahaman dengan PT Kukuh Mandiri Lestari, pengembang PIK2 yang merupakan bagian dari konglomerat besar yang kerap menjadi sorotan publik. Kerjasama ini untuk membangun kampus ITB di kawasan yang sarat kontroversi itu.

Ironinya, PIK2 sendiri telah menjadi pusat berbagai tuduhan pelanggaran etika dan hukum. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan secara resmi meminta pemerintah mencabut status Program Strategis Nasional untuk PIK2 karena dinilai “mendatangkan kemudaratan bagi masyarakat.” Laporan investigasi menyebutkan adanya dugaan perampasan tanah rakyat, manipulasi hukum, dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak menjual tanahnya.

Universitas yang seharusnya menjadi benteng melawan oligarki justru menjalin kerjasama dengan entitas yang diduga merepresentasikan sistem oligarkis itu sendiri. Belum lagi kontroversi sebelumnya tentang kerjasama dengan platform pinjaman online untuk UKT dan kewajiban mahasiswa penerima beasiswa untuk bekerja paruh waktu di kampus, yang dinilai sebagai bentuk komersialisasi pendidikan terselubung.

Dialog Imajiner: Ketika Sang Proklamator Bertemu Pendiri Universitas Tertua Amerika


Bayangkan sebuah dialog imajiner antara seorang founding father Indonesia yang merupakan alumni Technische Hoogeschool Bandung (cikal bakal ITB), dengan pendiri universitas tertua di Amerika Serikat, di sebuah dimensi ruang-waktu yang melampaui batasan fisik:

Sang Pendiri: “Tuan Proklamator, saya mendirikan universitas dengan wasiat sederhana: agar menjadi tempat di mana kebenaran dapat dicari tanpa takut. Bagaimana universitas-universitas di negeri Anda?”

Sang Proklamator: “Tuan Pendiri, universitas tempat saya belajar dulu mengajarkan saya bahwa ilmu pengetahuan harus mengabdi pada kemanusiaan. Tapi kini, saya melihat universitas-universitas di Indonesia justru terjebak dalam pragmatisme sesaat. Mereka takut pada kekuasaan, tergoda oleh uang, dan kehilangan keberanian moral.”

Sang Pendiri: “Itu adalah tragedi yang saya saksikan berulang kali sepanjang sejarah. Universitas yang kehilangan kompas moral ibarat perpustakaan yang membakar bukunya sendiri. Apa yang akan Anda lakukan?”

Sang Proklamator: “Saya akan mengingatkan mereka pada semangat proklamasi: bahwa kemerdekaan intelektual adalah prasyarat kemerdekaan sejati. Universitas tidak boleh menjadi budak siapa pun—baik itu penguasa, pengusaha, maupun tekanan publik.”

Tantangan Baru, Kaidah Lama

Di era digital ini, universitas menghadapi tantangan baru yang lebih kompleks. Media sosial telah menciptakan ruang publik yang bising, di mana setiap statement akademik bisa dipolitisasi dalam hitungan menit. Tekanan ekonomi pasca-pandemi memaksa universitas mencari sumber dana alternatif, membuka peluang bagi infiltrasi kepentingan komersial. Sementara itu, polarisasi politik yang menguat membuat universitas harus berjalan di atas tali yang tipis antara netralitas akademik dan tanggung jawab sosial.

Namun, justru di tengah badai inilah kompas moral universitas diuji. Seperti kata pepatah Jawa: “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana” —kehormatan diri dari perkataan, kehormatan raga dari busana. Bagi universitas, kehormatan institusi datang dari konsistensi dalam mempertahankan prinsip-prinsip fundamental: kebebasan akademik, integritas intelektual, dan keberanian moral.

Universitas-universitas terbaik dunia memahami bahwa reputasi tidak dibangun dalam semalam, tetapi bisa hancur dalam sekejap. Harvard mempertaruhkan kerugian finansial milyaran dollar demi mempertahankan prinsip. UCT memilih konfrontasi dengan rezim apartheid daripada kompromi yang memalukan. Berkeley memilih mendukung gerakan hak sipil meskipun harus berhadapan dengan otoritas negara.

Jalan Keluar: Kembali ke Esensi

Lantas, bagaimana universitas-universitas Indonesia bisa keluar dari krisis kompas moral ini? Pertama, mereka harus kembali ke esensi dasar pendidikan tinggi: pencarian kebenaran tanpa kompromi. Ini berarti transparansi total dalam semua aspek governance, dari proses penerimaan mahasiswa hingga pemberian gelar.

Kedua, universitas harus membangun sistem checks and balances internal yang kuat. Senat akademik, dewan pengawas, dan organisasi mahasiswa harus diberdayakan untuk menjadi watchdog yang efektif. Tidak boleh ada keputusan penting yang diambil secara sepihak oleh rektorat tanpa konsultasi dengan stakeholder akademik.

Ketiga, universitas harus berani mengatakan “tidak” pada tawaran kerjasama yang berpotensi mengkompromikan integritas akademik. Uang memang penting untuk operasional universitas, tetapi ada hal-hal yang tidak boleh dijual: kehormatan, integritas, dan kemandiaan intelektual.

Keempat, universitas harus membangun budaya kritik akademik yang sehat. Peer review bukan hanya untuk publikasi ilmiah, tetapi juga untuk semua aspek kehidupan universitas. Sesama akademisi harus berani saling mengingatkan jika ada yang menyimpang dari jalur yang benar.

Mercusuar yang Harus Bersinar Lagi

Di tengah kemunduran moral yang melanda berbagai institusi publik kita, universitas seharusnya menjadi oasis terakhir di mana nilai-nilai luhur masih dipelihara. Ia seharusnya menjadi mercusuar yang memberi cahaya bagi kapal-kapal lain yang tersesat di lautan kehidupan yang semakin gelap.

Harvard telah menunjukkan jalan. UCT, Berkeley, Boğaziçi, dan universitas-universitas lain di berbagai belahan dunia telah memberikan contoh. Kini giliran universitas-universitas Indonesia untuk membuktikan bahwa mereka layak disebut sebagai benteng peradaban.

Tidak ada pilihan lain. Universitas yang kehilangan kompas moralnya akan kehilangan relevansinya. Dan bangsa yang kehilangan universitas yang bermoral akan kehilangan masa depannya. Sebab, seperti kata seorang pejuang anti-apartheid yang menjadi ikon rekonsiliasi dunia: kebebasan kita akan tetap tidak lengkap selama institusi-institusi pendidikan kita masih terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan yang sempit.

Mari kita berharap, universitas-universitas kita akan segera menemukan kembali kompas moral mereka yang hilang. Sebelum terlambat. Sebelum mercusuar itu benar-benar padam dan meninggalkan kita semua dalam kegelapan abadi.

Wallahu a’lam bishawab.

GWS, 30 Juni 2025

Advertisement

Tinggalkan Komentar