Kolom #2
Oleh : Dr Yusdinur
Konflik politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial yang disebabkan oleh adanya kontestasi politik dalam berbagai bentuk. Seringkali, konflik politik tidak berdiri sendiri, ia berkaitan dengan berbagai dinamika sosial, ekonomi, dan budaya, dalam sebuah masyarakat.
Konflik tidak harus dimaknai secara negatif. Konflik juga bisa bersifat positif dan bahkan fungsional. Dengan kata lain, konflik berfungsi dalam mendorong perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat kita.
Namun demikian, konflik politik juga bisa membawa dampak buruk dalam masyarakat. Salah satunya adalah terjadinya pembelahan sosial sebagai akibat dari kontestasi politik yang tidak sehat.
Pembelahan sosial ini secara cepat atau lambat dapat berpengaruh pada penurunan tingkat kerekatan sosial (social cohesiveness). Dalam kondisi tingkat kerekatan sosial melemah, maka modal sosial berupa kepercayaan (trust) dalam masyarakat, juga menjadi menipis. Hal ini secara langsung akan berkontribusi pada terjadinya gejolak sosial yang lebih besar, yang bisa berujung pada lahirnya konflik terbuka di dalam masyarakat.
Satu hal yang harus disadari adalah bahwa konflik merupakan sebuah fenomena sosial biasa, yang terjadi dalam setiap masyarakat. Dalam sosiologi, terdapat sebuah perspektif utama yang mengkaji tentang perubahan sosial, yakni pendekatan konflik sosial, disamping dua pendekatan utama lainnya, yakni pendekatan struktural-fungsional dan sombolik-interaksionisme.
Pendekatan sosial konflik ini melihat masyarakat sebagai ”an arena of inequality that generates conflict and change”. Jadi, pendekatan sosial konflik ini memandang masyarakat sebagai arena ketidakadilan yang menghasilkan konflik dan perubahan.
Pendekatan ini juga melihat bahwa sistem dalam masyarakat bekerja untuk menguntungkan sebagian kelompok dan merugikan kelompok lainnya. Ketidakadilan sosial ini menyebabkan terjadinya konflik yang berdampak pada perubahan sosial.
Dalam kajian konflik, sosiolog Dahrendorf merupakan salah satu tokoh penting yang mengembangkan teori konflik. Dahrendorf (1958) mengatakan bahwa konflik sosial dimaknai sebagai konflik yang lahir dari posisi-posisi di dalam struktur sosial secara independen yang berorientasi pada perubahan masyarakat.
Sementara itu, Lewis Coser (1967) memberikan batasan yang lebih jelas bahwa konflik sosial merupakan perjuangan terhadap nilai, status, kekuasaan, atau sumberdaya langka, dimana tujuan dari kelompok-kelompok yang berkonflik bukan saja untuk mendapatkan apa yang dimau, tetapi juga menetralkan, menyakiti, dan bahkan menghabisi lawan-lawannya.
Pemikiran teori konflik yang lebih kontemporer dikembangkan oleh Kriesberg (1998). Kriesberg (1998) menyebutkan bahwa konflik sosial akan eksis ketika dua atau lebih orang atau kelompok mempunyai kepercayaan bahwa mereka mempunyai tujuan yang tidak sesuai (incompatible objectives).
Pengertian Kriesberg tersebut juga memasukkan dimensi-dimensi kepercayaan (beliefs) dan kesenjangan harapan (incompatible expectation) yang menyebabkan lahirnya konflik.
Mengacu pada tiga pemikir teori konflik di atas, maka bisa kita lihat bahwa Dahrendorf menekankan pada posisi-posisi (kelas sosial) yang menjadi penyebab konflik di dalam masyarakat. Sementara Coser memberi penekanan pada perjuangan nilai, status, kekuasaan, dan sumberdaya langka oleh berbagai kelompok masyarakat.
Sedangkan Kriesberg memberi perhatian pada tujuan yang berbeda (incompatible objectives) dan kesenjangan harapan (incompatible expectations) sebagai penyebab konflik sosial di dalam masyarakat.
Dalam konteks yang lebih operasional, Fisher (2000) menawarkan cara melihat bentuk konflik di lapangan menurut sasaran dan prilaku aktor. Bentuk-bentuk konflik oleh Fisher dibagi dalam empat bentuk: tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan.
Depok, 1 Agustus 2024
#Perspektif Dr. Yusdinur, tulisan diperbaharui.