Sangat banyak variabel yang dapat diduga bahwa aksi massa, kerusuhan, dan penjarahan itu skenario siapa. Ada beberapa posisi-aktoral yang muncul, antara lain skenario petinggi polisi, tentara, barisan orang sakit hati, presiden, partai-partai, mantan presiden, forum-forum ormas/orsospol, forum-forum mahasiswa, forum kelompok swasta seperti para ojol, pihak asing, dan lain sebagainya.
Di semua posisi kadang ingin diatasnamakan rakyat. Kita tahu, mungkin yang paling dekat dengan sebutan rakyat adalah mahasiswa dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan politik dan pemilikan modal.
Namun, sebenarnya, setiap posisi aktoral punya skenarionya masing-masing. Ada skenario yang murni ingin menegakkan keadilan, dan tentulah mereka yang bisa dibuktikan dan membuktikan dirinya sebagai rakyat.
Yang banyak tentulah skenario mengacaukan dan berusaha mencuri atau merampok kekuasaan-tinggi. Kekuasaan yang bisa mengakses secara terang-terangan ataupun gelap semua sumber kekayaan Indonesia. Skenario ini tentu tega jika ada kematian, darah bercecer, dan penjarahan.
Dapat dipastikan, hanya skenario para pembenci yang sakit hati, yang syahwatnya besar terhadap kekuasaan, yang tega membuat skenario merusak dan membunuh.
Masalahnya adalah skenario seperti apa yang masih sedang berjalan? Apakah sebuah skenario bisa mengakhiri ceritanya sendiri?
Karena kontestasi banyak skenario, yang terjadi adalah benturan-benturan, tunggang menunggangi, dan banyak kejadian di luar skenario siapapun. Kematian dan darah yang bercucuran bisa menjadi sia-sia.
Kita tahu, perjalanan peristiwa meliar seperti tidak terkendali. Hingga ke kampung-kampung yang tidak ada hubungannya. Juga, kadang terkesan mereda, walaupun pasti belum akan selesai. Jalan cerita sedang masuk ke ruang-ruang khusus. Skenario baru sedang diformulasikan.
Pertanyaannya, dalam skenario yang pecah ini, siapa yang punya peluang “mengendalikan” untuk membawa kembali ke dalam skenario awal. Tentu mereka yang memiliki kendali atas aparat bersenjata. Ini kekuatan yang bagaimana pun akan sulit dilawan. Kalau toh dilawan, tentu akan memakan korban yang sangat besar.
Namun, petinggi pemegang kendali aparat bersenjata pun bisa dibeli dalam berbagai cara, termasuk janji-janji yang menggiurkan. Yah, namanya juga manusia.
Persoalannya, apakah kontestasi skenario ini akan berefek dan menguntungkan rakyat? Kalau belajar sejarah, kayaknya bakal tidak.
Kurang apa peristiwa Mei 1998. Toh, akhirnya rakyat kembali tersungkur, miskin, dan terinjak. Bahkan generasi politisi baru bermunculan dengan polah yang nggilani dan hanya pintar berjoget sambil tersenyum manis. Padahal, dibalik itu, diam-diam duit rakyat Indonesia dicolong.
Sambil ngungun, dan sisa kopi yang mulai dingin, dengan rasa frustrasi aku pun berkata lirih. “Oh ya, jangan lupa, Tuhan juga Maha Berkendak. Kita tidak tahu apa skenario-Nya.”
Advertisement