Oleh: Sobirin Malian
(Dosen Magister Hukum UAD Yogyakarta)
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah akan dilaksanakan secara terpisah mulai 2029 memicu kontroversi. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah putusan tersebut sejalan dengan konstitusi ? Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 22 E ayat (1) dan (2) mengatur tentang pemilihan umum. Ayat (1) menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Ayat (2) menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Putusan MK yang memerintahkan pemisahan antara Pemilihan Umum dan Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah jelas bertentangan dengan Pasal 22E tersebut terutama poin bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Penambahan dua (2) tahun sebagai adaptasi – sehingga nanti dapat serempak jelas menimbulkan masalah karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) dan (2) tersebut sekaligus menjadi sulit dilaksanakan karena untuk pelaksanaannya memerlukan anggaran yang juga memiliki aturan tersendiri.
Dalam asas undang-undang diantaranya mengatur tentang Asas “dapat dilaksanakan” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Putusan MK tersebut). Asas ini jika dicermati mengacu pada prinsip bahwa setiap peraturan yang dibuat harus mempertimbangkan efektivitasnya dalam masyarakat, baik dari sudut pandang filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Ini berarti peraturan tersebut harus realistis dan memungkinkan untuk diterapkan dalam praktik. Permasalahannya, mungkinkah Putusan MK tersebut dapat dilaksanakan?, misalnya terkait anggaran. Bukankah anggaran dibuat untuk masa 5 tahun, lalu darimana anggaran tambahan dua tahun dapat dianggarkan. Jika hal ini tetap dipaksakan tentu tidak taat dengan asas “dapat dilaksanakan” karena anggaran untuk dua tahun itu tidak bisa diambilkan begitu saja karena bertentangan dengan bahwa “Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun” (Pasal 22E ayat (1). Penambahan dua tahun otomatis bagi anggota DPRD__seperti Putusan MK tersebut, itu pun tidak sejalan dengan bunyi Pasal 22E ayat (1) dan (2). Penetapan otomatis dua (2) tahun itu pun tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang intinya mengakomodir suara rakyat. Dua tahun penambahan masa jabatan itu__mewakili aspirasi dan kepentingan siapa? Penambahan masa jabatan dua tahun itu yang jelas adalah pelanggaran konstitusi atau pelanggaran prinsip-prinsip hukum.
Penambahan Masa Jabatan Inkonsisten dengen Putusan MK itu sendiri
Penambahan masa jabatan pejabat yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) disebut sebagai inkonstitusional. Istilah ini merujuk pada tindakan atau peraturan yang tidak sesuai dengan konstitusi atau undang-undang dasar yang berlaku. Dalam konteks hukum, inkonstitusionalitas dapat menjadi dasar untuk mengajukan gugatan atau permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta putusan apakah suatu peraturan atau tindakan tersebut sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Selain itu, penambahan masa jabatan yang tidak sesuai dengan UU juga dapat disebut sebagai pelanggaran konstitusi atau pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum. Hal ini karena tindakan tersebut melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam konstitusi atau undang-undang yang lebih tinggi.
Contoh kasus penambahan masa jabatan yang bertentangan dengan UU adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan peraturan tersebut melalui Putusan Nomor 92/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa Pasal 118 huruf E Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Dari kasus Putusan MK ini sangat jelas, bahwa MK inkonsisten dengan putusan yang pernah dia buat sendiri. Lembaga peradilan yang inkonsistensi dengan putusan sendiri dapat disebut sebagai inkonsistensi yurisprudensi. Istilah ini merujuk pada ketidakkonsistenan dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan, baik dalam kasus yang serupa atau dalam penerapan hukum yang sama.
Selain itu, inkonsistensi ini juga dapat disebut sebagai inkoheren atau ketidakkonsistenan putusan. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Lembaga peradilan seperti MK yang inkonsistensi dengan putusan sendiri dapat disebut sebagai inkonsistensi yurisprudensi. Istilah ini merujuk pada ketidakkonsistenan dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan, baik dalam kasus yang serupa atau dalam penerapan hukum yang sama.
Selain itu, inkonsistensi ini juga dapat disebut sebagai inkoheren atau ketidakkonsistenan putusan. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Contoh inkonsistensi yurisprudensi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti:
(1) Putusan yang berbeda dalam kasus yang serupa dengan fakta yang sama. (2) Penerapan hukum yang tidak konsisten dalam kasus-kasus yang memiliki karakteristik yang sama. (3) Perubahan mendadak dalam pendekatan atau interpretasi hukum tanpa alasan yang jelas.
Putusan lembaga peradilan yang inkonsistensi dapat memiliki preseden buruk yang disebut sebagai judicial inconsistency atau ketidakkonsistenan putusan. Hal ini dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti:
– Ketidakpastian hukum: Putusan yang inkonsistensi dapat membuat masyarakat sulit memprediksi bagaimana hukum akan diterapkan dalam kasus-kasus serupa di masa depan.
– Kurangnya kepercayaan: Inkonsistensi putusan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan sistem hukum secara keseluruhan.
– Ketidakadilan: Putusan yang inkonsistensi dapat menyebabkan ketidakadilan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus serupa.
Preseden buruk yang dihasilkan dari putusan lembaga peradilan yang inkonsistensi dapat berdampak luas, seperti:
– Meningkatkan disparitas putusan: Inkonsistensi putusan dapat meningkatkan disparitas dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan, sehingga memperburuk ketidakpastian hukum.
– Menghambat perkembangan hukum: Inkonsistensi putusan dapat menghambat perkembangan hukum yang konsisten dan efektif, sehingga membuat sistem hukum kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
– Meningkatkan biaya litigasi: Inkonsistensi putusan dapat meningkatkan biaya litigasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus serupa, karena mereka mungkin perlu mengajukan banding atau melakukan upaya lain untuk mencapai keadilan.
Lembaga Peradilan “Bermain Politik”
Dalam interpretasi lain bisa jadi MK tengah bermain politik yang telah keluar dari koridor sebagai lembaga peradilan. Banyak pihak mencurigai putusan itu mengandung “muatan politik”.
Penting diingat, jika lembaga peradilan telah bermain politik dengan memutus suatu perkara menyesuaikan dengan kemauan rezim, maka hal ini dapat disebut sebagai “judicial politicization” atau “politisasi lembaga peradilan”. Dalam situasi seperti ini, lembaga peradilan tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum yang independen dan imparsial, tetapi lebih sebagai alat untuk melayani kepentingan politik rezim yang berkuasa.
Politisasi lembaga peradilan dapat memiliki dampak negatif yang signifikan, seperti menimbulkan (1) Erosi kepercayaan masyarakat; ketika lembaga peradilan dianggap sebagai alat politik, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut dapat menurun drastis. Ini yang dialami oleh masyarakat terhadap MK saat ini. (2) Ketidakadilan: Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan yang telah dipolitisi dapat menyebabkan ketidakadilan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. (3) Penghancuran supremasi hukum; politisasi lembaga peradilan dapat menghancurkan supremasi hukum dan membuat sistem hukum menjadi tidak efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan.
Dalam situasi seperti ini, masihkah MK dapat disebut sebagai The Bodyguard of Constitution (penerjemah konstitusi). Penting bagi masyarakat untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari lembaga peradilan seperti MK, serta memastikan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum yang independen dan imparsial.