Oleh: Radic Kalimanjaro
Di negeri ini, mahasiswa diajarkan bahwa kritik harus disampaikan dengan sopan, penuh tata krama, dan tidak boleh melukai perasaan penguasa. Mereka diminta berdialog, meskipun suara mereka sering diabaikan.
Namun, ketika mereka turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI, dan nanti RUU Polri, yang mereka hadapi bukanlah diskusi rasional, melainkan pentungan, gas air mata, dan represifitas aparat.
Ironisnya, pemerintah yang menuntut sopan santun justru menanggapi kritik dengan brutalitas. Mahasiswa yang menginginkan demokrasi justru dijawab dengan tindakan otoriter.
Mereka yang turun ke jalan karena peduli pada nasib bangsa justru dituding sebagai perusuh. Seakan-akan keadilan hanya berpihak pada mereka yang berkuasa, sementara rakyat kecil hanya boleh tunduk dan menerima nasib.
Apakah wajar jika rakyat harus berbicara lembut kepada penguasa yang gagal mengelola negara? Haruskah mahasiswa menahan diri sementara aparat tanpa ragu mengayunkan pentungan? Jika kritik yang santun diabaikan dan protes dijawab dengan kekerasan, maka jangan salahkan mahasiswa jika kelak mereka menemukan cara yang lebih keras untuk bersuara.
photo : simantab.com