Oleh: Agus Wahid
Cukup responsif. Itulah reaksi Jend. (purn.) Tyasno Sudarto, Gusti Bendoro, Prof. Rachmat Wahab, Prof. Sudjito Atmorejo dan Prof. Sofian Effendi, pasca mantan Rektor UGM itu mencabut pernyataannya di ranah publik tentang status kuliah Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM yang hanya dua tahun. Berarti tidak memilik ijazah dari Kampus Biru itu.
Pernyataan seorang akademisi tertayang di youtube beberapa hari lalu langsung viral. Juga, langsung menggerakkan reaksi antagonis dari elemen yang merasa tertelanjangi. Gerombolan Jokower yang mengatasnamakan Jokowi Lover – seperti yang terviral di media sosial (medsos) – mendesak Prof. Dr. Sofian Effendi untuk mencabut pernyataannya.
Benarkah ada tekanan? Wallahu`alam. Tapi, akal normal menduga kuat adanya tekanan itu. Bahkan, menyimak pernyataan Eric Tohir yang viral juga di medsos, dirinya menyebut kasus penghilangan nyawa secara paksa terhadap 6 lasykar FPI pada 7 Desember 2020, sekitar jam 01:30. Apa maksud menyebutkan nasib 6 lasykar FPI? Apakah, pernyataan Eric Tohir merupakan sinyal ancaman terhadap Sofian Effendi? Bukan tak mungkin. Logika waras sulit dikelabuhi.
Dalam kontek itulah Maklumat Yogyakarta (MY) merupakan jawaban atas dugaan tekanan psikologis dan kemungkinan ancaman fisik. MY yang dikomandani Jend. (purn.) Tyasno – harus kita catat – merupakan dukungan moril terhadap Sofian Effendi, bahkan lebih dari itu. Jika kondisi memaksa, apa boleh buat, gerakan Tyasno Cs. Akan menggema di seluruh Yogyakarta, bahkan daerah lainnya.
Why? Karena substansi gerakannya membela sosok Sofian Effendi yang menyuarakan kebenaran. Dan tokoh militer seperti Tyasno terpanggil kesadarannya untuk bersama-sama memperjuangkan nilai kebenaran yang lagi dirobek-robek secara sistemik oleh “raja Solo” dan gerombolannya.
Seorang seperti Jend. (purn.) Tyasno mencatat jelas, ulah pembohongannya yang dilakukan selama ini bukan hanya persoalan pendidikan, tapi juga mendestruksi landasan filosofis negara (Pancasila dan konstitusi dan produk perundang-undangan lainnya). UUD 1945 hanya “cashing”. Substansi idealistiknya telah dirobek-robek oleh lahirnya UUD 2002. Maka, pembungkaman terhadap pernyataan Sofian Effendi merupakan kulminasi kemarahan dan itu dijadikan pintu masuk untuk bersikap ekstra keras.
Pembongkaran data ala Sofian Effendi terkait Jokowi merupakan keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Dan keberpihakan itu merupakan tindakan nyata menghadapi gaya dan tindakan sistematis dan sistemik pembungkaman. Sebuah tindakan yang melawan fitrah dan hak asasi manusia, apalagi sistem demokrasi dan konstitusi kita yang menjamin kebebasan berbicara atau berpendapat (Pasal 28 UUD 1945).
Tokoh seperti Jend. Tyasno dan kawan-kawannya semakin terpanggil untuk menghadapi pembungkaman, karena telah menimbulkan banyak korban. Tidak hanya kriminalisasi, tapi juga pencabutan nyawa secara paksa dan biadab. Haruskah bangsa yang berada di sebuah negara merdeka ini tetap dalam kerangkeng pembungkaman? No. Tak bisa dibiarkan pembungkaman sistemik, meski dibarengi kekuatan “algojo” dari aparat keamanan.
Muncul pertanyaan secara mendasar (filosofis), apakah yang disampaikan Sofian Effendi bahkan Rismon Sianipar, Roy Suryo, dr. Tifa, Eggy Sujana dan Bambang selama ini tentang ijazah absurd Jokowi merupakan kebenaran yang pasti benar?
Dalam perspektif hukum, kebenaran akan dinilai sah sebagai kebenaran jika telah melalui proses hukum di pegadilan. Itulah kebenaran materiil. Pandangan ini perlu dikoreksi. Sebab, manusia yang sehat akalnya, insya Allah dapat berfikir jernih dan bisa menilai. Sisi lain, kebenaran materiil bisa dijadikan pegangan jika penegak hukum benar-benar berintegritas, sehat akal dan nuraninya.
Sementara, fakta bicara, dunia penegakan hukum di Tanah Air terseok-seok. Para penegak hukum yang berintegritas, sehat akal dan bernurani sering berghadapan arus besar yang membelokkannya. Dan tak sedikit di antara mereka “kalah”. Karena tergoda rayuan kompensasional, fasilitas yang wow, atau bahkan ancaman penguasa yang super bengis.
Kondisi faktual itu, bagaimana mungkin akan tercapai kebenaran materiil lalu dijadikan standar kebenaran? Sulit, kecuali penegak hukum yang memang telah berikrar sebagai “wakil” Allah dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Sayangnya, kian langka prototif penegak hukum yang pemberani dan sadar dengan posisinya, meski nyawa taruhannya.
Kondisi obyektif tentang pembelokan produk putusan hakim menimbulkan adagium adanya dan kian eksisnya “industri hukum”. Sedari awal, ketentuan hukum bisa dimainkan: mau bebas murni, ringan hukumannya atau sebaliknya. Semua tergantung permintaan dan bisa diatur. Dan itu berlaku prinsip “wani piro”. Atau, sang penguasa minta putusan yang seperti apa. Dan itu harus dilaksanakan.
Mencermati irama permainan hukum, kebenaran materiil tidak bisa dijadikan rujukan sebagai standar kebenaran hakiki atau obyektif. Dalam perspektif Islam, kebenaran hakiki atau absolut hanya dari Allah. Sementara, kebenaran yang diproduksi umat manusia bersifat relatif. Inilah refleksi dari sebuah matan hadits, “Al-insaan yahkumu bi adz-dzaahir. Allaahu yahkumu bi al-haqiiqi”.
Meski demikian, sosok manusia yang bertugas sebagai penegak hukum (hakim) – dengan mendasarkan sejumlah alat bukti yang meyakinkan dan steril dari nafsu al-ammaarah dan nafsu al-lawwaamah, ia bisa diharapkan putusannya yang mendekati kebenaran absolut, tidak lagi relatif. Keimanan dan ketakwaannya akan membimbingnya dalam proses hukum yang benar, adil dan jujur.
Dalam kaitan itu, Sofian Effendi, Rismon Sianipar, Roy Suryo, dr. Tifa, Eggy Sujana, Gus Nur dan Bambang Tri bisa diharapkan dalam memperjuangkan produk kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan dunia-akhirat. Landasannya – secara personal – mereka tak punya kepentingan pragmatis. Mereka hanya menuntut kejujuran dan kebenaran mutlak tanpa rekayasa. Tuntutan itu sejalan dengan dampak destuktifnya bagi kepentingan anak-bangsa dan negara.
Memang, Jokowi telah tiada di singgasana. Tapi, membiarkan kebohongan yang demikian terencana dan sistematis akan menjadi preseden buruk bagi entitas bangsa dan negeri ini. Dimensinya adalah perbaikan ke depan. Itulah urgensi ijazah Jokowi harus dikuak sampai terang-benderang. Agar tak tumbuh lagi rekayasa jahat yang bersifat manipulatif.
Misi itulah yang membuat Jend. (purn.) Tyasno Cs. bahkan para purnawirawan dan elemen sipil lainnya demikian terpanggil untuk menghadirkan kebenaran hakiki, meski dalam spektrum kerja manusia. Dan hal ini menjadi panggilan suci para penegak hukum, di level kepolisian, kejaksaan, pengadilan bahkan para lawyer. Sebuah pertanyaan mendasar masih adakah dan seberapa besar jumlah mereka yang masih committed atau sejalan dengan slogan hukum ideal, yaitu menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan keadilan?
Tentu saja ada, meski terbatas. Harapan umat manusia, mereka yang berjumlah terbatas itu mampu menunjukkan jatidiri secara heroik. Tak kenal menyerah hanya karena tekanan atau ancaman, apalagi rayuan materi. Para penegak hukum Yang Mulia ini bukan hanya sebutan atau panggilan profesi. Allah juga memuliakan mereka. Dan imbalannya jelas: al-jannah. Itulah imbalan kepada para penegak hukum, yang mengetahui kebenaran dan menerapkan hukum berdasarkan prinsip kebenaran. Maasyaa Allaah.
Sebuah refleksi penting untuk dicatat, siapapun yang memperjuangkan prinsip kebenaran dan prinsip lainnya seperti kejujuran dan keadilan – insya Allah – masuk dalam golongan seperti yang dinikmati para penegak hukum itu. Al-jannah adalah imbalan yang tepat dan pantas bagi para pembela nilai-nilai ilahiyah dan nubuwwah. Aamiin. Insyaa Allah, Maklumat Yogyakarta juga menjadi catatan amaliah perjuangan. Karena perlawaannya terhadap pembungkaman itu sejatinya mewujudkan misi besar kebenaran dan kejujuran serta tegaknya keadilan.
Bravo Jend. (purn.) Tyasno Sudarto, Gusti Bendoro, Prof. Rachmat Wahab, Prof. Sudjito Atmorejo dan Prof. Sofian Effendi. Juga, bravo untuk Eggy Sujana, Roy Suryo, dr. Tifa, Rismon Sianipar, Gus Nur, Bambang Tri dan sejumlah pejuang kebenaran lainnya dari berbagai komunitas yang kian tak terhitung jumlahnya. Para mujahidin dan mujahidat layak dapat reward dari sang Maha Digdaya, Pemilik jagad raya ini, meski tidak harus di alam fana ini. Aamiin yaa Rabbal `aalamiin….
Bekasi, 18 Juli 2025
Penulis: analis politik
Foto: swarajombang.com