Oleh : Habib Jansen Boediantono

Belajar dari bagaimana Bung Karno melahirkan Nasakom, maka dengan menempatkan Pancasila sebagai philosofische groondslag, manusia Indonesia (apapun agama serta keyakinannya) dituntut menghormati segala perbedaan sebagai Sunnatullah, bahkan pada ide dan gagasan yang anti Pancasila itu sendiri.

Tulisan ini akan menanggapi kelompok yang sering mengklaim diri paling Pancasilais dan selalu berupaya meniadakan kelompok lainnya yang berbeda, melalui hukum laplace dalam ilmu aljabar.

Sebagai filsafat yang lahir dari budaya semak belukar, Pancasila merupakan upaya sebuah bangsa memahami akar keragaman pada ruang konkrit dan menjadi suatu pola berpikir yang bergerak mengikuti hukum-hukum kesemestaan (Sunnatullah), cara hidup serta pandangan dunia yang filantrofis. Dengan demikian Pancasila membangun kesadaran manusia akan pentingnya keharmonisan dalam interaksi sosial, keselarasan dalam keragaman tradisi, persaudaraan di tengah perbedaan, sehingga membuat Ikatan-ikatan primodial yang ada terjalin sebagai konstitutif dari keberadaan sebuah bangsa.

Karakteristik tersebut pada gilirannya nanti akan membentuk pola berpikir yang mendekatkan kebenaran relatif pada kebenaran absolut. Agar bisa mendapatkan kebenaran yang pasti, tetap dan bisa diterima semua pihak di balik yang tersembunyi pada Pancasila, tak ada pilihan kecuali memahami Pancasila melalui ilmu yang pasti bukan dengan logika miring ‘ilmu kira-kira’.

Dengan sifatnya yang Maha Adil maka sesungguhnya Tuhan merupakan dzat yang memberikan keseimbangan alam semesta. Oleh karena itu sila pertama Pancasila menempatkan Tuhan pada titik keseimbangan 0.0 sehingga bila membentuk tangen 45 derajat. Kita menyebutnya sebagai Maha Sempurna.

Posisinya pada titik 0.0 tersebut membangun pengertian Maha Esa pada sila pertama bukan berarti satu, melainkan “WAL AWWALUN WAL AKHIRUN”, tiada berawal dan tiada berakhir. Sifat Maha Esa tersebut barulah bermakna satu ketika mengurangi 100 nama Tuhan menjadi 99 (Asmaul Husna) seperti yang umumnya orang ketahui. Dan kita mengucapkan sifat Tuhan tersebut dengan lafaz, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” : Tuhan adalah attitude waktu.

Pemahaman sila pertama tersebut dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi pengikat bangsa Indonesia di tengah begitu banyak perbedaan : Keyakinan pada Tuhan yang sama, yaitu Tuhan yang tidak berawal dan tidak berakhir serta kesadaran yang sama akan adanya keterlibatan Tuhan di setiap waktu kehidupan. Keyakinan dan kesadaran tersebutlah yang mengikat kita sebagai sebuah bangsa. Inilah makna Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.

Adanya keterlibatan Tuhan dalam kehidupan mengakibatkan keadilan berada antara keragaman sebagai Sunnatullah dengan kemanusiaan sebagai produk peradaban. Dengan demikian makna keadilan dalam Pancasila merupakan keseimbangan alam semesta seperti yang ditetapkan Tuhan sebagai Sunnatullah. Oleh karena itu manusia yang adil adalah manusia yang mampu menjaga keragaman dengan tidak menghilangkan perbedaan.

Mengingat posisinya pada titik keseimbangan maka keadilan sangat menentukan ke arah mana perjalanan bangsa Indonesia. Untuk itu dalam memahami perbedaan kelompok-kelompok masyarakat harus berhati-hati sebab bila salah langkah akan membuat kondisi kebangsaan dalam keadaan berbahaya dan itu sangat bergantung pada niat. Apabila niatnya baik untuk bersikap adil maka pergerakan bangsa akan menuju kutub positif. Bangsa ini akan menjadi contoh bagaimana membangun keharmonisan dalam keragaman sebagai simbol dari peradaban baru manusia. Tapi sebaliknya, bila niatnya buruk tentu saja akan membuat perjalanan bangsa ke arah kutub negatif. Dan yang akan terjadi pun sudah bisa kita bayangkan.

Tulisan ini hendak mengingatkan para ‘mualaf Pancasila’ agar berlaku adil. “……. Janganlah karena kebencian kamu pada suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena adil lebih dekat pada taqwa …… (Al-Ma’idah : 8).

picsource: kompasiana

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar