CERPEN
oleh: Ishak Rafick
Kaum Paria adalah bagian dari rakyat yang biasa diabaikan. Hak-hak mereka tak pernah diberikan. Mungkin karena dianggap tak ada. Mereka nrimo sambil mencari celah buat bertahan. Pada tanggal 13 Oktober 2019 tanpa setahu siapapun mereka berkumpul di Monas, Jakarta. Ada apa? Manifesto.
Ini mungkin Manifesto Politik paling aneh di dunia. Mungkin juga bisa disebut sebagai keajaiban dunia ke delapan.
Betapa tidak! Pesertanya cuma 74 orang, berpakaian lusuh dan dekil pula. Mereka datang dari 34 provinsi mewakili Barisan Pemulung Pengangguran Pengemis dan Pengamen Jalanan Seluruh Indonesia (BP4JSI) yang dipimpin Toro.
Agar tak tertukar dengan pengemis, pemulung, pengangguran, dan pengamen yang lagi dinas di jalan-jalan Jakarta, maka Toro telah menetapkan semacam dress code: utusan boleh berpakaian model apa saja. Bahkan telanjang dada dan telanjang paha pun boleh. Yang dilarang cuma memakai gamis, kerah shanghai, celana cingkrang, dan cadar baik karena alasan kesehatan maupun agama. Namun apapun pilihannya, kecuali yang dilarang tersebut utusan diwajibkan menempelkan secarik batik di lengan kanan atau jidat.
Tak tampak adanya upaya menarik perhatian publik untuk acara manifesto itu. Padahal mereka telah berada di tengah ratusan ribu massa pejalan kaki, yang sedang asyik berjalan santai memenuhi jl. Sudirman, Thamrin, Monas, dan Merdeka Barat. Maklum itu hari minggu, 13 oktober 2019, hari bebas kendaraan. Istilah kerennya ‘car free day.’
Mulanya barisan dekil dan lusuh tersebut memang berada di tengah kerumunan massa yang ribuan itu. Mereka melakukan pelbagai atraksi teatrikal menarik. Dua orang bertopeng semar dan petruk diarak diatas bande berbentuk lembu merah. Di kiri kanan muka belakang ada 4 orang kerempeng bertelanjang dada dengan ikat kepala hitam bertuliskan NUSANTARA BANGKIT.
Si Semar berkaos oblong putih dengan tulisan AKTIPIS di dada kiri. Dia berdiri di atas punggung lembu sambil melakukan atraksi sulap. Dia menjulurkan lidahnya yang panjang dan merah menjilat besi. Lalu dia memotong lidah itu dengan gunting rumput. Dek… Lidah itu terpotong. Darah membasahi kaos putihnya. Potongan lidahnya jatuh ke bawah, menggelepar seperti ikan. Penonton sesak nafas. Ibu-ibu menjerit ngeri. Namun semar tetap tersenyum. Lidahnya tumbuh lagi, terjulur panjang, dan dipotong lagi. Puluhan orang terpaksa duduk di trotoir di depan kementerian agama karena mual dan muntah-muntah. Beberapa orang ibu kejang-kejang. Beberapa lagi semaput. Tapi arak-arakan itu jalan terus kearah Monas.
Lalu seseorang berpakaian adat Batak berjalan patah-patah. Dengan mata mendelik dia mengelilingi arak-arakan tersebut sambil membawa poster bertuliskan BUBARKAN PARPOL. Disusul orang berperawakan kecil ringkih membawa poster: INDONESIA CUKUP SATU PARTAI SAJAH!
Gendang ditabuh. Trompet ditiup. Orang-orang berteriak histeris. Semar petruk diarak berputar di prapatan Bank Syariah Mandiri. 9 orang kurus membentuk saf sambil masing-masing mengangkat poster setinggi dada bertuliskan dari kiri ke kanan: membangun Islam Nusantara, Katholik Nusantara, Kresten Nusantara, Hindu Nusantara, budha Nusantara, konghucu Nusantara, komunis Nusantara, liberal Nusantara, dan ganyang radikalisme.
Sementara di belakang semar yang sibuk memotong-motong lidahnya itu, petruk berdiri dengan kaos oblong merah kuning bertuliskan MARHAEN FOR CAPITALISM. Di punggungnya ada tulisan dengan spidol: TAK BISA JADI JURAGAN, KOELIPUN OKE. Petruk menekuk hidungnya kuat-kuat, tapi hidung itu malah memanjang seperti pinokio. Penonton terbelalak. Semar menoleh ke belakang. Lalu memotong hidung ‘PINOKIO’ itu hingga putus. Petruk terjatuh lemas. Para pejalan kaki berhenti melangkah.
Priiiit priiit tiba-tiba terdengar suara sempritan, disusul 3 kali ledakan mercon bantingan. Atraksi dihentikan. Orang-orang berpakaian lusuh dan dekil tersebut memisahkan diri dari keramaian dengan langkah tergesa. Orang ramai cuma bisa memandang takjub. Dari patung kuda mereka belok kanan masuk kawasan monas. Di belakang Pos Polisi mereka menempeli jidat atau lengan kanan dengan sobekan batik. Seorang petugas berseragam polisi mempersilakan mereka masuk di pintu gerbang.
Dengan langkah pasti mereka menuju gundukan berumput hijau, yang dikelilingi pohon-pohon perdu. Soal perawakan tubuh, jangan tanya. Hampir semuanya tampak kurang gizi dan susah.
Namun tak tampak keberatan ataupun protes di wajah mereka atas nasib mereka yang buruk di alam merdeka. Yang tampak justru semangat mereka, seperti orang-orang yang ingin melakukan suatu yang besar buat bangsa dan negara. Di tangan mereka masing-masing ada selembar kertas digulung. Selidik punya selidik ternyata lembaran itu berisi 5 poin pernyataan, yang diberi judul MANIFESTO POLITIK MONAS.
Jelas tak etis menanyakan kenapa tak dibacakan di bunderan HI, atau di patung kuda, atau di atas mobil komando. Sebab nampaknya manifesto tersebut telah lama dirancang.
Rasanya pun tak elok membandingkan hajatan mereka, yang konon datang dari 34 provinsi ini, dengan manifesto politik pada 30 april 2004 yang dilakukan tokoh-tokoh besar nasional dan aliansi parpol gurem yang tak masuk electoral threshold. Tokoh-tokoh tersebut waktu itu antara lain Adi Sasono, Rahmawati Soekarnoputri, Erros Djarot, Prof. Ryaas Rasyid, Dr. Syahrir, Muchtar Pakpahan dll. Juga tak bisa dibandingkan dengan hajatan serupa, yang dilakukan kaum buruh pada 1 mei 2013 di tugu proklamasi.
Yang pertama, yang diteken tokoh-teken besar nasional – direstui Ketua Dewan Syuro PKB waktu itu Abdurrahman Wahid (mantan presiden yang dimakzulkan untuk diganti dengan Megawati). Salah satu manifestonya membentuk kepemimpinan nasional alternatif, yang akan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Sedangkan yang kedua merupakan manifesto kaum buruh, antara lain menyatakan tidak akan memilih parpol-parpol, yang menjadi perpanjangan tangan kaum kapitalis. Kedua hajatan besar dan gegap gempita tersebut akhirnya terbukti gagal total.
Bahkan pada pemilu 2019 terbukti bahwa kaum kapitalis Nekolim justru menguasai hampir separuh parlemen. Berita utama Koran Tempo (Rabu, 021019) mencatat dari sekitar 575 anggota DPR, 262 orang merupakan pengusaha atau politikus pebisnis. Jadi 45,5 persen dari anggota dewan 2019 – 2024 adalah politikus pebisnis. Mereka terafiliasi dengan 1.016 perusahaan. Istilahnya generasi Z korporasi. Kondisi ini seakan membenarkan pandangan ILUNI UI, bahwa telah terjadi anomali di parlemen, yaitu sang penindas mewakili si tertindas atas restu parpol, pemerintah, dan DPR. Apa jadinya negeri ini bila politisi pebisnis tersebut nantinya membentuk fraksi sendiri? Angka-angka tersebut sekaligus membuktikan bahwa para pengusaha ini sangat piawai bermain di ranah politik. Aktivis, apalagi rakyat kecil, tertinggal jauh.
Kehadiran para pengusaha ini pada gilirannya membuat pemilu dan pencalonan (anggota dpr, dpada, dprd, walikota, bupati, gubernur, presiden, bahkan lurah) menjadi mahal. Dan oleh karena itu kesuksesan mereka ditentukan oleh cukong. Akibatnya ketua-ketua parpol berani menyingkirkan kadernya sendiri dan aktivis dari pencalonan untuk diganti dengan pengusaha atau anak-anak pengusaha yang membawa duit banyak. Di sanalah bibit korupsi. Pada gilirannya ini merusak tatanan negara. Sekaligus memuluskan jalan menuju kolaborasi antara pemerintah dan DPR yang dalam politik kenegaraan haram.
Oposisi secara esensial mati terpanggang di sana. Bahkan justru diplot menjadi barang haram atas tekanan parpol koalisi, operasi intelijen, dan BUZZERRP. Medmas arus utama, yang dikuasai pengusaha, ikut hangus. Pengusaha esbagai cukong seolah melakukan poligami dengan pemerintah, wakil rakyat, aparat hukum dan keamanan, intelijen, BUZZERRP, dan medmas. Si cukong jadi suami untuk semua, sekaligus mengendalikan semua.
Dalam tataran praktis politisi pebisnis pun menjelma menjadi unsur pencair paling efektif antara dewan dan agenda-agenda neoliberalisme di pemerintahan yang diarahkan oleh lembaga-lembaga superkuasa seperti IMF, WB, WTO, negara-negara kreditor, dan investor. Perlawanan setengah hati tentu takkan sanggup membelokkan arus, yang mendorong Indonesia ke jurang kolonialisme model baru tersebut.
Di zaman orla saat pemerintah Soekarno berada dalam dominasi PKI, ada juga manifesto. Itulah yang kemudian dikenal sebagai manifesto kebudayaan. Manikebu diteken oleh para seniman nasionalis pada 17 agustus 1963. Mereka antara lain HB Jassin, Gerson Poyk, Bur Rusuanto, Taufiq ismail, Rendra, Zaini, Bokor Hutasuhud, Goenawan Mohamad, dkk. Sebagian besar manifesto tersebut merupakan reaksi dari kelakuan Lekra yang meresahkan. Namun manikebu akhirnya dilarang Soekarno. Keadaan kemudian berbalik. Ini dipicu oleh peristiwa pengkhianatan G 30 S/PKI yang gagal pada 1965 dan memakan banyak korban (ulama, ustaz, tokoh-tokoh masyaraka hindu, budha, kristen, katholik, dll. Juga aktivis kampus dan luar kampus, serta tokoh-tokoh TNI). Rezim Soekarno dijatuhkan oleh gerakan pemuda, pelajar, dan mahasiswa (KAPPI, KAMI) yang didukung tentara. PKI menjadi partai terlarang.
Begitulah hari itu jarum jam menunjukkan pk 11.00 orang-orang dekil tersebut langsung duduk mengelilingi gundukan tanah berumput hijau, yang dikelilingi pepohonan. Nampaknya akan ada hajatan super penting.
Benar saja. Toro, yang berperawakan kurus ceking menaiki gundukan. Sepintas dia mirip mantan selebritis Him Damsik. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeling gundukan seperti menghitung hadirin dengan jidat berkerut. “74,” gumamnya. Toh masih banyak yang belum masuk hitungan. Seorang panitia bernama bejo mendekatinya. “Semuanya sudah hadir bos. Masing2 dua orang dr 34 provinsi, plus panitia 6 orang. Jd 74 orang,” lapor pengamen berkaos hitam dekil itu. “Tambahan dari jakarta lumayan banyak bos: 17 loper, 8 alumni perguruan tinggi, dan 45 dari jaringan aktivis Islam generasi autis (JAIGA),” imbuhnya. “Oke kita mulai sajha!” bisik him damsik. Dia pun turun dan berdiri di sisi kiri gundukan dibawah pohon perdu.
Tiba-tiba dua orang berpakain Brimob melintas pelan dengan sepeda motor trail seperti melakukan inspeksi. “Memble aje!” terdengar teriakan dari arah peserta sekitar gundukan. Trail berhenti mendadak. Kedua pria kekar itu berjalan cepat naik kegundukan dengan senjata M16 di tangan. Dia menatap wajah-wajah kurang gizi disekliling gundukan, yang langsung tengkurap sambil menutup telinga. Sebagian beringsut ke balik pohon. Semua kini gemetaran.
Toro dkk merasa ajalnya sudah dekat. Malaikat maut berseragam Brimob berdiri garang di depan mereka. Mereka ingat demonstran yang ditembak mati pada 21, 22 mei 2019 karena protes pilpres curang. Tapi kini mereka tidak sedang berdemo. Mereka adalah kumpulan orang-orang NERIMO. Tidak menuntut apapun. Masa harus mati juga? Sambil memejamkan mata Toro berdoa dalam hati semoga kematiannya demi bangsa ini, yang tak diketahui 2 orang bersenjata sialan ini, diterima sebagai mati syahid.
“Biar memble! Yang penting kece!” Suara dua brimob itu menggelegar memecah kesunyian. Lalu melenggang menuju trail mereka dan menghilang.
Beberapa orang panitia meniup trompet. Preeet. Para peserta segera berdiri dan tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Toro yang sempat pingsan ikut tertawa ngakak. “Weleh weleh weleeeh gak jadi mati aku,” teriaknya gembira yang disambut tiupan trompet dan tabuhan gendang.
Tanpa basa basi dan protokoler njelimet, acara pun dimulai dengan lagu padamu negeri. Lalu sambutan yang punya hajat, yaitu Ketua Jaringan Aktivis dadakan Poros Ketiga (JAPOK) Toro, yang juga Ketua BP4JSI. Dalam sambutannya Toro cuma mengucapkan puji syukur karena gak jadi mati ditembak Brimob di Monas. Juga mengucapkan terimakasih kepada teman-temannya yang telah bekerja keras menyiapkan acara tersebut.
Sebagaimana layknya hajatan resmi, dia juga minta maaf atas segala kekurangannya. “Saudara-saudara senasib saya secara pribadi mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena tak berhasil mendatangkan pak Kowi, KH.M. Amin, KH mustafa bisri, KH Maman Imanulhaq, Musdah Mulia, Kamaruddin Hidayat, Azzumardi Azra, Ade Armando, Ngabalin, Ahog, mas Tito, Opung Luhut Binsar Panjaitan, Hendro Priono, Lukman Hakim, dll. Meskipun kaum intelektual kampus dan aktipis keadilan menganggap orang-orang itu sebagai perusak negara dan membuka pintu gerbang penjajahan baru, bagi saya semuanya merupakan tokoh-tokoh pemberani sepanjang zaman. Mereka adalah para perubah arah sejarah,” tutur Toro berapi-api.
Bejo dan kawan-kawannya pengamen jalanan mulai pusing, tapi segera ikut bertepuk tangan ketika orang-orang bertepuk tangan. “Merekalah yang berjasa meletakkan dasar-dasar Islam Nusantara. Bila keadaan berjalan adem ayem mulus seperti ini, maka saya berharap tahun 2020 Islam Nusantara tidak sendirian lagi. Tapi akan ada pendampingnya, yaitu Kresten Nusantara, Katholik Nusantara, Hindu, Budha, Konghucu, Liberalis dan Komunis Nusantara,” imbuh Toro berapi-api. Hadirin bertepuk tangan. “Demi keharmonisan nantinya tak ada lagi pengkotak-kotakan dalam agama dan ibadah. Semua pemeluk agama-agama tersebut dan agama-agama nenek moyang bisa bersatu dalam harmoni,” tambahnya bersemangat.
“Parpol-parpol, yang pukul rata mirip harimau berbulu domba atau oplet tua, juga tidak akan ada lagi bersamaan dengan punahnya kaum oposisi. Indonesia ke depan tidak butuh oposisi, karena oposisi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945! Oposisi adalah bentuk lain dari radikalisme yang harus dibasmi. Dengan demikian pemerintah dan DPR bisa bergotong royong, bahu membahu membangun negara. Tidak saling melotot, saling curiga. Tidak ada lagi yang sok suci mau mengawasi orang lain,” imbuh Toro yang pernah kuliah di Jogja itu meyakinkan.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan manifesto oleh Cak Mul, ketua pemulung kota surabaya. Konon Cak Mul pernah kuliah sampai semester 5 di sebuah universitas swasta, yang dibubarkan pemerintah Jokowi besama ratusan lainnya pada masa awal kabinet kerja. Berbeda dengan peserta lainnya, Cak Mul berbadan gempal dengan tangan kiri rada ngeplek akibat kecelakaan kerja ditambang bawah tanah Freeport.
“Berdiri semua serunya dan ikuti kulo!” perintahnya lantang. Hadirin berdiri.
MANIFESTO POLITIK MONAS
1. Kami yang tergabung dalam jaringan aktivis dadakan poros ketiga (JAPOK) dengan ini mendukung keputusan MK, yang memenangkan pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wapres untuk periode 2019 – 2024.
2. Kami Barisan Pemulung Pengangguran Pengemis dan Pengamen Jalanan Seluruh Indonesia (JP4JSI), yang tergabung dalam JAPOK, menyatakan bahwa NKRI adalah harga mati, maka segala bentuk oposisi dan rongrongan terhadap kekuasaan pemerintah JKW – MA, akan berhadapan dengan kami.
3. Segala bentuk pengawasan terhadap jalannya pemerintahan harus dilenyapkan, termasuk partai-partai yang berseberangan dengan pemerintah. Sehingga semua parpol menjadi pendukung pemerintah sampai terbentuknya Indonesia Satu Partai.
4. DPR harus menjadi partner pemerintah dalam menyukseskan pembangunan, yang cuma punya wewenang mendukung pemerintah. Bukan mengawasi. Sedang anasir-anasir yang tidak mendukung pemerintah di dalam DPR/MPR, tak peduli dari partai manapun asalnya, harus dicopot oleh partainya dan dimasukkan ke dalam kelompok radikal. Sedang kampus-kampus perguruan tinggi negeri, yang karena kebebasan berpikirnya, cenderung menjadi kelompok kritis dan oposisi, harus diawasi ketat oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan BUZZERRP, agar tidak berkembang menjadi kelompok radikal seperti terungkap dalam berbagai penelitian. Itu menjadi tanggung jawab rektor dan jajarannya, sehingga rektor mesti diangkat oleh presiden. Tidak lagi dipilih oleh senat guru besar.
5. Kami mendukung DPR periode 2014 – 2019, yang telah mengandangkan KPK menjadi lembaga pemerintah biasa. Dengan demikian KPK tidak lagi menjadi lembaga superbodi, yang mengganggu jalannya pembangunan, tetapi menjadi alat pemerintah yang nantinya bisa digunakan untuk melenyapkan oposisi. Oleh karena itu kami juga mendukung Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan perpu pengganti UU KPK yang telah direvisi DPR.
Monas, 13 okt 2019
Tertanda
Toro JAPOK
Acara kemudian ditutup dengan doa dari berbagai agama setelah para peserta menandatangani manifesto tersebut. Di pintu gerbang gulungan kertas manifesto itu kemudian disita petugas keamanan, lalu dititipkan pada truk sampah.
Jakarta, 131019
IR
——
Dari Kumpulan Cerpen Ishak Rafick