Oleh : Hendrajit
Kemarin, ketika asyik membaca buku Joel Balkan, The Corporation, yang membahas kejahatan korporasi dan watak psikopatnya, secara bersamaan saya juga membaca Homo Sapiens dan Homo Deaus-nya Yuval Noah Hariri. Sepintas memang tidak ‘nyambung’ membaca buku yang dari segi topik saja serabutan. Apa boleh buat itu memang penyakit kambuhan saya dalam kebiasaan membaca.
Tapi ternyata ada benang merahnya. Saat saya menelaah kejahatan korporasi-nya Joel Balkan, saya sontak tersadar bahwa korporasi itu bukan sekadar kongsi atau kemitraan beberapa orang berduit lalu membikin badan usaha. Lebih parah dari itu ternyata. Karena pada perkembangannya butuh menggalang dana lebih besar atau ekspansi modal, maka perlu menggalang modal berskala lebih besar.
Lantas di mana masalah peliknya? Karena segelintir orang kaya yang berkongsi itu tidak cukup modalnya untuk ekspansi bisnisnya, maka perlu memperluas kepemilikan modal. Caranya dua. Pertama, merger beberapa perusahaan, entah secara sukarela atau main paksa alias Hostile Takeover. Opsi ini selain kemudian mengarah pada praktik monopoli dan oligopoli, juga memberi ruang pada konglomerat raksasa mencaplok perusahaan-perusahaan menengah dan kecil. Tapi ihwal yang ini saya bahas lain kali saja.
Kedua, mengikutsertakan orang-orang awam sebagai pemilik saham. Inilah karakteristik dari badan usaha berbentuk korporasi. Inilah yang kita kenal sekarang dengan sebutan kepemilikan saham publik. Kelihatannya sih oke banget. Bayangkan sopir bis, perawat rumah sakit, guru, dokter, pada punya saham perusahaan-perusahaan besar walaupun cuma tiga atau empat saham.
Tapi, justru ide terakhir inilah yang membawa bencana. Karena kemudian muncul aturan baru bahwa kepemilikan saham dan manajemen badan usaha harus dipisah. Gagasan ini bukannya menguntungkan para pemilik saham publik yang umumnya dari kelas menengah dan orang awam, tapi menguntungkan konglomerat-konglomerat raksasa macam Rotschild atau Rockefeller kalau ke depannya muncul masalah.
Kenapa? Sebab para pemilik saham dari publik, karena bersifat anonim, dan satu sama lain tidak saling tahu, kalau dirasa ada yang tidak beres dalam mengelola badan usaha, mereka tidak bisa melakukan gerakan terorganisir apalagi merumuskan sikap secara kolektif, lha wong satu sama lain tidak tahu. Sementara para pemegang saham besar setiap saat bisa bikin Rapat Umum Pemegang Saham.
Berarti, para pemilik saham dari kalangan publik ini, posisinya dirugikan. Punya saham tapi tak punya hak suara dan punya posisi lebih kuat daripada manajemen perusahaan. Kedua, kalau perusahaan terjadi bencana atau merugi, para pemilik saham yang jumlahnya tidak seberapa ini, malah ikut mananggung kerugian perusahaan.
Lantas soal Noah Harari, Dalam kedua buku tersebut, Harari meyinggung kisah sukses dari sebuah revolusi seperti di Prancis, Rusia hingga Arab Spring di Mesir. Yang pada intinya sejarawan yang cerdas dan berpikiran tajam ini berkesimpulan: Revolusi bukan digerakkan oleh jutaan massa rakyat, tapi oleh segelintir orang yang berdisiplin dan terorganisir, lantas dalam momen yang tepat mampu berada di tempat dan waktu yang pas.
Tidak salah sih pandangan Harari tersebut. Tapi karena saya sebelumnya tengah khusyuk membaca Joel Balkan tentang korporasi, pandangan Harari tadi malah jadi menguatirkan.
Karena buat saya, yang seharusnya membangun jejaring terorganisir dengan penuh disiplin, selain mengenali masalah-masalah kebangsaan yang sedang melanda negeri, justru massa jutaan atau orang-orang awam tersebut. Bukannya segelintir elit yang berkemampuan untuk menjadikan dirinya jejaring terorganisir dan berdisiplin.
Dalam kasus Arab Spring di Mesir, Harari punya pandangan menarik. Bahwa akhirul kalam, aksi massa di Tahrir Square bukan ditentukan oleh suara jutaan massa yang berkumpul di menara tersebut. Melainkan hanya dua kekuatan yang kebetulan terorganisir dan berdisiplin. Ihwanul Muslimin dan Tentara. Rakyat sendiri yang ada di Tahrir, bukan merupakan buah dari suatu jejaring kerja yang terorganisir dan berdisplin.
Alhasil, hasil akhir Tahrir Square yang membawa kejatuhan Hosni Mobarak, melahirkan pendulum kekuasaan antara Ihwanul Muslimin dan tentara. Terbukti memang. Awalnya Mursi dari IM yang pegang kekuasaan, setelah itu Jendral Al-Sisi yang berkuasa sampai sekarang.
Okelah itu cuma contoh. Yang jadi benang merah dari buku-buku kedua penulis itu, jangan-jangan gambaran yang disampaikan Harari sebetulnya nyambung dengan paparan Joel Balkan tentang watak korporasi.
Bahwa rakyat kebanyakan yang tentunya masuk golongan orang-orang awam atau ordinary people, sedari awal direkayasa agar jangan sampai jadi kekuatan yang terorganisir apalagi mampu membuat keputusan dan sikap bersama/kolektif.
Bukankah sistem politik yang menerapkan sistem multi-partai ala Eropa Barat maupun Sistem Dwi Partai ala Amerika, sejatinya malah ditujukan buat memblokir peran aktif berbagai elemen masyarakat?
Sehingga muncul sebuah ironi demokrasi seperti halnya praktek dalam korporasi: Para pemilik saham tidak berdaulat atas badan usaha yang dimilikinya. Seperti juga rakyat yang sejatinya pemilik saham negara, malah disingkirkan dari proses pengambilan keputusan untuk kepentingan nasional. (p17)