Oleh : Mariana Ulfah

Kalau saya mempertanyakan itu, standingnya adalah sebagai sesama kader, bukan sebagai pendukung paslon. Membela pemikiran sendiri, kata Rocky Gerung. Karena sebelum meyakini sesuatu, manusia butuh proses berpikir. Bahkan Tuhan pun boleh dipertanyakan demi mencari kebenaran.

Belum ada jawaban yang jelas tentang siapa, kapan, dan bagaimana istilah itu muncul. Tidak ada sosialisasi. Misal, untuk menaikkan ghirah, maka sekarang dibuatlah status kader utama. Pertanyaan selanjutnya, kalau memang ada, maka siapa sajakah, dan bagaimana proses untuk bisa menjadi kader utama itu. Karena, semua kader pasti ingin berkontribusi sebanyak-banyaknya dan berlomba menjadi yang utama di persyarikatan.

Pertanyaan ini hendaknya dijawab secara keorganisasian dan objektif. Karena misi persyarikatan adalah untuk mencerahkan umat. Seperti yang juga tercantum dalam undang-undang dasar, mencerdaskan bangsa. Beberapa beranggapan pertanyaan ini sedang mengkritik persyarikatan. Ini justru menjadi pertanyaan lain lagi, apakah persyarikatan antikritik? Apakah konsep egaliter sudah tidak berlaku lagi?

Sarat Kepentingan Politik


Entah siapa yang memunculkan. Tapi, pernah terdengar di sebuah forum “akan ada 3 kader yang maju di pilkada, tapi hanya ada 1 kader utama”. Dari pernyataan ini, ada pengakuan terhadap kader lain yang juga muncul di pilkada. Sayangnya di masa kampanye kader bukan utama dianggap “ngaku-ngaku” sebagai kader. Jadi blunder sendiri. Berarti kita kembali ke pertanyaan paling mendasar, apa saja kriteria yang dibutuhkan disebut kader persyarikatan. Apakah harus bersekolah di persyarikatan, apakah cukup mencetak kartu saja, atau ada uji kelayakan.

Istilah kader utama memang baru muncul di Pilkada 2024. Tidak ada penjelasan yang cukup terhadap istilah ini. Banyak spekulasi soal sarat kepentingan politik. Kenapa hanya di daerah tertentu saja. Dan penjelasannya karena daerah tersebut berbeda dengan daerah lain. Sehingga wajar jika terdapat penolakan di kalangan kader dengan munculnya istilah kader biasa sebagai counter utama.

Ada pernyataan persyarikatan netral, dengan surat resmi dan cap persyarikatan. Namun ada juga yang menyatakan lebih tepatnya independen, bukan netral. Istilah kader utama memang diksi untuk mengarahkan seluruh kader memilih kader tertentu yang disebut utama tadi, pada pilkada 2024. Tidak ada surat arahan resmi dari persyarikatan. Yang beredar hanya pernyataan hasil musyawarah, foto/video tokoh-tokoh representasi persyarikatan. Sehingga pro kontra sejak kapan persyarikatan mengijinkan dan merestui keberpihakannya dalam politik praktis.

Mesin Persyarikatan itu Seksi


Jaringan dari pusat sampai ke ranting di desa dan kelurahan dan kader militan kalau diadopsi menjadi mesin politik betapa dahsyatnya untuk perbaikan politik di Indonesia. Tapi, di level nasional saja tidak ada pernyataan arahan persyarikatan untuk pilih presiden siapa, yang mana, karena netral tadi. Lalu di daerah muncul arahan untuk pilkada. Pertanyaan selanjutnya kenapa tidak munculkan arahan itu di pilpres kemarin? Lalu arahan memilih kader utama tadi untuk apa? Ini blunder yang selanjutnya. Permasalahan yang terjadi adalah ketika ada tuntutan kepada semua kader untuk memilih yang sama atas nama persyarikatan. Kenapa tidak boleh berbeda. Apakah karena kader utama disebut didukung persyarikatan maka semua kader harus patuh. Selama ini kader bebas menentukan pilihan politik, karena prinsip persyarikatan netral dalam politik praktis. Bagaimana dengan kondisi sekarang yang netral tapi berpihak, atau independen tapi berpihak. Jika sesuai dengan konteks perkembangan politik lalu dibutuhkan perubahan dengan ikut serta berpolitik praktis, boleh saja. Yang penting jangan abu-abu, karena yang tidak jelas dalam Islam, baiknya ditinggalkan.

Konteks Pilkada 2024


Pilkada juga merupakan pesta demokrasi yang seharusnya disambut gembira. Menjaga ukhuwah adalah dengan menghargai perbedaan yang ada. Kampanye merupakan ajang promosi kapasitas, kredibilitas dan menunjukkan eksistensi para paslon di hati para pemilih. Idealnya, kader mendukung sesama kader, karena memiliki ideologi yang sama. Tetapi jika bahkan paslon semuanya adalah kader persyarikatan, maka itu menunjukkan keberhasilan kaderisasi mencetak calon-calon pemimpin unggul yang akan mencerahkan dan membawa kesejahteraan umat. Apapun pilihan anda nantinya, kader utama atau kader biasa tetaplah fokus pada kemampuan leadership, integritas dan akhlak pribadinya. Karena dialah yang akan memimpin dan memajukan daerah, bukan orang lain, bukan organisasi, ataupun garis keturunan.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar