Oleh : Ariel Heryanto
Apakah gairah menjadi intelektual sedang melonjak? Siapa saja bisa menjadi intelektual tanpa gelar doktor.
Inilah tonggak baru dalam sejarah akademik di Tanah Air. Pertama kalinya di sepanjang sejarah republik ini martabat universitas digugat berkelanjutan. Perdebatan itu publik, bukan monopoli warga kampus. Yang diperdebatkan bukan segelintir kecil kasus dan skandal.
Tahun lalu harian ini melaporkan ledakan jumlah kasus joki penulisan makalah dan tugas akhir untuk studi bergelar. Lalu ada kontroversi pemberian gelar kehormatan untuk politikus dan pejabat negara. Kemudian tersiar laporan tingginya ranking Indonesia di dunia dalam kasus penerbitan jurnal abal-abal. Belakangan ramai dibahas kasus pemberian gelar doktor kepada seorang menteri negara yang menyelesaikan studinya dalam waktu super-singkat.
Di masa lalu mungkin ada satu atau dua kasus kontroversial di kampus. Juga hari-hari ini di negara lain. Tetapi dulu di Tanah Air dan belakangan di mancanegara kasus begitu langka. Tidak berjumlah besar. Biasanya diselesaikan internal di kampus, bukan dibongkar laporan bersambung dalam media dan dibahas khalayak umum.
Mengapa kini gelar doktor memikat banyak orang? Sebagai pembanding, di Australia yang terjadi sebaliknya. Di sana itu tidak banyak warga lokal terpikat gelar doktor. Peminat program studi pascasarjana mereka kebanyakan mahasiswa asing, termasuk dari Indonesia. Biaya studi para mahasiswa asing ini menjadi satu dari tiga sumber pendapatan terbesar bagi Australia.
Mengapa gelar akademik, apalagi pascasarjana, kurang diminati orang Australia ketimbang Indonesia? Di sana banyak tenaga kerja terampil tanpa ijazah universitas bisa hidup lumayan makmur. Pendapatan mereka beda tipis dari gaji lulusan universitas. Partai Buruh mereka berjaya. Gelar akademik tidak mengangkat martabat atau gengsi warga di mata publik seperti di Indonesia.
Gelar doktor dibutuhkan mereka yang ingin menjadi dosen di universitas. Belum semua dosen Indonesia bergelar doktor. Jadi wajar jika mereka berbondong-bondong studi doktoral. Namun, kini gelar doktor diminati banyak sarjana yang bukan dosen dan tidak berminat menjadi dosen. Gelar itu bahkan diminati tidak sedikit politikus Indonesia.
Apakah gairah menjadi intelektual sedang melonjak? Siapa saja bisa menjadi intelektual tanpa gelar doktor. Apakah gelar itu dicari hanya untuk hiasan di depan nama mereka? Jika benar ada keuntungan material atau nonmaterial dari tambahan gelar itu, apakah sepadan dengan biaya yang harus ditanggung untuk meraihnya?
Dalam masyarakat militeristik, tentara bisa jadi pacar idaman dan menantu ideal. Ketika agama menjadi sumber legitimasi kekuasaan dan penguasa, profesi pengkhotbah laris. Tetapi, profesi akademik tidak pernah istimewa di negeri ini. Mengapa banyak orang bernafsu pada gelar doktor, tanpa niat menjadi ilmuwan atau peneliti? Ibarat merindukan jari keenam di satu tangan, kata Anton Chekhov.
Orang menempuh pendidikan tinggi dengan motivasi dan tujuan berbeda-beda. Sah-sah saja jika ada yang hanya ingin meraih ijazah untuk gagah-gagahan. Itu urusan pribadi mereka. Tetapi, di negara mana pun pendidikan nasional tidak dibentuk dan dibiayai sekadar untuk melayani kebutuhan pribadi atau ambisi individual. Ada kebutuhan dan tujuan lebih besar dan mulia bagi bangsa secara keseluruhan.
Studi doktoral menuntut investasi mahabesar dari berbagai pihak. Sebagian investasi itu dibayar oleh lembaga penyelenggara pendidikan. Sebagian dari anggaran belanja pemerintah, yang bersumber dari pajak rakyat. Sebagian merupakan dukungan dari berbagai pihak swasta.
Sebagian tidak kecil investasi harus ditanggung mahasiswa sendiri. Bentuknya bukan hanya pembayaran biaya studi secara finansial. Mahasiswa penerima beasiswa dibebaskan dari kewajiban membayar biaya studi, tetapi masih harus mengorbankan waktu, kerja intelektual, dan mental selama bertahun-tahun untuk menuntaskan program studi mereka.
Di tengah maraknya studi pascasarjana, jasa joki laris. Mengapa? Jawaban yang sering disebut dalam sejumlah laporan: banyak mahasiswa dan dosen merasa kesulitan mengerjakan penelitian dan penulisan akademik. Betapa aneh alasan demikian.
Mahir bermain sepak bola itu sulit, tetapi banyak yang tergila-gila menyukainya. Mendaki gunung dan mengarungi lautan sulit dan berbahaya, tetapi digandrungi sebagian orang. Profesi memasak, main musik, melukis, atau menari juga sama. Tidak ada yang mudah bila dikerjakan bersungguh-sungguh. Tetapi, semua itu membahagiakan mereka yang mencintai bidangnya sepenuh hati.
Bagi sebagian akademikus (termasuk saya), mengerjakan penelitian akademis itu perjuangan berat. Tak ada jaminan akan selalu berhasil. Tetapi, bila berhasil tuntas, bahagianya berlimpah. Seperti bahagianya seorang ibu melahirkan bayi setelah berbulan-bulan menjalani kehamilan dan menahan nyeri menjelang kelahiran bayinya.
Kerja akademik bukan semata-mata soal kecerdasan dan etika. Ada kenikmatan kerja intelektual. Para pencinta kerja akademik bukannya tak suka gelar, status, atau imbalan finansial. Tetapi, di atas semua itu, ada kebahagiaan lebih besar. Jasa yang ditawarkan joki atau teknologi kecerdasan buatan tidak memikat mereka jika bantuan itu menghapus kenikmatan menjalani proses dalam kerja intelektual.
Maraknya joki atau teknologi kecerdasan buatan bukan induk masalah utama dunia akademik. Gagalnya program pendidikan sering kali berakar dari tidak ada atau rendahnya kecintaan, kenikmatan, dan kebahagiaan bagi mereka yang berkecimpung di situ. Baik yang belajar, mengajar, maupun keduanya.
Maka kerja penelitian dan penulisan karya ilmiah jadi siksaan. Jasa joki menawarkan jalan pintas melarikan diri dari derita. Mungkin itu sebabnya ada yang senang atau bangga menyelesaikan studi doktor dalam waktu super-singkat. Mereka yang menikmati suatu kegiatan biasanya berharap kenikmatan itu tidak cepat berakhir.
Mengapa banyak politikus mengejar gelar doktor? Apakah mereka kurang kerjaan? Ataukah mereka sibuk tetapi kurang berbahagia di profesi mereka? Mereka butuh tempat pelarian dan hiburan? Mungkin maunya ke taman rekreasi, panti pijat, atau ruang karaoke. Tetapi kesasar masuk kampus.
Telah tayang di SKH Kompas, 8 November 2024