Oleh: S. Indro Tjahyono,
Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78 (GEMA 77/78 dan Penggiat Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA)

Salah satu tuntutan aksi rakyat yang paling menonjol adalah “Bubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. Tuntutan ini juga paling disorot oleh para politisi dan kaum cendekiawan, lantas sekonyol itukah para pendemo mengajukan tuntutan?

Ikhwal tuntutan DPR dibubarkan, dalam sejarah politik di Indonesia, sesungguhnya bukan kali ini saja. Yang dimaksud pembubaran DPR tentu bukan berarti DPR sebagai lembaga legislatif dalam pilar tata negara dituntut ditiadakan,

Pembubaran DPR adalah Satu-satunya Jalan

Dalam diskusi dengan kelompok aksi rakyat jauh sebelum tanggal 25 Agustus 2025, mereka mengatakan bahwa yang mereka tuntut bubarkan adalah DPR saat ini sebagai produk PEMILU 2024. Selama ini tuntutan pembubaran DPR selalu muncul manakala fungsi DPR sebagai lembaga legislasi dan perwakilan rakyat mandul.

Pembubaran DPR saat ini memang satu-satunya cara jika rakyat ingin memperbaiki lembaga perwakilannya. Sebelumnya Indonesia memiliki hak recall jika anggota DPR tidak menjalankan fungsinya. Masalahnya hak recall anggota DPR RI dihapuskan sejak tahun 1999, dengan diberlakukannya UU paket Reformasi.

Hak recall itu kembali dimasukklan dalam regulasi pada era berikutnya, mulai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; yang kemudian diperkuat dengan ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2014 (UU MD3), serta beberapa revisi dan perubahan undang‑undang lainnya.

Tidak Ada Referendum

Namun esensi recall sebagai upaya mengganti anggota DPR yang tidak efektif menjalankan fungsi dan tanggung-jawabnya dalam mewakili aspirasi rakyat sudah hilang. Hak recall diganti dengan istilah “penggantian anggota DPR antar waktu oleh partai politik”, tapi celakanya penggantian itu hanya dimaksudkan jika anggota DPR meninggal dunia.

Selain itu di negara Republik Indonesia rakyat juga tidak mengenal hak melakukan pemungutan suara langsung (referendum) untuk menjaring aspirasi rakyat terkait isu mendasar kenegaraan. Referendum juga bisa mensubstitusi peran DPR dalam menyalurkan suara rakyat.

Namun karena sudah menganut demokrasi perwakilan ,maka referendum ditiadakan. Padahal di negara lain yang menganut demokrasi perwakilan, referendum tetap bisa dilakukan.

Referendum di Indonesia ditiadakan konon dikhawatirkan akan menjadi mekanisme makar terselubung dan alasan munculnya negara federal yang bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara kesatuan. Nah, ini baru bisa disebut kebodohan atau ketololan, karena prinsip dasar kedaulatan bisa dihilangkan oleh suatu perasaan berupa kekhawatiran.

Berbagai ketentuan yang mengatur referendum pernah ada yakni TAP MPR Nomor IV/MPR/1983 dan UU No. 5 Tahun 1985 namun telah dicabut melalui TAP MPR No. VIII/MPR/1998 dengan menerbitkan undang-undang baru No. 6 Tahun 1999. Dengan demikian praktis rakyat tidak berdaulat lagi dalam melakukan intervensi terkait isu-isu bersifat konstitusional.

Pembubaran DPR Pernah Dilakukan

Advertisement

Tinggalkan Komentar