Oleh: Aprinus Salam

Aku ikut antologi puisi humor, bukan saja karena di WhatsApp sahabatku Joshua Igho, tetapi lebih-lebih karena ada humornya. “Wah menarik ini,” batinku. Jenuh juga aku membaca puisi-puisi yang seriyes. Tapi, tentu di sini aku tidak membicarakan puisiku yang belum tentu juga humorik.

Kajian akademis tentang puisi humor sebenarnya sudah cukup banyak. Akan tetapi, esai ini hanya menjadi catatan kecil saja. Mana tahu, ke depan, akan ada banyak kesempatan untuk memperbincangkannya kembali.

Sambil menunggu sekitar tiga bulan, akhirnya, aku mendapatkan antologi tersebut. Terimakasihku kepada Sastra Bulan Purnama dan Mas Ons Untoro, Abidin Fikri, dkk. yang telah mengawal dan mempersiapkan segalanya untuk antologi dan acara peluncurannya di STPMD-APMD Yogyakarta, pada ssore hari 22 November 2025.

Senang sekali melihat antologi puisi tersebut, karena ada beberapa penyair kawakan yang turun gunung seperti Mustafa W Hasyim, Deni Kurnia, Eko Tunas, Sutirman Eka Ardhana, Bambang Widiatmoko, dan sebagainya. Paling tidak, kawakan dari segi usialah.

Dengan cepat, sore itu juga, aku melahap sejumlah puisi. Dengan harapan, dan sudah aku persiapkan rasa geliku, aku bisa tertawa-tawa ngakak membaca puisi humor, puisi lucu-lucuan tentang politik. Sudah aku persiapkan, aku bisa mentertawakan politik Indonesia yang tidak lucu, untuk dipuisikan secara humoris.

Ternyata, sebagian besar yang aku dapatkan adalah puisi-puisi seriyes. Hal itu pun diakui oleh tim kurator (Joshua Igho, Ons Untoro, Indro Suprobo) seperti dapat dilihat pada catatannya.

Tidak mudah menulis puisi humor, apalagi penyair yang tidak biasa bergurau. Karena itu, puisi humor politik seringkali berupa kritik sosial atau sindiran, yang di sana sini dimaksudkan untuk mengundang tawa bagi pembaca. Bisa jadi, yang dihasilkan dahi berkerut ketimbang tertawa sepontan. Namun, setelah memahaminya, tertawanya muncul. Jadi, lucunya ditangkap belakangan (hlm. Ix)

Saking dominannya kritik sosial, puisi kritik sosial mengalami penumpulan makna dan rasa. Dan, yang juga sedikit memprihatinkan, gaya, ruang, dan diskursusnya antara satu puisi dengan puisi yang lain hampir sama. Hal itu menggiring kesimpulan, sungguh berat menjadi penyair dengan jati diri yang khas, apalagi menjadi penyair humoris.

Hal yang aneh ditemui, beberapa puisi tidak membedakan apa itu menertawakan lembaga politik dan bagaimana puisi menghadirkan kelucuan lembaga politik. Saya kutip tiga penggalan puisi. Salah satunya karya Muhisom Setiaki, “Mari Ketawa Ha Ha Ha’, ……./Mari ketawa ha ha ha bersama/ DPR lucu bak panggung sandiwara/ yang lapar bukan kursi mereka/ tapi rakyat kecil di jalan desa (hlm. 73).

Contoh yang lain, puisi Rizqie Al Hidayah “Memakan Daging Sesama”. …../Lahap/ Si perut buncit yang lucu/ Mengalahkan badut-badut ulang tahun/ Menetawakan rakyat yang cemberut// ….. (hlm. 90). Bahkan yang dibayangkan tentang kehumoran adalah dengan mengambil kata badut. Beberapa puisi bahkan eksplisit memakai kata badut, “Badut” (hlm. 18), “Tarian Badut Cerucut” (hlm.30), “Badut” (hlm. 126), seolah dengan memakai kata badut maka humor otomatis hadir.

Untung ada puisi Eko Tunas yang bisa menertawakan kaumnya yang usrek. Dalam acara selametan/ Lampu tiba-tiba mati/ Terdenger suara krusek-krusek// Begitu lampu menyala/ Orang-orang usrek/ Ingkung ayam di tumpeng hilang// Kiai pun menutup doanya:/ daging kana/ balung kene/ kuluban kangkung/ aku yo kolu…// Seorang ngedumel/ “Dasar negeri koruptor,/ Ingkung saja diembat!”. Ada rasa geli-getir yang hadir berkat puisi ini.

Singkat kata, ada tiga lapis puisi yang kritis. Pertama, puisi berdimensi kritik sosial, segala hal dinyatakan secara langsung. Puisi dalam Kitab Omon-Omon banyak dalam lapis ini.

Kedua, kritik sosial dalam lapis ironi, satire, atau sarkasme. Hal kedua ini tidak berdimensi humoris, walau ada kandungan parodi. Beberapa puisi bisa masuk ke ruang ini, selain puisi Eko, misalnya puisi Tengsoe Tjahjono, “MBG” (hlm. 104), Tasamsyah, “Debat 5 Menit, Drama 5 tahun” (hlm. 103), dan beberapa yang lain.

Ketiga, puisi kritik sosial dengan dalam dimensi humorik, lucu-lucuan, dan ini ternyata yang paling sulit. Karena puisi lapis ini perlu menggali sisi-sisi non-logis, tidak wajar, dan tidak lumrah. Ada istilah plesetan yang secara kultural menyediakan lapis ketiga ini. Plesetan di tingkat puisi, bukan frasa atau kata-kata. Perlu eksplorasi permainan logika, asosiasi, semiotik, simbolik, yang secara spontan membawa kita ke ruang aneh yang menggelikan. * * *

Advertisement
Previous articleKasus Ira Puspadewi: Kontroversi Vonis dan Petisi Pembebasan
Next articleSNI G2R Tetrapreneur: Inovasi Universitas Gadjah Mada, Kementrian Transmigrasi dan Badan Standar Nasional (BSN) Untuk Percepatan Wirausaha Asli Indonesia Sebagai Pergerakan Ikonik Global

Tinggalkan Komentar