Refleksi 41 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI

GWS, 7 Juli 2025

Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang mahasiswa PhD di salah satu universitas ternama Indonesia. Setelah bertahun-tahun menghabiskan hari-hari di laboratorium yang pengap, mengutak-atik data dengan telaten seperti emak-emak memilah beras, akhirnya riset Anda selesai. Dengan bangga, Anda kirimkan naskah ke jurnal internasional. Namun, bukannya diterima di jurnal bergengsi, artikel Anda justru masuk ke dalam statistik yang memalukan: Indonesia, negeri gemah ripah loh jinawi, ternyata menempati peringkat kedua terburuk dunia dalam publikasi di jurnal “predator”—hanya selisih tipis 0,27% dari Kazakhstan. Sebagai perbandingan, jika riset adalah makanan, maka 16,73% dari “hidangan ilmiah” kita ternyata mengandung bahan berbahaya yang tidak layak konsumsi.

Ironi ini semakin terasa ketika kita melihat daftar 13 perguruan tinggi Indonesia yang masuk zona merah dalam Research Integrity Risk Index (RI²). Bukan main-main, institusi sekaliber Universitas Indonesia, ITB, dan UGM pun masuk “daftar pengawasan”—seolah kampus-kampus kebanggaan kita sedang menjalani masa percobaan seperti siswa yang ketahuan nyontek saat ujian. Sementara di belahan Asia lainnya, China mengambil langkah tegas dengan Early Warning Journal List dan Korea Selatan membangun ekosistem jurnal domestik yang bermartabat.

Ketika “Baligh” Menjadi Alasan

Respons pejabat Kemendiktisaintek patut diapresiasi karena kejujurannya: “universitas-universitas kita ini baru sampai tahap baligh, tahap remaja.” Namun, mari kita renungkan sebentar—jika universitas tertua di Indonesia, UI, didirikan pada 1849 (sebagai Dokter-Djawa School), maka usia “remaja” kita sudah mencapai 175 tahun. Dalam konteks manusia, ini setara dengan Mbah Kakung yang masih berdalih, “Saya kan masih muda, Nak!”

Pertanyaannya, kapan sebenarnya masa “baligh” akademik kita akan berakhir? Apakah ketika es di puncak Jayawijaya mencair habis, ataukah ketika Raffi Ahmad pensiun dari dunia hiburan?

Sindrom Kazakhstan

Posisi Indonesia sebagai “runner-up” di belakang Kazakhstan dalam hal publikasi jurnal predator bukanlah kompetisi yang patut dibanggakan. Kazakhstan, negara bekas Uni Soviet dengan populasi hanya seperlima dari Indonesia, entah bagaimana berhasil “unggul” 0,27% dari kita. Ini ibarat kalah lomba makan kerupuk dengan tetangga yang bahkan tidak punya gigi lengkap.

Yang menarik, Kazakhstan dan Indonesia memiliki kesamaan: keduanya negara berkembang dengan tekanan tinggi untuk “publish or perish” dalam dunia akademik. Bedanya, mereka punya alasan sejarah—warisan sistem pendidikan Soviet yang rigid dan tiba-tiba harus beradaptasi dengan standar global. Sementara kita? Kita memiliki keragaman intelektual dari Sabang sampai Merauke, tradisi akademik yang kaya, dan akses terhadap jaringan pendidikan global sejak era kolonial. Namun, entah mengapa, kita justru terjebak dalam perangkap yang sama.

Zona Merah

Melihat daftar universitas dalam zona “Red Flag”, ada paradoks yang menggelitik. BINUS, universitas swasta yang dikenal dengan teknologi dan bisnis modern, justru memimpin daftar dengan skor RI² 0.609—angka yang lebih tinggi dari skor kredit macet bank-bank BUMN. Di sisi lain, universitas-universitas negeri “sepuh” seperti UNAIR, USU, dan UNHAS juga masuk kategori risiko tertinggi.

Ini mengingatkan kita pada fenomena tuyul dalam folklor Jawa—makhluk yang tampak tidak berbahaya, bahkan menggemaskan, tapi diam-diam merusak dari dalam. Jurnal predator beroperasi dengan modus serupa: tampak profesional dengan peer-review dan editorial board yang menawan, namun sejatinya hanya mengeruk profit tanpa menjaga kualitas ilmiah.

Yang lebih miris, bahkan kampus-kampus “elite” seperti UI (skor 0.154), ITB (0.120), dan UGM (0.117) pun tidak luput dari jerat ini. Bayangkan: institusi yang melahirkan Habibie, Soekarno, dan berbagai tokoh besar bangsa, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sebagian riset mereka terkontaminasi praktik akademik yang meragukan.

Anatomi Kegagalan

Akar masalah ini tidak sesederhana “dosen malas” atau “universitas gila ranking.” Ada tiga faktor sistemik yang menciptakan perfect storm dalam dunia riset Indonesia.

Pertama, tekanan publikasi yang brutal. Sistem evaluasi dosen kita menuntut produktivitas publikasi yang tinggi tanpa disertai pemahaman mendalam tentang ekosistem jurnal global. Dosen-dosen kita seperti petani yang dipaksa memanen padi setiap bulan—hasilnya pasti ada, tapi kualitasnya bisa dibayangkan. Mereka berhadapan dengan tuntutan naik pangkat, sertifikasi, dan evaluasi kinerja yang semuanya mensyaratkan publikasi internasional. Di tengah deadline yang menggunung, jurnal predator menjadi “jalan pintas” yang menggoda.

Kedua, buta jurnal. Banyak peneliti Indonesia yang tidak mampu membedakan jurnal berkualitas dengan jurnal predator. Ini seperti membeli emas tanpa bisa membedakan emas asli dengan kuningan. Akibatnya, ketika menerima email “invitation” untuk submit artikel dengan timeline yang mencurigakan cepat, mereka justru merasa tersanjung.

Ketiga, kultur riset yang belum matang. Kita masih terjebak dalam mentalitas “asal publish” ketimbang “publish because it matters.” Riset dipandang sebagai kewajiban administratif, bukan sebagai kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Ini tercermin dalam budaya akademik yang lebih menghargai kuantitas publikasi ketimbang dampak riset terhadap masyarakat.

Cermin yang Menyakitkan

Untuk memahami betapa parahnya kondisi kita, mari kita bandingkan dengan dua tetangga Asia yang juga menghadapi tantangan jurnal predator, namun dengan respon yang berbeda: China dan Korea Selatan.

China: Dari Chaos ke Kontrol

China, meski menghadapi masalah serius dengan jurnal predator dan memiliki tingkat retractions tertinggi di dunia, menunjukkan pendekatan yang jauh lebih proaktif. Sejak 2020, Chinese Academy of Sciences meluncurkan “Early Warning Journal List” (EWJL) yang secara rutin diperbarui untuk mengidentifikasi jurnal-jurnal bermasalah. Yang menarik, daftar ini bukan sekadar blacklist, tapi warning system yang dikembangkan khusus untuk komunitas riset China, dengan kriteria yang disesuaikan dengan konteks lokal.

China juga sedang melakukan reformasi radikal dalam sistem evaluasi riset. Mereka berusaha mengganti fokus pada indikator berbasis Web of Science dengan kombinasi evaluasi kualitatif dan kuantitatif yang seimbang, serta memperkuat relevansi lokal riset. Ini seperti orang yang sadar bahwa mengejar ranking semata adalah jalan buntu—lebih baik membangun sistem yang berkelanjutan.

Hasilnya? Setelah EWJL diumumkan, jumlah publikasi China di jurnal yang masuk daftar peringatan menurun drastis pada 2021, meskipun sempat naik lagi pada 2022. Ini menunjukkan bahwa kebijakan tegas, meski tidak sempurna, dapat memberikan dampak nyata.

Korea Selatan: Teknologi dan Tradisi

Korea Selatan mengambil pendekatan yang berbeda namun tidak kalah efektif. Mereka membangun Korea Citation Index (KCI) yang dikelola oleh National Research Foundation of Korea, menciptakan ekosistem jurnal domestik yang kuat dengan standar internasional. Dengan 1.582 jurnal STM yang terdaftar di KCI, Korea membuktikan bahwa membangun basis jurnal lokal yang berkualitas adalah strategi jangka panjang yang cerdas.

Yang lebih mengesankan, Korea memiliki Korean University Council of Research Ethics yang aktif mengawasi praktik penerbitan predator sejak 2019. Mereka juga memiliki dua organisasi editor ilmiah yang solid: Korean Association of Medical Journal Editors (KAMJE) sejak 1996 dan Korean Council of Science Editors (KCSE) sejak 2011. Ini menunjukkan bahwa integritas riset bukan masalah individual, tapi tanggung jawab ekosistem yang terorganisir.

Namun, Korea juga tidak luput dari masalah. Sistem evaluasi mereka masih sangat berorientasi pada publikasi SCI/SCIE dengan bobot 2-2.4 kali lebih tinggi dari jurnal KCI, menciptakan tekanan publikasi yang serupa dengan Indonesia. Bahkan di Korea, masih ditemukan kasus editor yang menentukan reviewer untuk naskah mereka sendiri, atau jurnal yang berbohong tentang rejection rate untuk meningkatkan reputasi.

Kontras yang Menyedihkan

Membandingkan Indonesia dengan China dan Korea Selatan seperti membandingkan tiga cara berbeda mengatasi demam: China menggunakan termometer digital dan obat yang tepat, Korea menggunakan sistem monitoring canggih dan pendekatan holistik, sementara Indonesia masih bergantung pada feeling dan jamu tradisional yang khasiatnya meragukan.

China, dengan segala masalahnya, setidaknya mengakui ada krisis dan mengambil langkah konkret. Korea Selatan membangun infrastruktur yang solid untuk mendukung riset berkualitas. Sementara Indonesia? Kita masih sibuk berdalih bahwa universitas kita “masih remaja” pada usia 175 tahun.

Yang paling menyakitkan, kedua negara tersebut menunjukkan bahwa Asia tidak identik dengan “jalan pintas akademik.” Mereka membuktikan bahwa dengan political will dan strategi yang tepat, negara berkembang bisa membangun ekosistem riset yang bermartabat tanpa terjebak dalam perangkap jurnal predator secara sistemik.

Ekskavatologi Korupsi Akademik

Fenomena jurnal predator di Indonesia bukan sekadar masalah individual, melainkan simptom dari korupsi akademik yang terstruktur. Seperti korupsi dalam bentuk lainnya, praktik ini menciptakan lingkaran setan: universitas mengejar ranking dengan cara instan, dosen memenuhi target publikasi tanpa peduli kualitas, dan industri jurnal predator meraup keuntungan dari keputusasaan akademik.

Yang lebih ironis, pemerintah sendiri—melalui sistem evaluasi dan akreditasi—secara tidak langsung memfasilitasi ekosistem ini. Ketika indikator keberhasilan akademik hanya diukur dari jumlah publikasi internasional tanpa mempertimbangkan kualitas dan dampaknya, maka jurnal predator menjadi shortcut yang logis.

Membandingkan dengan negara-negara tetangga, perbedaannya bukan terletak pada sumber daya, melainkan pada political will dan konsistensi kebijakan. China, meski memiliki masalah serupa, berani mengambil langkah tegas dengan Early Warning Journal List dan reformasi sistem evaluasi riset yang radikal. Korea Selatan, dengan sabar dan konsisten, membangun Korea Citation Index selama puluhan tahun hingga menjadi ekosistem jurnal domestik yang bermartabat.

Sementara Indonesia? Kita masih sibuk menyalahkan “masa remaja” universitas ketimbang mengakui bahwa sistemlah yang perlu dibenahi. China tidak pernah berdalih bahwa Tsinghua atau Peking University “masih belajar” ketika menghadapi skandal riset. Korea Selatan tidak pernah mengatakan Seoul National University “belum dewasa” saat mengatasi masalah integritas akademik. Mereka fokus pada solusi, bukan pada justifikasi.

Metamorfosis yang Tertunda


Sebenarnya, Indonesia memiliki modal dasar yang kuat untuk membangun integritas riset. Kita punya keragaman geografis yang menawarkan laboratorium alam yang luar biasa, dari biodiversitas Kalimantan hingga geologi unik Papua. Kita juga memiliki tantangan sosial-ekonomi yang kompleks dan menarik untuk diteliti. Namun, entah mengapa, kekayaan ini tidak diterjemahkan menjadi riset berkualitas tinggi.

Mungkin karena kita terlalu sibuk mengejar pengakuan eksternal hingga lupa membangun fondasi internal. Kita seperti anak muda yang terburu-buru ingin terlihat keren dengan gadget terbaru, tapi lupa belajar cara menggunakannya dengan bijak.

Epilog: Antara Tawa dan Tangis

Ketika Kazakhstan—negara yang sebagian besar wilayahnya adalah stepa gersang—berhasil “mengalahkan” Indonesia dalam hal buruknya publikasi akademik, sementara China dan Korea Selatan menunjukkan bahwa Asia bisa bermartabat dalam dunia riset global, kita patut bertanya: apakah ini adalah bentuk prestasi yang memalukan, ataukah justru berkah terselubung yang memaksa kita berefleksi?

China dan Korea Selatan membuktikan bahwa “publish or perish” tidak harus berujung pada “publish and perish bersama.” Mereka menunjukkan bahwa integritas riset bukan kemewahan yang hanya bisa dinikmati negara maju, melainkan pilihan politik dan strategis yang bisa diambil oleh negara manapun—asalkan ada kemauan.

Sementara itu, respons pemerintah kita yang mengatakan bahwa universitas Indonesia “masih remaja” terdengar seperti seseorang yang berusia 40 tahun masih berdalih bahwa dirinya “belum dewasa” saat ditanya kapan mau serius dengan hidup. China mengambil jalan sulit dengan melakukan reformasi evaluasi riset yang radikal. Korea Selatan membangun infrastruktur jurnal yang solid sejak puluhan tahun lalu. Indonesia? Masih sibuk mencari alasan.

Mungkin, seperti kata-kata bijak Wiji Thukul, “Hanya ada satu kata: lawan!” Namun kali ini, yang harus kita lawan bukan rezim politik, melainkan kultur akademik yang korup, mentalitas instan yang menggerogoti dunia riset kita, dan—yang paling sulit—sikap defensif yang selalu mencari pembenaran ketimbang solusi.

Pertanyaan yang tersisa: sanggupkah kita belajar dari China yang berani mengakui krisis dan bertindak tegas, atau dari Korea Selatan yang sabar membangun ekosistem riset yang berkelanjutan? Ataukah kita akan terus menjadi “juara bertahan” dalam kompetisi yang tidak ada yang ingin menang—sambil terus berkilah bahwa kita “masih belajar” pada usia yang sudah seharusnya wise?

Wallahu a’lam, tapi yang pasti, riset berkualitas tidak bisa ditanam hari ini dan dipetik besok pagi seperti kangkung. Ia butuh kesabaran seperti Korea Selatan yang membangun KCI sejak puluhan tahun lalu, atau keberanian seperti China yang tidak segan melakukan reformasi radikal. Keduanya adalah barang langka di negeri zamrud khatulistiwa yang lebih suka bernostalgia dengan masa lalu ketimbang membangun masa depan yang bermartabat.

Advertisement

Tinggalkan Komentar